PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT ASN YANG DIJATUHI HUKUMAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN
YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP SEBELUM BERLAKUNYA UU 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA KEJAHATAN
JABATAN ATAU TINDAK PIDANA KEJAHATAN YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN JABATAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS) atau yang saat
ini oleh sebagian masyarakat disebut dengan Aparatur Sipil Negara (selanjutnya
disebut ASN), adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah (Pasal 1 angka (1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya
disebut UU ASN). Sementara pengertian PNS adalah warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh
pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan (Pasal 1 angka
(3) UU ASN)..
Berdasarkan pengertian ASN dan PNS tersebut, ternyata
pengertian ASN tidak sama dengan PNS. ASN adalah berkaitan dengan profesi,
sementara PNS adalah status atau kedudukan hukum yang melekat pada ASN,
sehingga walaupun seseorang sudah tidak menjabat lagi sebagai ASN, kedudukan
hukumnya sebagai PNS tetap melekat bahkan sampai dengan ASN tersebut pensiun
dan mendapatkan hak pensiunnya.
Istilah ASN itu baru populer setelah terbitnya UU ASN
pada tahun 2014. Di dalam konsideran menimbang UU ASN tersebut, dikemukakan
alasan atau dasar hukum diterbitkannya UU ASN tersebut, yaitu :
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan
mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan
bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat
dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum
berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan
oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan
tata kelola pemerintahan yang baik;
c. bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai
bagian dari reformasi birokrasi, perlu
ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban
mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya
dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan
tantangan global sehingga perlu diganti;
Berdasarkan konsideran menimbang UU ASN, dapat
disimpulkan bahwa, terbitnya UU ASN didasarkan oleh keinginan terhadap aparatur sipil negara yang memiliki
integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; kompetensi dan kualifikasi yang sesuai
dan memadai bagi ASN, agar masyarakat
puas terhadap pelayanan dan kinerja ASN sesuai dengan tata kelola pemerintahan
yang baik serta yang mengatur kepegawaian, yaitu Undang-undang Nomor Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, sudah tidak memadai
dengan tuntutan dan perkembangan nasional dan blobal.
ASN yang berintegritas akan bersih dari
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (selanjutnya disebut KKN) dan merupakan
ASN yang sangat diharapkan lahir berdasarkan UU ASN ini, karena praktik KKN
terus tumbuh dan berkembang di kalangan ASN, hal ini dapat dibuktikan dari
pantauan Indonesia Corruption Wacth (ICW) yang menyebtukan bahwa dalam semester
I tahun 2018, ASN yang terlibat kasus korupsi adalah 101 orang, sementara yang
melibatkan ketua dan anggota DPRD sebanyak 68 orang dan yang melibatkan pihak
swasta 61 orang.[1]
Bahkan Badan Kepagawaian Nasional mengeluarkan data sampai dengan tahun 2015
total ASN seluruh Indonesia yang terjerat kasus korupsi berjumlah 2.674 orang
ASN. Jumlah tersebut adalah yang telah diberikan vonis pengadilan dan telah
memiliki kekuatan hukum tetap, sementara yang masih dalam tahap pemeriksaan
dalam berbagai tahapannya berjumlah 7.749 ASN.
[2]
Total jumlah ASN yang terlibat korupsi
sebagaimana tersebut di atas berbanding lurus dengan index persepsi korupsi
Indonesia yang dirilis oleh Transparancy
International, tidak naik dari angka 37 pada tahun 2017, mengingat Tahun
2016 index persepsi korupsi Indonesia sama di angka 37. Hal ini menyebabkan
Indonesia masih menempati urutan 96 dari 180 negara.[3]
Bahkan Index persepsi korupsi Indonesia tersebut masih kalah dengan Timor Leste
yang indexnya 38.[4]
Bahkan kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dari tahun
2004 sampai dengan tahun 2018 relatif meningkat dari tahun ke tahun. Seperti
contoh dari tahun 2014 kasus korupsi yang dalam proses penuntutan 50 (lima
puluh) perkara dan 40 (empat puluh) diantaranya sudah inkracht, sementara tahun
2015 ada 62 (enam puluh dua) perkara yang dalam proses penuntutan dan 38 (tiga
puluh delapan) perkara diantaraya sudah inkracht. Tahun 2016 ada 76 (tujuh
puluh enam) perkara yang dituntut dan 71 (tujuh puluh satu) perkara yang sudah
inkracht, sementara tahun 2017 ada 103 (seratus tiga) perkara yang dituntut,
dan yang sudah inkracht 84 (delapan puluh empat perkara) dan di tahun 2018
perkara korupsi yang sudah dituntut adalah101 (seratus satu) perkara, dan
inkracht 75 (tujuh puluh lima) perkara.[5]
Di tahun 2018 kemungkinan akan bertambah lagi perkara yang dituntut dan
inkrach, mengingat masih tahun ini baru masuk bulan November.
