PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT ASN YANG DIJATUHI HUKUMAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP SEBELUM BERLAKUNYA UU 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA KEJAHATAN JABATAN ATAU TINDAK PIDANA KEJAHATAN YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN JABATAN

1.         Latar Belakang Masalah
Hasil gambar untuk logo asnPegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS) atau yang saat ini oleh sebagian masyarakat disebut dengan Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut ASN), adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah (Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN). Sementara pengertian PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan (Pasal 1 angka (3) UU ASN).. 
Berdasarkan pengertian ASN dan PNS tersebut, ternyata pengertian ASN tidak sama dengan PNS. ASN adalah berkaitan dengan profesi, sementara PNS adalah status atau kedudukan hukum yang melekat pada ASN, sehingga walaupun seseorang sudah tidak menjabat lagi sebagai ASN, kedudukan hukumnya sebagai PNS tetap melekat bahkan sampai dengan ASN tersebut pensiun dan mendapatkan hak pensiunnya.
Istilah ASN itu baru populer setelah terbitnya UU ASN pada tahun 2014. Di dalam konsideran menimbang UU ASN tersebut, dikemukakan alasan atau dasar hukum diterbitkannya UU ASN tersebut, yaitu :
a.     bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.     bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik;
c.      bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu  ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara;
d.     bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti;
Berdasarkan konsideran menimbang UU ASN, dapat disimpulkan bahwa, terbitnya UU ASN didasarkan oleh keinginan terhadap aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; kompetensi dan kualifikasi yang sesuai dan memadai bagi ASN, agar  masyarakat puas terhadap pelayanan dan kinerja ASN sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik serta yang mengatur kepegawaian, yaitu Undang-undang Nomor Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, sudah tidak memadai dengan tuntutan dan perkembangan nasional dan blobal.
ASN yang berintegritas akan bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (selanjutnya disebut KKN) dan merupakan ASN yang sangat diharapkan lahir berdasarkan UU ASN ini, karena praktik KKN terus tumbuh dan berkembang di kalangan ASN, hal ini dapat dibuktikan dari pantauan Indonesia Corruption Wacth (ICW) yang menyebtukan bahwa dalam semester I tahun 2018, ASN yang terlibat kasus korupsi adalah 101 orang, sementara yang melibatkan ketua dan anggota DPRD sebanyak 68 orang dan yang melibatkan pihak swasta 61 orang.[1] Bahkan Badan Kepagawaian Nasional mengeluarkan data sampai dengan tahun 2015 total ASN seluruh Indonesia yang terjerat kasus korupsi berjumlah 2.674 orang ASN. Jumlah tersebut adalah yang telah diberikan vonis pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, sementara yang masih dalam tahap pemeriksaan dalam berbagai tahapannya berjumlah 7.749 ASN. [2]
Total jumlah ASN yang terlibat korupsi sebagaimana tersebut di atas berbanding lurus dengan index persepsi korupsi Indonesia yang dirilis oleh Transparancy International, tidak naik dari angka 37 pada tahun 2017, mengingat Tahun 2016 index persepsi korupsi Indonesia sama di angka 37. Hal ini menyebabkan Indonesia masih menempati urutan 96 dari 180 negara.[3] Bahkan Index persepsi korupsi Indonesia tersebut masih kalah dengan Timor Leste yang indexnya 38.[4]
Bahkan kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2018 relatif meningkat dari tahun ke tahun. Seperti contoh dari tahun 2014 kasus korupsi yang dalam proses penuntutan 50 (lima puluh) perkara dan 40 (empat puluh) diantaranya sudah inkracht, sementara tahun 2015 ada 62 (enam puluh dua) perkara yang dalam proses penuntutan dan 38 (tiga puluh delapan) perkara diantaraya sudah inkracht. Tahun 2016 ada 76 (tujuh puluh enam) perkara yang dituntut dan 71 (tujuh puluh satu) perkara yang sudah inkracht, sementara tahun 2017 ada 103 (seratus tiga) perkara yang dituntut, dan yang sudah inkracht 84 (delapan puluh empat perkara) dan di tahun 2018 perkara korupsi yang sudah dituntut adalah101 (seratus satu) perkara, dan inkracht 75 (tujuh puluh lima) perkara.[5] Di tahun 2018 kemungkinan akan bertambah lagi perkara yang dituntut dan inkrach, mengingat masih tahun ini baru masuk bulan November.
