Pembeli Beritikad Baik Dalam Praktik Peradilan


Jual beli tanah berbeda dengan jual beli barang lainnya, seperti jual beli kendaraan bermotor, jual beli saham dan jual beli emas. Dalam jual beli tanah, selain berlaku ketentuan umum jual beli yang diatur dalam KUHPerdata, juga berlaku ketentuan khusus jual beli tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Jual beli adalah suatu perjanjian, oleh karena itu harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa :

Untuk sahnya suatu perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1.          sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2.          kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.          suatu hal tertentu;

4.          suatu sebab yang halal

Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perujudan kehendak tersebut.[1] Pasal 1321 KUHPerdata, menyebutkan : “Tiada sepakat yang sah, apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Selain memerlukan kesepakatan dalam membuat perjanjian, diperlukan juga subjek perjanjian yang cakap secara hukum membuat perjanjian. Dalam membuat suatu perjanjian yang sah, pihak-pihak yang membuatnya harus dinyatakan cakap hukum menurut undang-undang. Berdasarkan KUHPerdata Pasal 1329 disebutkan, bahwa orang-orang yang dianggap cakap untuk membuat suatu perikatan adalah orang-orang yang karena undang-undang dinyatakan cakap.

Mengenai Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.[2]

Terkait dengan syarat suatu sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata, yang menyebutkan : “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Maksud dari sebab yang terlarang adalah sebab yang dilarang undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata), untuk itu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab demikian tidak memiliki kekuatan hukum dan batal demi hukum.

Selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, Jual beli sebagai perjanjian juga, harus memenuhi ketentuan umum perjanjian jual beli, sebagaimana diatur dalam Pasal 1457 – 1518 KUHPerdata.

Mengenai pengaturan khusus dalam jual beli tanah tersebut, terkait dengan keharusan jual beli tanah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pasal 23 huruf a angka 2) Perauran Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah baru dibuktikan dengan asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh Pemegang Hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.

Maksud diharuskannya setiap pengalihan hak atas tanah dilakukan dengan akta PPAT, berkenaan dengan pengalihan hak atas tanah yang merupakan benda tidak bergerak menurut KUHPerdata, di mana dalam penyerahan hak atas benda tidak bergerak tidak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas benda tersebut, tetapi juga harus dibuat suatu surat penyerahan. Khusus mengenai pemindahan hak milik atas tanah setelah berlakunya UUPA, Subekti dalam ceramahnya yang berjudul Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia oleh Yurisprudensi, menyatakan :[3]

“Kalau dalam sistem KUHPerdata jual beli itu hanya bersifat obligatoir saja, sedangkan yang memindahkan hak milik adalah perbuatan hukum yang dinamakan livering dan dalam hal tanah livering tersebut berupa balik nama, maka dalam hukum adat, jual beli itu adalah suatu transaksi riil dan tunai. Setelah berlakunya UUPA, oleh yurisprudensi kita telah dibuang jauh-jauh pengertian balik nama, sebagai perbuatan yang memindahkan hak milik. Dalam rangka UUPA dan sesuai dengan asas-asas hukum adat yang dijadikan dasar dari hukum tanah yang baru itu, sudah tepatlah kalau oleh yurisprudensi ditetapkan, bahwa pemindahan hak milik terjadi pada saat jual beli di muka PPAT, sedang balik nama dan sertifikat mempunyai nilai sebagai bukti-bukti tentang hak milik itu”.

Selain mengenai syarat-syarat pengalihan hak sebagaimana disebutkan di atas, akta PPAT yang digunakan untuk mengalihkan hak atas tanah berfungsi juga sebagai pembuktian terjadinya hak atas tanah baru. Pembuktian ini dimaksudkan atau berguna sebagai syarat untuk mendaftarkan hak atas tanah pada kantor pertanahan setempat. Fungsi pendaftaran adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, dan untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan (Pasal 3 PP. No. 60 Tahun 1996).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, jual beli tanah harus memenuhi ketentuan jual beli pada umumnya sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan ketentuan jual beli tanah secara khusus yang diatur dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021.