Masih lekat dalam ingatan kita kasus korupsi perizinan
Meikarta, yang melibatkan Bupati Bekasi juga ASN Kepala Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Kepala Bidang Tata Ruang
Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.[6]
Sebelum kasus korupsi Meikarta terkuak, kasus korupsi yang melibatkan mantan
Bupati Bandung Barat, dan beberapa ASN di lingkungan Pemerintahan Kabupaten
Bandung Barat, seperti Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
Staf pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah,
Kepala Sub Bagian di Badan Kepegawaian Daerah.[7]
Kemudian ada korupsi suap perizinan yang melibatkan Bupati Subang dan ASN
Kepala Bidang Perizinan pada Dinas Penanaman Modal Pelayanan Perizinan Satu
Pintu, baik Bupati Subang non aktif maupun Kepala Bidang Perizinan tersebut
divonis 6.5 tahun penjara.[8]
Di atas adalah contoh kasus terbaru yang masih hangat dan menjadi perhatian
masyarakat luas.
Berdasarkan sejarah hukumnya, Pegawai Negeri yang
melakukan pelanggaran hukum pidana dan dikenakan tahanan, maka mulai saat itu
terhadapnya dapat dilakukan pemberhentian sementara (Pasal 7 ayat (4) dan
penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
(selanjutnya disebut UU 18/1961). Lebih lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri
(selanjutnya disebut PP 4/1966) mengatur bahwa pegawai negeri yang melakukan
pelanggaran/kejahatan jabatan dan jika terdapat petunjuk-petunjuk yang cukup
meyakinkan bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang didakwakan, atau jika
sesudah pemeriksaan dimaksud pegawai bersangkutan bersalah, maka atas dirinya
mulai bulan berikutnya diberhentikan dan gaji serta tunjangan yang sudah
diberikan tidak dipungut kembali.
Selanjutnya berasarkan Undang-undang Kepegawaian Nomor 8
Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 [9],
(selanjutnya disebut UU 43/1974) Pegawai Negeri yang dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan, diberhentikan dengan tidak hormat (Pasal 23 ayat
(5) huruf (c). Peraturan pelaksana UU 43/1974, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut
PP 32/1979)
menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan
keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, salah
satunya karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Selanjutnya
disebut UU ASN) merupakan UU yang mengganti UU 8/1974 sebagaimana telah diubah
dengan UU 43/1999. Di dalam UU ASN tersebut ditegaskan bahwa PNS diberhentikan
dengan tidak hormat salah satunya karena dihukum penjara atau kurungan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, pada dasarnya
PNS yang telah melakukan kejahatan jabatan atau yang berkaitan dengan
jabatannya dan telah dihukum berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap, harus diberhentikan dengan tidak hormat. Namun demikian
di dalam praktiknya berdasarkan data Badan Kepegawaian Nasional, sebagaimana
telah disebutkan di atas, 2.674 PNS telah divonis bersalah melakukan tindak
pidana jabatan atau korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Dari 2.674 PNS tersebut baru 317 PNS yang diberhentikan
dengan tidak hormat, sementara sisanya 2.357 masih berstatus aktif sebagai PNS
yang mendapatkan gaji dan tunjangan selama ini. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) turun tangan untuk mendorong BKN agar segera melakukan tindakan tegas
dengan memberhentikan dengan tidak hormat PNS bersangkutan.
Menanggapi pemasalahan ini Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Nasional
membuat dan menandatangani Surat Keputusan Bersama Nomor 182/6597/SJ jo 15
Tahun 2018 jo 153/Kep/2018, tanggal 13 September 2018 tentang Penegakan Hukum
Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan
Pengadilan yang Berkekuatan hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana
Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang ada Hubungannya Dengan
Jabatan.