Masih lekat dalam ingatan kita kasus korupsi perizinan Meikarta, yang melibatkan Bupati Bekasi juga ASN Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.[6] Sebelum kasus korupsi Meikarta terkuak, kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Bandung Barat, dan beberapa ASN di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bandung Barat, seperti Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Staf pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala Sub Bagian di Badan Kepegawaian Daerah.[7] Kemudian ada korupsi suap perizinan yang melibatkan Bupati Subang dan ASN Kepala Bidang Perizinan pada Dinas Penanaman Modal Pelayanan Perizinan Satu Pintu, baik Bupati Subang non aktif maupun Kepala Bidang Perizinan tersebut divonis 6.5 tahun penjara.[8] Di atas adalah contoh kasus terbaru yang masih hangat dan menjadi perhatian masyarakat luas.
Berdasarkan sejarah hukumnya, Pegawai Negeri yang melakukan pelanggaran hukum pidana dan dikenakan tahanan, maka mulai saat itu terhadapnya dapat dilakukan pemberhentian sementara (Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU 18/1961). Lebih lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri (selanjutnya disebut PP 4/1966) mengatur bahwa pegawai negeri yang melakukan pelanggaran/kejahatan jabatan dan jika terdapat petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang didakwakan, atau jika sesudah pemeriksaan dimaksud pegawai bersangkutan bersalah, maka atas dirinya mulai bulan berikutnya diberhentikan dan gaji serta tunjangan yang sudah diberikan tidak dipungut kembali.
Selanjutnya berasarkan Undang-undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 [9], (selanjutnya disebut UU 43/1974) Pegawai Negeri yang dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, diberhentikan dengan tidak hormat (Pasal 23 ayat (5) huruf (c). Peraturan pelaksana UU 43/1974, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP 32/1979) menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, salah satunya karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Selanjutnya disebut UU ASN) merupakan UU yang mengganti UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999. Di dalam UU ASN tersebut ditegaskan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat salah satunya karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, pada dasarnya PNS yang telah melakukan kejahatan jabatan atau yang berkaitan dengan jabatannya dan telah dihukum berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, harus diberhentikan dengan tidak hormat. Namun demikian di dalam praktiknya berdasarkan data Badan Kepegawaian Nasional, sebagaimana telah disebutkan di atas, 2.674 PNS telah divonis bersalah melakukan tindak pidana jabatan atau korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dari 2.674 PNS tersebut baru 317 PNS yang diberhentikan dengan tidak hormat, sementara sisanya 2.357 masih berstatus aktif sebagai PNS yang mendapatkan gaji dan tunjangan selama ini. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan untuk mendorong BKN agar segera melakukan tindakan tegas dengan memberhentikan dengan tidak hormat PNS bersangkutan.
Menanggapi pemasalahan ini Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Nasional membuat dan menandatangani Surat Keputusan Bersama Nomor 182/6597/SJ jo 15 Tahun 2018 jo 153/Kep/2018, tanggal 13 September 2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang ada Hubungannya Dengan Jabatan.
SKB tersebut pada pokoknya mengatur penjatuhan sanksi kepada PNS yang telah melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan harus diberhentikan dengan tidak hormat dan penjatuhan sanksi kepada pejabat pembina kepegawaian dan pejabatan yang berwenang yang tidak melaksanakan penjatuhan sanksi. Bahwa penjatuhan sanki kepada PNS tersebut harus telah dilaksanakan paling lambat bulan Desember 2018.