Di dalam praktik jual beli tanah, ternyata banyak permasalahan yang timbul, yang menyebabkan permasalahan dalam jual beli tanah tersebut di selesaikan melalui jalur hukum gugatan ke pengadilan. Di antara permasalahan yang timbul tersebut, adalah mengenai jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak, jual beli tanah di atas tanah yang dikuasai oleh pihak lain. jual beli tanah tanpa menggunakan akta PPAT dan permasalahan jual beli tanah lainnya.

Dalam praktik peradilan, jual beli tanah yang telah memenuhi syarat dan tata cara jual beli tanah sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan UUPA serta Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, adalah jual beli yang sah dan Pembeli atas tanah tersebut diberikan perlindungan hukum, dari tuntutan atau gugatan pihak ke Pembeli beritikad baik harus dilindungi, hal ini ditegaskan dalam : 

1.          Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 7 Tahun 2012 di dalam butir ke IX, yang menyebutkan bahwa perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang beritikad baik sekalipun diketahui penjual adalah orang yang tidak berhak. Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak;

2.          Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang menyatakan sebagai berikut :

a.         Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu :

1)         Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau;

2)         Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 atau;

3)         Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:

4)         dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat).

5)         didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.

6)         Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.

 

b.         Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain :

1)         Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;

2)         Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;

3)         Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau;

4)         Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

3.          Beberapa Putusan Mahkamah Agung juga menyikapi kriteria pembeli beritikad baik, yaitu :

a.          Putusan Mahkamah Agung RI No. 176 K/Pdt/2011. Berdasarkan putusan ini, pembeli membeli tanah yang sudah bersertifikat hak milik dari penjual di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembeli mengira jual beli itu sudah sah, namun ternyata di kemudian hari digugat oleh orang yang mengaku sebagai ahli waris pemilik asal. Pengertian itikad baik di sini lebih diartikan sebagai telah terpenuhinya syarat formal. Menurut pertimbangan Mahkamah Agung Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, karena Tergugat I membeli tanah sengketa yang sudah bersertifikat hak milik dari penjual di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Oleh karena itu, sebagai Pembeli beritikad baik harus dilindungi. Jadi, menurut argumentasi hakim, pihak ketiga yang membeli tanah bersengketa di hadapan PPAT dan telah terbit sertifikat hak milik, maka ia adalah pembeli beritikad baik dan harus dilindungi.

b.          Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1816 K/Pdt.1989 dan Putusan Mahkamah Agung No. 4340 K/Pdt/1986, menyebutkan bahwa dalam menguji kehati-hatian dan kecermatan pembeli sendiri. Menurut Mahkamah Agung ketika itu, Pembeli tidak dapat dikualifikasikan sebagai pembeli yang beritikad baik, karena pada saat pembelian sama sekali tidak meneliti dan menyelidiki secara cermat hak dan status para penjual atas tanah terperkara. Putusan-putusan ini pada dasarnya menekankan kepada pembeli untuk tidak begitu saja percaya penjelasan penjual, melainkan juga harus bertindak secara responsif (bertanggung jawab) mencari tahu dan meneliti terlebih dahulu, sebelum dan saat jual beli tanah dilakukan. Di bawah ini dapat dilihat beberapa hal yang seharusnya diperiksa oleh pembeli menurut putusan-putusan yang ditelusuri :

 

1)         Adanya sertifikat hak atas tanah (misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 765 PK/Pdt/2009);

2)         Kewenangan pihak yang mengalihkan, misalnya berlaku atau tidaknya surat kuasa (Putusan Mahkamah Agung No. 4340 K/Pdt/1986);

3)         Pihak yang secara nyata menguasai obyek tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1847 K/Pdt/2006; No. 1923 K/Pdt/2013);

4)         Jika terkait tanah waris, perlu dipastikan adanya persetujuan (semua) ahli waris (Putusan Mahkamah Agung No. 4340 K/Pdt/1986; No. 1816 K/Pdt/1989; Putusan PN Kutai Barat No. 22/Pdt.G/2013/PN.KUBAR);

5)         Jika terkait tanah yang merupakan harta bersama (harta gono-gini), perlu dipastikan adanya persetujuan pasangan (Putusan Mahkamah Agung No. 114 K/Pdt/2013);

6)         Perkara sengketa yang masih berjalan atau putusan pengadilan terkait tanah obyek jual beli (Putusan Mahkamah Agung No. 1861 K/Pdt/2005; No. 114 K/Pdt/2013);

7)         Status tanah, yaitu bahwa tanah yang berstatus tanah negara tidak dapat dijualbelikan (Putusan Mahkamah Agung No. 429 K/Pdt/2003).