SKB tersebut pada pokoknya mengatur penjatuhan sanksi kepada PNS yang telah
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan harus diberhentikan dengan tidak hormat dan
penjatuhan sanksi kepada pejabat pembina kepegawaian dan pejabatan yang
berwenang yang tidak melaksanakan penjatuhan sanksi. Bahwa penjatuhan sanki
kepada PNS tersebut harus telah dilaksanakan paling lambat bulan Desember 2018.
Namun permasalahan muncul ketika PNS yang telah divonis berdasarkan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum berlakunya UU ASN, ketika BKN
memerintahkan Pejabat Pembina Kepegawaian di Provinsi atau Kabupaten/Kota untuk
melakukan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS, terhitung atau mulai
tanggal putusan yang dimaksud berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar
pemidanaan. Pertanyaannya apakah pemberhentian dengan tidak hormat berdasarkan
UU ASN dapat berlaku surut (asas retro
aktif) ? dan apa akibat hukumnya ?
2.
Pembahasan
Setelah berlakunya UU ASN tahun 2014 dibawah rezim Pemerintahan
Jokowi, para PNS yang belum diberhentikan sebagai PNS karena telah dihukum
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan menjadi pekerjaan rumah yang harus
segera diselesaikan. Terbitnya SKB 3 Menteri menunjukkan keseriusan pemerintah
menanggapi hal ini, apalagi di dalam SKB ditetapkan batas akhir bagi
penyelesaian masalah pemberhentian PNS tersebut, yaitu bulan Desember 2018.
Dasar penetapan SKB ini salah satunya adalah UU
ASN. Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II di atas, bahwa UU ASN juga
mengatur tentang pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS, karena dihukum penjara atau
kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada
hubungannya dengan jabatan (Pasal 87 ayat (4) huruf b). Lebih lanjut peraturan
pelaksana UU ASN, yaitu PP 11/2017 menegaskan bahwa pemberhentian PNS karena
alasan tersebut di atas, terhitung
mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (Pasal 252).
Bahwa ketentuan Pasal 252 UU ASN yang mengatur
tenggat waktu pemberhentian sebagai PNS karena dihukum telah melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan atau yang berhubungan dengan jabatan berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terhitung mulai akhir bulan
sejak putusan berkekuatan hukum tetap, pada asasnya hanya dapat diterapkan bagi
perkara-perkara tindak pidana kejahatan jabatan yang putusan pengadilannya baru
memiliki kekuatan hukum tetap. Sementara bagi PNS yang telah dihukum
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum UU ASN
berlaku, apakah dapat menerapkan ketentuan Pasal 252 UU ASN tersebut?
Pemberlakuan surut suatu peraturan
perundang-undangan disebut asas retroaktif. Apabila dikaitkan dengan masalah
dalam Legal Memorandum ini, maksud pemberlakuan surut adalah pemberlakuan Pasal
252 UU ASN sebagai dasar pemberhentian PNS yang dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap sebelum berlakunya UU ASN.
Pada dasarnya asas retroaktif lawan dari asas
legalitas atau asas non retroaktif. Asas ini hanya terkandung di dalam
KUHPidana Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Suatu perbuatan tidak dapat di pidana
kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada. Berdasarkan asas legalitas tersebut, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana, jika :
1. Disebutkan atau dicantumkan dalam
peraturan perundang-undangan yang tertulis. Artinya, perbuatan seseorang yang
tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana, tidak dapat dijerat
oleh hukum. Jadi dengan adanya asas ini, hukum yang tidak tertulis tidak
mempunyai kekuatan untuk diterapkan;
2. Peraturan undang-undang (aturan dan ketentuan-ketentuan
hukum yang disahkan) harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Artinya, hukum
tidak boleh diberlakukan surut. Sebagai konsekwensinya, perbuatan seseorang
yang dilakukan sebelum dikeluarkanya peraturan perundang-undangan yang sah, tidak
dapat dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan tersebut
dilakukan
Asas legalitas atau non retroaktif ini merupakan
pengejawantahan dari Pasal 28 I UUD 1945 yang menyebutkan bahwa hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Konsekuensi hukum dari berlakunya pasal non retroaktif tersebut adalah
adanya larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana, karena
melanggar hak asasi manusia.