Namun permasalahan muncul ketika PNS yang telah divonis berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum berlakunya UU ASN, ketika BKN memerintahkan Pejabat Pembina Kepegawaian di Provinsi atau Kabupaten/Kota untuk melakukan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS, terhitung atau mulai tanggal putusan yang dimaksud berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar pemidanaan. Pertanyaannya apakah pemberhentian dengan tidak hormat berdasarkan UU ASN dapat berlaku surut (asas retro aktif) ? dan apa akibat hukumnya ?

2.         Pembahasan
Hasil gambar untuk foto buku tebalSetelah berlakunya UU ASN tahun 2014 dibawah rezim Pemerintahan Jokowi, para PNS yang belum diberhentikan sebagai PNS karena telah dihukum melakukan tindak pidana kejahatan jabatan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Terbitnya SKB 3 Menteri menunjukkan keseriusan pemerintah menanggapi hal ini, apalagi di dalam SKB ditetapkan batas akhir bagi penyelesaian masalah pemberhentian PNS tersebut, yaitu bulan Desember 2018.
Dasar penetapan SKB ini salah satunya adalah UU ASN. Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II di atas, bahwa UU ASN juga mengatur tentang pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS, karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan (Pasal 87 ayat (4) huruf b). Lebih lanjut peraturan pelaksana UU ASN, yaitu PP 11/2017 menegaskan bahwa pemberhentian PNS karena alasan tersebut di atas, terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (Pasal 252).
Bahwa ketentuan Pasal 252 UU ASN yang mengatur tenggat waktu pemberhentian sebagai PNS karena dihukum telah melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang berhubungan dengan jabatan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terhitung mulai akhir bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, pada asasnya hanya dapat diterapkan bagi perkara-perkara tindak pidana kejahatan jabatan yang putusan pengadilannya baru memiliki kekuatan hukum tetap. Sementara bagi PNS yang telah dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum UU ASN berlaku, apakah dapat menerapkan ketentuan Pasal 252 UU ASN tersebut?
Pemberlakuan surut suatu peraturan perundang-undangan disebut asas retroaktif. Apabila dikaitkan dengan masalah dalam Legal Memorandum ini, maksud pemberlakuan surut adalah pemberlakuan Pasal 252 UU ASN sebagai dasar pemberhentian PNS yang dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum berlakunya UU ASN.
 Pada dasarnya asas retroaktif lawan dari asas legalitas atau asas non retroaktif. Asas ini hanya terkandung di dalam KUHPidana Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Suatu perbuatan tidak dapat di pidana kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Berdasarkan asas legalitas tersebut, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana, jika :
1.     Disebutkan atau dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis. Artinya, perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana, tidak dapat dijerat oleh hukum. Jadi dengan adanya asas ini, hukum yang tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan untuk diterapkan;
2.     Peraturan undang-undang (aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang disahkan) harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Artinya, hukum tidak boleh diberlakukan surut. Sebagai konsekwensinya, perbuatan seseorang yang dilakukan sebelum dikeluarkanya peraturan perundang-undangan yang sah, tidak dapat dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan tersebut dilakukan
Asas legalitas atau non retroaktif ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 28 I UUD 1945 yang menyebutkan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Konsekuensi hukum dari berlakunya pasal non retroaktif tersebut adalah adanya larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana, karena melanggar hak asasi manusia.