Apabila pembeli tidak memeriksa secara seksama dan meneruskan transaksi, maka pembeli tidak dikualifikasikan sebagai pembeli beritikad baik, sehingga secara hukum posisinya tidak dilindungi;

c.          Bahwa terkait dengan kriteria pembeli yang beritikad baik menurut Widodo Dwi Putro, menyebutkan bahwa dalam sejumlah putusan, pembeli beritikad baik diartikan sebagai pembeli yang sekali-kali tidak menduga bahwa yang menjual tanah itu bukan satu-satunya orang yang berhak untuk itu (misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Sip/1955) atau pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat hukum dalam jual beli yang dilakukannya (misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 242 K/Sip/1958). Ketidaktahuan pembeli tersebut juga dapat disebabkan telah dicabutnya surat kuasa oleh pihak pemilik asal, sehingga pembeli sama sekali tidak mengetahui bahwa pemegang kuasa (penjual) sebenarnya tidak berwenang menjual (Putusan Mahkamah Agung No. 1230 K/Sip/1980). Dari putusan-putusan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya itikad baik, hakim mencermati ketidaktahuan pihak pembeli terkait kewenangan penjual dan kemungkinan adaya cacat dalam peralihan hak atau jual beli tanah.[4]

d.          Bahwa dalam putusan-putusan Mahkamah Agung No. 2318 K/Pdt/2009; Putusan Mahkamah Agung No. 2416 K/Pdt/2009; Putusan Mahkamah Agung No. 176 K/Pdt/2011), ketika jual beli tanah dapat dibuktikan secara sah melalui bukti-bukti otentik mengenai kepemilikan tanah sebelumnya (Putusan Mahkamah Agung No. 765 PK/Pdt/2009; Putusan Mahkamah Agung No. 710 PK/Pdt/2011; Putusan Mahkamah Agung No. 561 K/Pdt/2012; Putusan Mahkamah Agung No. 1090 K/Pdt/2013, pengertian pembeli beritikad baik sepertinya hanya digantungkan pada terpenuhi (atau tidaknya) syarat formal peralihan hak atas tanah, misalnya pembeli akan dianggap beritikad baik ketika membeli obyek sengketa (yang telah bersertifikat) di hadapan PPAT;

e.          Putusan Mahkamah Agung RI No. 1230 K/Sip/1980. Putusan ini menjelaskan bahwa itikad baik dapat dilihat dari ketidaktahuan pembeli mengenai telah dicabutnya surat kuasa oleh pihak pemilik asal, sehingga pembeli juga tidak mengetahui bahwa pemegang kuasa (penjual) sebenarnya tidak berwenang menjual.

f.           Putusan Mahkamah Agung RI No. 176 K/Pdt/2011. Dalam perkara ini, pembeli membeli tanah yang sudah bersertifikat hak milik dari penjual di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembeli mengira jual beli itu sudah sah, namun ternyata di kemudian hari digugat oleh orang yang mengaku sebagai ahli waris pemilik asal. Pengertian itikad baik di sini lebih diartikan sebagai telah terpenuhinya syarat formal.

Berdasarkan penjelasan pembeli beritikad baik menurut praktik di lembaga peradilan tersebut, dapat disimpulkan, bahwa yang termasuk Pembeli beritkad baik adalah melakukan jual beli atas objek tanah dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, seperti pembelian tanah dilakukan dihadapan PPAT, yang didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah benar milik penjual, tidak dalam status segketa, jaminan, disita serta pembelian dilakukan dengan harga yang layak.


[1] Mariam Darus Badrulzaman, dkk,  Op. cit, hlm. 73

[2] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 218

[3] Riduan Syahrani, Ibid, hlm, 143-144

[4] Widodo Dwi Putro, Ahmad Zuhairi, Syukron Salam, Elizabeth Lestari, Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobjek Tanah, Lelp, Jakarta, 2016, hlm, 82-85

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian I

Kedudukan Hukum Girik Terhadap Sertifikat Hak atas Tanah

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian III