Jual Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali Dalam Praktik Peradilan
Dalam teori dan praktik jual beli tanah, dikenal jual beli dengan hak membeli kembali. Jual beli dengan hak membeli kembali diatur dalam Pasal 1519 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa “Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual, timbul karena suatu perjanjian, yang tetap memberi hak kepada penjual untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dengan mengembalikan uang harga pembelian asal dan memberikan penggantian yang disebut dalam Pasal 1532”. Jual beli dengan hak membeli kembali terbit berdasarkan suatu janji, di mana penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang telah dijualnya dengan mengembalikan harga pembelian asal dan biaya-biaya lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1532 KUHPerdata, diantaranya adalah biaya-biaya pembetulan, biaya yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya.
Pada dasarnya jual beli tanah dengan
hak membeli kembali adalah bertentangan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dengan mengingat
UUPA menganut asas Hukum Adat, maka jual beli tanah harus berlandaskan hukum
adat, yaitu dilakukan dengan cara tunai, riil dan terang. Tunai adalah bahwa penyerahan hak oleh penjual dilakukan
bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah
beralih. Harga yang dibayarkan tidak harus lunas, selisih harga dianggap
sebagai hutang pembeli kepada penjual yang termasuk dalam lingkup
hutang-piutang. Sifat riil berati bahwa kehendak yang diucapkan harus diikuti
dengan perbuatan nyata. Perbuatan hukum jual beli tanah disebut terang kalau
dilakukan dihadapan kepala desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu tidak
melanggar ketentuan hukum yang berlaku.[1]
Menurut
Hukum Adat sebagai dasar UUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UUPA, tidak
mengenal lembaga jual beli dengan hak membeli kembali. Jual beli tanah dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah merupakan perbuatan hukum yang tunduk
pada hukum tanah nasional yang berdasarkan konsep hukum adat. Sifat jual beli
dalam Hukum Adat adalah “tunai”, dengan dibayarnya harga objek jual beli
tersebut (walaupun baru sebagian), maka pada saat itu juga haknya sudah beralih
kepada pembeli.[2]
Namun dalam praktik peradilan
jual beli dengan hak membeli kembali ini, pernah diakui dalam beberapa Putusan
Mahkamah Agung, yaitu : Putusan Mahkamah Agung RI No. 726 K/Sip/1973, tanggal
12 Desember 1974, yang menyebutkan bahwa orang yang telah menjual tanahnya
kepada seseorang dengan perjanjian setelah 10 tahun dapat membeli kembali,
tidak dapat kemudian menjual lagi tanah itu kepada orang lain dan juga Putusan
Mahkamah Agung No. 1501 K/Sip/1975 tanggal 12 Mei 1976, yang menyebutkan kaidah
hukum “bahwa dalam hal jual beli dengan hak
membeli kembali, selama penjual belum menggunakan hak membeli kembali
barangnya, pembeli oleh hukum diperlakukan seperti pemilik sejati, artinya Ia
dapat menyewakan, meminjamkan bahkan dapat menjual lagi barangnya. Apabila
penjual lalai memajukan tuntutannya untuk membeli kembali di dalam tenggang
yang telah ditetapkan, tetaplah pembeli itu sebagai pemilik barang yang telah
dibelinya”.
Dalam perkembangannya jual
beli tanah dengan hak membeli kembali dilarang dalam praktik peradilan, hal ini
didasarkan pada beberapa Putusan Mahkamah Agung sebagai berikut :
1.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1729 K/Pdt/2004.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, larangan tersebut dilakukan
dengan alasan:
a.
Perjanjian
jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang
terselubung (semu). Artinya, bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli
kembali sebenarnya adalah perjanjian hutang piutang, yakni pemberian pinjaman
dengan jaminan;
b.
Perjanjian
jual beli dengan hak membeli kembali bertentangan dengan hukum adat, karena
hukum adat tidak mengenal jual beli dengan hak untuk membeli kembali.
2.
Putusan Mahkamah Agug No. 3597 K/Pdt/1985, yang
menyebutkan bahwa “Jual-beli dengan hak membeli kembali merupakan bentuk perjanjian
menurut KUHPerdata Pasal 1519 dan seterusnya, sedangkan jual-beli tanah atau
rumah sesuai dengan UUPA dikuasai oleh hukum adat yang tidak mengenal bentuk
jual-beli dengan hak membeli kembali. Maka perjanjian Penggugat dan Tergugat
dalam perkara ini harus batal demi hukum.”
3.
Putusan Mahkamah Agung 2485 K/Sip/1982,
tanggal 13 Desember 1983, yang menyebutkan bahwa perjanjian jual
beli dengan hak membeli kembali sebagai perjanjian utang-piutang, mengingat
perjanjian tersebut memuat harga penjualan yang sangat tidak seimbang dengan
harga barang tersebut yang sebenarnya, ditambah lagi dengan dicantumkan
ketentuan bunga yang tidak lazim dalam perjanjian jual-beli tersebut.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dalam praktik jual beli terdapat jual beli tanah yang
dilakukan atas dasar kesepakatan pinjam meminjam, baik itu tertulis maupun
secara lisan. Dalam hal ini jual beli tanah menjadi jaminan atas perbuatan
hukum pinjam meminjam, yang dilakukan dengan cara, para pihak, dalam hal ini
peminjam dan pemberi pinjaman membuat dan mengikatkan diri dengan akta
pengikatan jual beli dan akta surat kuasa menjual terlebih dahulu, yang di
dalamnya terdapat klausul hak untuk membeli kembali, dengan demikian apabila
peminjam tidak dapat mengembalikan uang yang dipinjamnya dari pemberi pinjaman
uang, maka akta pengikatan jual beli ditingkatkan menjadi akta jual beli
berdasarkan akta kuasa menjual dan apabil dalam jangka waktu tertentu peminjam
dapat mengembalikan pinjamannya tersebut, maka dilaksanakan hak membeli
kembali. Perbuatan tersebut seringkali menimbulkan konflik di kalangan
Masyarakat. Konflik tersebut dikarenakan harga tanah yang tercantum di dalam
PPJB atau di dalam AJB besarannya hanya sebesar Utang yang dipinjam Debitur,
padahal, apabila tanah milik Debitur tersebut dipasarkan dengan harga pasar yang
sesungguhnya, Nilai tanah Debitur melebihi dari jumlah Utang Debitur kepada
Kreditur.