Namun demikian ada beberap ahli yang mendukung asas
retroaktif ini, dengan alasan bahwa ketetuan Pasal 28 I UUD 1945 dapat
disimpangi dengan Pasal 28 J UUD 1945. Dengan perkataan lain, Pasal 28 J UUD
1945 adalah pengecualian dari Pasal 28 I UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945
menyebutkan bahwa :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama,keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokrasi”
Mengenai alasan pemberlakuan asas retroaktif
berdasarkan Pasal 28 J UUD 1945 ini, pernah dibantah secara ilmiah oleh Maria
Farida Indriati, yang diberikan dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan di MK, yang berpendapat
bahwa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk
melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal
28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.Begitu pula dengan pendapat
Indriyanto Seno Adji yang menegaskan bahwa sifat eksepsionalitas terhadap
pembatasan-pembatasan pada Pasal 28J tersebut harus tetap dalam batas-batas
yang tidak dapat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai asas
umum/universal dalam Hukum Pidana. Jadi dalam kondisi darurat apapun tidak
memberikan suatu justifikasi memberlakukan produk perundang-undangan untuk
berlaku surut karenanya pembatasan-pembatasan dimaksud tidaklah berada
dalam posisi dan status yang merugikan kepentingan tersangka/terdakwa/terpidana.[10]
Lebih lanjut Prof. Muladi menegaskan bahwa model peradilan HAM Ad Hoc yang berlaku
retroaktif hendaknya terakhir kali, karena penolakan asas retroaktif yang
universal ini sebagai bagian dari The International Customary Law. Asas
Larangan Berlaku Surut juga diakui dalam Hukum Pidana Internasional sebagai
hasil interaksi dan praktek diplomatik serta yudisial.[11]
Bahwa International Criminal
Court melalui Statuta Roma 1998 sebagai representasi terhadap pelaksanaan
secara substansial yang mengatur pula ketentuan mengenai Hukum Pidana
Internasional, yaitu kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (Crimes Against Humanity) yang indemdito dengan Pasal 7 UU
Pengadilan HAM secara tegas menolak pengaturan mengenai Asas Retroaktif, secara
tegas menyebutkan :
Article
22 (Noellum Crimen Sine Lege);
“A
person shall not be criminally responsible under this statute unless the
conduct in question constitute, at the time it takes place, a crime within the
jurisdiction of the court”;
Article
23 :
“A
person convicted by the court may be punished only in accordance with this
Statute”;
Article
24 (Non Retroactivity ratione personae) :
“No
person shall be criminally responsible under this statute for conduct prior to
the entry into force of the statute”.[12]
Dalam perspektif hukum
pidana internasional, Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court/ICC) tahun 1998 menyatakan dalam Pasal 11 ayat (1): “Mahkamah memiliki
yurisdiksi hanya terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah berlakunya
statuta ini”. kemudian Pasal
24 ayat (1): “Seseorang tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan
Statuta ini untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta ini.”[13]
Bahkan dalam perspektif
Hukum Tata Negara (Hukum Konstitusi) boleh dikatakan hampir semua Konstitusi di
dunia mengadopsi asas non-retroaktif, sehingga apabila UUD 1945 dalam Pasal 28I
ayat (1) merumuskan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun” adalah tentu dengan penuh kesadaran dan bukti
komitmen religiusitas serta kepada universalitas HAM. Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 adalah untuk restriksi terhadap sejumlah HAM di luar apa yang secara
limitatif telah disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1).[14]
Masih menurut Hakim Konstitusi dalam perkara tersebut di atas, argumentasi untuk menerapkan asas
retroaktif secara terbatas bagi berbagai kasus pidana yang dikategorikan sebagai
“extra-ordinary crime” dengan ukuran-ukuran yang belum jelas, lebih bernuansa
pertimbangan politik (political judgement) ketimbang pertimbangan hukum, baik
politik dalam dimensi nasional maupun internasional.[15]
Putusan MK di atas merupakan putusan mengenai
penolakan pemberlakuan asas retroaktif. Namun demikian ada juga Putusan MK yang
mengabulkan pengecualian asas non retroaktif dalam kasus terorisme bom bali. Di
dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, yaitu Putusan Nomor
013/PUU-I/2003, disebutkan ada 6 (enam) alasan yang membenarkan asas
retroaktif, yaitu :[16]
1. Pendapat Gustav Radbruch yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dihukum walaupun
ketika dilakukan perbuatan itu belum dinyatakan sebagai perbuatan pidana
(crime), karena asas superioritas keadilan bisa mengesampingkan asas