Namun demikian ada beberap ahli yang mendukung asas retroaktif ini, dengan alasan bahwa ketetuan Pasal 28 I UUD 1945 dapat disimpangi dengan Pasal 28 J UUD 1945. Dengan perkataan lain, Pasal 28 J UUD 1945 adalah pengecualian dari Pasal 28 I UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan bahwa :
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi

Mengenai alasan pemberlakuan asas retroaktif berdasarkan Pasal 28 J UUD 1945 ini, pernah dibantah secara ilmiah oleh Maria Farida Indriati, yang diberikan dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan di MK, yang berpendapat bahwa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.Begitu pula dengan pendapat Indriyanto Seno Adji yang menegaskan bahwa sifat eksepsionalitas terhadap pembatasan-pembatasan pada Pasal 28J tersebut harus tetap dalam batas-batas yang tidak dapat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai asas umum/universal dalam Hukum Pidana. Jadi dalam kondisi darurat apapun tidak memberikan suatu justifikasi memberlakukan produk perundang-undangan untuk berlaku surut  karenanya pembatasan-pembatasan dimaksud tidaklah berada dalam posisi dan status yang merugikan kepentingan tersangka/terdakwa/terpidana.[10]
Lebih lanjut Prof. Muladi menegaskan bahwa model peradilan HAM Ad Hoc yang berlaku retroaktif hendaknya terakhir kali, karena penolakan asas retroaktif yang universal ini sebagai bagian dari The International Customary Law. Asas Larangan Berlaku Surut juga diakui dalam Hukum Pidana Internasional sebagai hasil interaksi dan praktek diplomatik serta yudisial.[11]
Bahwa International Criminal Court melalui Statuta Roma 1998 sebagai representasi terhadap pelaksanaan secara substansial yang mengatur pula ketentuan mengenai Hukum Pidana Internasional, yaitu kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Against Humanity) yang indemdito dengan Pasal 7 UU Pengadilan HAM secara tegas menolak pengaturan mengenai Asas Retroaktif, secara tegas menyebutkan :
Article 22 (Noellum Crimen Sine Lege);
“A person shall not be criminally responsible under this statute unless the conduct in question constitute, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”;

Article 23 :
“A person convicted by the court may be punished only in accordance with this Statute”;

Article 24 (Non Retroactivity ratione personae) :
“No person shall be criminally responsible under this statute for conduct prior to the entry into force of the statute”.[12]

Dalam perspektif hukum pidana internasional, Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998 menyatakan dalam Pasal 11 ayat (1): “Mahkamah memiliki yurisdiksi hanya terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah berlakunya statuta ini”. kemudian Pasal 24 ayat (1): “Seseorang tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta ini.[13]
Bahkan dalam perspektif Hukum Tata Negara (Hukum Konstitusi) boleh dikatakan hampir semua Konstitusi di dunia mengadopsi asas non-retroaktif, sehingga apabila UUD 1945 dalam Pasal 28I ayat (1) merumuskan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” adalah tentu dengan penuh kesadaran dan bukti komitmen religiusitas serta kepada universalitas HAM. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah untuk restriksi terhadap sejumlah HAM di luar apa yang secara limitatif telah disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1).[14]
Masih menurut Hakim Konstitusi dalam perkara tersebut di atas, argumentasi untuk menerapkan asas retroaktif secara terbatas bagi berbagai kasus pidana yang dikategorikan sebagai “extra-ordinary crime” dengan ukuran-ukuran yang belum jelas, lebih bernuansa pertimbangan politik (political judgement) ketimbang pertimbangan hukum, baik politik dalam dimensi nasional maupun internasional.[15]
Putusan MK di atas merupakan putusan mengenai penolakan pemberlakuan asas retroaktif. Namun demikian ada juga Putusan MK yang mengabulkan pengecualian asas non retroaktif dalam kasus terorisme bom bali. Di dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, yaitu Putusan Nomor 013/PUU-I/2003, disebutkan ada 6 (enam) alasan yang membenarkan asas retroaktif, yaitu :[16]
1.    Pendapat Gustav Radbruch yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dihukum walaupun ketika dilakukan perbuatan itu belum dinyatakan sebagai perbuatan pidana (crime), karena asas superioritas keadilan bisa mengesampingkan asas non-retroaktif. Namun, Radbruch tetap meyakini bahwa asas non-retroaktif sedemikian pentingnya, sehingga pengesampingan asas tersebut hanya boleh dilakukan dalam situasi yang sangat ekstrim, seperti yang pernah diterapkan pada rezim Nazi yang telah melakukan tindakan pemusnahan peradaban;