Sejatinya
penjaminan hutang atau pinjam meminjam dengan tanah dilakukan dengan lembaga
hukum Hak Tanggungan. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan (selanjutnya disebut dengan UU Hak Tanggungan), penjaminan utang
dengan benda tidak bergerak berupa tanah harus dilakukan dengan Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1)
dan (2) UU Hak Tanggungan, yang menyebutkan :
(1) |
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam
dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut; |
(2) |
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. |
Dengan
demikian, jual beli dengan hak membeli kembali yang didasarkan atas perbuatan
hukum pinjam meminjam, telah melanggar UUPA, Hukum Adat, dan UU Hak Tanggungan.
Namun demikian,
praktik pinjam meminjam uang yang dibalut dengan jual beli dengan hak membeli
kembali masih ada dan diterima dalam praktik peradilan. Hal ini dibuktikan
dengan Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 240/Pdt.G/2016/PN. Blb,
tanggal 17 Juli 2017 yang dikuatkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
498/Pdt/2017/PT. Bdg dan Putusan Kasasi
Mahkamah Agung No. 317/Pdt/2020.
Putusan
tersebut merupakan putusan dalam perkara jual beli tanah beserta bangunan di
atasnya, di mana Penggugat sebagai Pembeli menggugat Tergugat untuk melaksanakan
isi akta jual beli, yaitu untuk menyerahkan tanah dan bangunan yang telah
dibeli oleh Penggugat tersebut. Di dalam pemeriksaan perkara tersebut, terungkap
fakta, bahwa jual beli tanah dan bangunan didahului dengan pinjam meminjam di
bawah tangan yang diakui oleh Penggugat. Namun demikian fakta hukum adanya
pinjam meminjam tersebut tidak dipertimbangkan oleh Majelis hakim tingkat
pertama yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Hasilnya, gugatan Penggugat
tersebut dikabulkan, dan Tergugat harus menyerahkan tanah dan bangunan yang
telah dijualnya tersebut kepada Penggugat.
Seharusnya
Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 240/Pdt.G/2016/PN. Blb, tanggal 17
Juli 2017, kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
498/Pdt/2017/PT. Bdg, dan Putusan Kasasi
Mahkamah Agung No. 317/Pdt/2020, menolak gugatan Penggugat, dengan pertimbangan
hukum pengakuan Penggugat, yang menyatakan bahwa latar belakang jual beli
dengan hak membeli kembali tersebut adalah pinjam meminjam di bawah tangan. Mengingat
bahwa pengakuan adalah sebagai salah satu alat bukti. Pengakuan adalah salah
satu alat bukti (bewijsmiddel) yang
dikenal dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR
menetapkan alat bukti meliputi bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah.
Menurut
ketentuan Pasal 1923 KUHPerdata dan Pasal 174 HIR, Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu
pihak, ada yang diberikan dalam sidang Pengadilan dan ada yang diberikan di luar
sidang Pengadilan. Selanjutnya berdasarlan Pasal 1925 KUHPerdata Pengakuan
yang bernilai sebagai alat bukti, yaitu pertama pernyataan atau keterangan yang
dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lainnya dalam pemeriksaan perkara.
Kedua, pernyataan atau keterangan yang dikemukakan di muka hakim atau dalam
siding pengadilan. Ketiga, keterangan itu merupakan suatu pengakuan bahwa apa
yang didalilkan atau dikemukakan pihak lawan adalah benar, baik sebagian atau
seluruhnya. Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu alat bukti
yang sempurna terhadap siap yang telah melakukannya.
Mengenai
perkara yang telah diputus dalam Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.
240/Pdt.G/2016/PN. Blb, tanggal 17 Juli 2017 yang dikuatkan Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung No. 498/Pdt/2017/PT. Bdg dan
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 317/Pdt/2020, pengakuan tersebut terkait
dengan pengakuan Penggugat di muka hakim bahwa apa yang didalilkan atau
dikemukakan pihak lawan atau Tergugat adalah benar, baik sebagian atau
seluruhnya. Pengakuan tersebut menjadi bukti sempurna terhadap siapa yang
melakukan.
Putusan terahdap perkara jual beli dengan hak membeli kembali yang dilatar-belakangi dengan pinjam meminjam di bawah tangan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai suatu putusan pengadilan harus kita hormati. Namun demikian dikemudian hari, diharapkan putusan-putusan pengadilan harus memberikan pertimbangan hukum yang cukup, dengan mempertimbangkan secara berimbang, seluruh bukti-bukti yang diajukan, baik oleh Penggugat maupun Tergugat.
[1] Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan
Pertanahan Antara
Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm,
119
[2] Ibid, hlm, 114
Komentar
Posting Komentar