non-retroaktif. Namun, Radbruch tetap meyakini bahwa asas non-retroaktif
sedemikian pentingnya, sehingga pengesampingan asas tersebut hanya boleh
dilakukan dalam situasi yang sangat ekstrim, seperti yang pernah diterapkan pada rezim Nazi
yang telah melakukan tindakan pemusnahan peradaban;
2. Argumen yang menyatakan bahwa adanya
pengetahuan dari pelaku tentang perbuatan yang dilakukannya itu merupakan
subyek yang patut dihukum di masa datang, walaupun pada saat dilakukan perbuatan
itu adalah legal. Argumen dimaksud menyimpulkan bahwa dalam keadaan apapun asas
nonretroaktif tidak bisa digunakan untuk melindungi seorang pelaku yang tahu
bahwa perbuatannya adalah salah;
3. Argumen yang menyatakan bahwa asas umum
dari keadilan dapat mengesampingkan keberadaan hukum positif. Suatu perbuatan
yang walaupun pada saat dilakukannya bukan merupakan perbuatan pidana menurut
hukum positif, dapat diterapkan hukum yang berlaku surut jika perbuatan itu
bertentangan dengan asas keadilan yang bersifat umum;
4. Argumen yang menyatakan bahwa asas hukum
internasional dapat mengesampingkan hukum domestik. Oleh karena itu walaupun
menurut hukum domestik sebelumnya perbuatan itu tidak melanggar hukum tetapi
asas non-retroaktif dapat dikesampingkan karena perbuatan itu melanggar asas
hukum positif internasional;
5. Argumen yang menyatakan bahwa asas
non-retroaktif dapat dikesampingkan melalui penafsiran kembali
(re-interpretation) hukum yang berlaku sebelumnya. Dengan menggunakan
penafsiran kembali terhadap hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan,
maka perbuatan yang semula tidak merupakan perbuatan yang dapat dihukum menjadi
perbuatan yang dapat dihukum;
6. Argumen yang menyatakan bahwa perbuatan
itu menurut hukum yang berlaku pada saat dilakukannya, sebenarnya telah
merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum yang berlaku saat itu.
Pada prinsipnya masyarakat hukum internasional berpendapat bahwa asas non
retroaktif berlaku mutlak dan tidak dapat dikesampingkan, namun untuk peristiwa
tindak pidana tertentu asas ini dapat dikesampingkan, seperti contoh mengadili kejahatan perang di Pengadilan
Nuremberg. Tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, hal itu dilakukan sebagai
perkecualian dan dorongan emosional yang sangat kuat untuk memberi hukuman kepada
kekejian Nazi, dan setelah pengadilan itu berakhir masyarakat internasional
selalu kembali menekankan bahwa asas non-retroaktif ini tidak boleh dilanggar. Dengan
demikian pemberlakuan
prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian
yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat
(gross violation on human rights) sebagai kejahatan yang serius, yang merupakan
jaminan terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).
Berdasarkan penjelasan mengenai asas retroaktif tersebut di atas dan
apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam Legal Memorandum ini, maka
penerapan asas retroaktif dalam tindakan administrasi negara untuk
memberhentikan PNS yang dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan
jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan berdasarkan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap dengan cara memberlakukan surut ketentuan UU ASN
mengenai waktu pemberhentian PNS tersebut terhitung sejak bulan berikutnya
setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain alasan tersebut di atas, permasalahan ini kemungkinan besar tidak
akan muncul, apabila pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang bersangkutan
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yag berlaku sebelum UU ASN,
yang ada pengaturan mengenai pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS yang
dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada
hubungannya dengan jabatan. Peraturan perundang-undangan tersebut jelas dan
tegas, sehingga dapat dikatakan bahwa ada atau terciptanya kondisi demikian
adalah karena kesalahan atau kelalaian dari pihak pejabat pembina kepegawaian
atau pejabat yang bersangkutan, karena tidak melaksanakan perintah peraturan
perundang-undagan sebelum UU ASN terbit. Bahwa apapun alasan atau kendala yang
menyebabkan kondisi ini, bukan merupakan alasan pembenar untuk mengesampingkan
peran dan tanggung jawab pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang
bersangkutan dalam membina dan mengawasi PNS. Dengan demikian ketentuan
mengenai pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS yang dihukum penjara karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan
jabatan terhitung sejak awal bulan putusan yang menghukum PNS tersebut
berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diberlakukan surut.
3.
Penutup
a.
Kesimpulan
1)
Bahwa ketentuan mengenai pemberhentian dengan tidak
hormat bagi PNS yang dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan
jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan terhitung sejak awal bulan
putusan yang menghukum PNS tersebut berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur
dalam UU ASN, tidak dapat diberlakukan surut, karena pada asasnya suatu peraturan
perundang-undangan tidak berlaku surut (asas retroaktif).
2)
Bahwa
di dalam praktik peraturan perundang-undangan, memang terdapat undang-undang
yang dapat diberlakukan surut, seperti terhadap Undang-undang Nomor 16 Tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa
Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang. Bahwa penetapan
suatu undang-undang dapat diberlakukan surut harus memiliki krieteria tertentu,
yang pertama bahwa pengaturan mengenai asas retroaktif, umumnya berlaku dalam
bidang hukum pidana, kedua pemberlakuannya harus dalam keadaan memaksa atau
sangat mendesak terhadap kejadian atau peristiwa yang luar biasa, dalam hal ini
terkait undang-undang tersebut di atas tindak pidana terorisme merupakan tindak
pidana yang termasuk extra ordinary crime. Ketiga, pemberlakuan prinsip retroaktif dalam
hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan
diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat. Bahwa selain UU
16/2003 tersebut, belum ada Undang-undang lain yang dapat berlaku surut.
3)
Saran
a)
Bahwa oleh karena asas retroaktif tidak dapat diterapkan
dalam UU ASN, maka untuk waktu pemberhentian dengan tidak hormat PNS yang
dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada
hubungannya dengan jabatan tidak dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 252 UU
ASN. Oleh karena itu pemberhentian dengan tidak hormat dilakukan sesuai
prosedur dan tata cara yang biasa, terhitung sejak SKB 3 (tiga) Menteri
tersebut lahir. Adanya tuntutan atau gugatan secara hukum ke Pengadilan Tata
Usaha Negara dari PNS yang diberhentikan dengan tidak hormat tersebut merupakan
ekses atau konsekuensi hukum dari tindakan pemberhentian tersebut dan pejabat
pembina kepegawaian harus siap menghadapinya.
b)
Selain itu penyebab mengapa PNS yang telah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan
jabatan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tetapi
setelah putusannya inkracht tidak diberhentikan dengan tidak hormat perlu
diselidiki dan diteliti. Apakah hasil investigasi karena kesalahan atau
kesulitan verifikasi atau validasi data, atau karena ada pihak-pihak yang
melindungi. Hal ini dilakukan karena ada kaitannya dengan kerugian negara. Apabila
perlu pihak-pihak yang melindungi PNS bersangkutan perlu diberikan sanksi. Hal
ini dimaksudkan agar pembinaan PNS akan lebih baik di kemudian hari.
Daftar
Pustaka
Buku-Buku dan Sumber
Internet :
Muladi,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi
Hukum di Indonesia,
Cetakan I, The Habibie Centre, Jakarta, 2002.
ICW
: Aktor yang Paling Banyak Terjerat Kasus Korupsi Adalah ASN, https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/15470561/icw-aktor-yang-paling-banyak-terjerat-kasus-korupsi-adalah-asn, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Tujuh Ribu PNS Korupsi Bagaimana
Mendisiplinkannya ?,
https://tirto.id/tujuh-ribu-pns-korupsi-bagaimana-mendisiplinkannya-cXD1, diakses pada tanggal 20 September 2018.
https://tirto.id/tujuh-ribu-pns-korupsi-bagaimana-mendisiplinkannya-cXD1, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Index
Persepsi Korupsi Indonesia Jalan Ditempat, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-jalan-ditempat, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Index
Korupsi Indonesia di Bawah Timor Leste, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-korupsi-indonesia-di-bawah-timor-leste, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Rekapitulasi
Tindak Pidana Korupsi, diakses dari http://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi, pada tanggal 20 September 2018.
Kasus
Meikarta Bupati Bekasi Serahkan Uang Sekitar 3 Milyar ke KPK, https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/14581381/kasus-meikarta-bupati-bekasi-serahkan-uang-sekitar-rp-3-m-ke-kpk, diakses pada tanggal 12 September 2018.
Kasus Dugaan Korupsi Bupati Bandung Barat, Demi Biayai
Istrinya "Nyalon" hingga Dituntut 8 Tahun Penjara, https://regional.kompas.com/read/2018/11/06/19371871/kasus-dugaan-korupsi-bupati-bandung-barat-demi-biayai-istrinya-nyalon-hingga, diakses pada tanggal 12 September
2018.
Mantan Bupati Subang Imas
Aryumningsih Divonis 6,5 Tahun, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/09/24/mantan-bupati-subang-imas-aryumningsih-divonis-65-tahun-430566, pada tanggal 12 September 2018.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966
tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri;
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979
tentang Pemberhentian PNS, sebagaimana telah diubah pertama kali dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1994 dan kedua kali dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 dan ketiga kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2011 dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2013.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
Tentang Manajemen ASN.
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepala
Badan Kepegawaian Negara Nomor 182/6597/SJ jo Nomor 15 Tahun 2018 jo Nomor
153/Kep/2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah
Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap
Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan
yang ada Hubunganya dengan Jabatan.
Putusan-Putusan Pengadilan
:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
065/PUU-II/2004
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2004
[1] ICW : Aktor yang Paling Banyak
Terjerat Kasus Korupsi Adalah ASN, https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/15470561/icw-aktor-yang-paling-banyak-terjerat-kasus-korupsi-adalah-asn, diakses pada
tanggal 20 September 2018.
[2] Tujuh
Ribu PNS Korupsi Bagaimana Mendisiplinkannya ?,
https://tirto.id/tujuh-ribu-pns-korupsi-bagaimana-mendisiplinkannya-cXD1, diakses pada tanggal 20 September 2018.
https://tirto.id/tujuh-ribu-pns-korupsi-bagaimana-mendisiplinkannya-cXD1, diakses pada tanggal 20 September 2018.
[3] Index Persepsi Korupsi Indonesia Jalan
Ditempat, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-jalan-ditempat, diakses
pada tanggal 20 September 2018.
[4] Index Korupsi Indonesia di Bawah Timor
Leste, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-korupsi-indonesia-di-bawah-timor-leste, diakses
pada tanggal 20 September 2018.
[5] Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi,
diakses dari http://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi, pada tanggal 20 September 2018.
[6]Kasus
Meikarta Bupati Bekasi Serahkan Uang Sekitar 3 Milyar ke KPK, https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/14581381/kasus-meikarta-bupati-bekasi-serahkan-uang-sekitar-rp-3-m-ke-kpk, diakses
pada tanggal 12 September 2018.
[7] Kasus Dugaan Korupsi Bupati Bandung Barat, Demi Biayai Istrinya
"Nyalon" hingga Dituntut 8 Tahun Penjara, https://regional.kompas.com/read/2018/11/06/19371871/kasus-dugaan-korupsi-bupati-bandung-barat-demi-biayai-istrinya-nyalon-hingga, diakses pada tanggal 12 September 2018.
[8] Mantan Bupati Subang Imas Aryumningsih Divonis 6,5 Tahun, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/09/24/mantan-bupati-subang-imas-aryumningsih-divonis-65-tahun-430566, pada tanggal 12 September 2018.
[9] Di dalam konsideran menimbang huruf (c) UU 43/1974 menyebtukan bahwa UU 18/1961 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan itu dianggap tidak sesuai lagi, maka oleh sebab itu perlu diganti.
[10] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 065/PUU-II/2004, hlm. 5-6
[11]
Muladi,
Demokratisasi,
Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan I, The Habibie Centre, Jakarta, 2002, halaman 75-76.
[12] Lihat Lihat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004, hlm. 6
[13] Ibid.,
hlm 41
[14] Ibid
[15] Ibid., hlm. 42
[16] Lihat Putusan MK Nomor 013/PUU-1/2003,
hlm. 36-37
Komentar
Posting Komentar