2.    Argumen yang menyatakan bahwa adanya pengetahuan dari pelaku tentang perbuatan yang dilakukannya itu merupakan subyek yang patut dihukum di masa datang, walaupun pada saat dilakukan perbuatan itu adalah legal. Argumen dimaksud menyimpulkan bahwa dalam keadaan apapun asas nonretroaktif tidak bisa digunakan untuk melindungi seorang pelaku yang tahu bahwa perbuatannya adalah salah;
3.    Argumen yang menyatakan bahwa asas umum dari keadilan dapat mengesampingkan keberadaan hukum positif. Suatu perbuatan yang walaupun pada saat dilakukannya bukan merupakan perbuatan pidana menurut hukum positif, dapat diterapkan hukum yang berlaku surut jika perbuatan itu bertentangan dengan asas keadilan yang bersifat umum;
4.    Argumen yang menyatakan bahwa asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik. Oleh karena itu walaupun menurut hukum domestik sebelumnya perbuatan itu tidak melanggar hukum tetapi asas non-retroaktif dapat dikesampingkan karena perbuatan itu melanggar asas hukum positif internasional;
5.    Argumen yang menyatakan bahwa asas non-retroaktif dapat dikesampingkan melalui penafsiran kembali (re-interpretation) hukum yang berlaku sebelumnya. Dengan menggunakan penafsiran kembali terhadap hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, maka perbuatan yang semula tidak merupakan perbuatan yang dapat dihukum menjadi perbuatan yang dapat dihukum;
6.    Argumen yang menyatakan bahwa perbuatan itu menurut hukum yang berlaku pada saat dilakukannya, sebenarnya telah merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum yang berlaku saat itu.

Pada prinsipnya masyarakat hukum internasional berpendapat bahwa asas non retroaktif berlaku mutlak dan tidak dapat dikesampingkan, namun untuk peristiwa tindak pidana tertentu asas ini dapat dikesampingkan, seperti contoh mengadili kejahatan perang di Pengadilan Nuremberg. Tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, hal itu dilakukan sebagai perkecualian dan dorongan emosional yang sangat kuat untuk memberi hukuman kepada kekejian Nazi, dan setelah pengadilan itu berakhir masyarakat internasional selalu kembali menekankan bahwa asas non-retroaktif ini tidak boleh dilanggar. Dengan demikian pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat (gross violation on human rights) sebagai kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).
Berdasarkan penjelasan mengenai asas retroaktif tersebut di atas dan apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam Legal Memorandum ini, maka penerapan asas retroaktif dalam tindakan administrasi negara untuk memberhentikan PNS yang dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan cara memberlakukan surut ketentuan UU ASN mengenai waktu pemberhentian PNS tersebut terhitung sejak bulan berikutnya setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain alasan tersebut di atas, permasalahan ini kemungkinan besar tidak akan muncul, apabila pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang bersangkutan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yag berlaku sebelum UU ASN, yang ada pengaturan mengenai pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS yang dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan. Peraturan perundang-undangan tersebut jelas dan tegas, sehingga dapat dikatakan bahwa ada atau terciptanya kondisi demikian adalah karena kesalahan atau kelalaian dari pihak pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang bersangkutan, karena tidak melaksanakan perintah peraturan perundang-undagan sebelum UU ASN terbit. Bahwa apapun alasan atau kendala yang menyebabkan kondisi ini, bukan merupakan alasan pembenar untuk mengesampingkan peran dan tanggung jawab pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang bersangkutan dalam membina dan mengawasi PNS. Dengan demikian ketentuan mengenai pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS yang dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan terhitung sejak awal bulan putusan yang menghukum PNS tersebut berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diberlakukan surut.  

3.         Penutup
a.         Kesimpulan
1)        Bahwa ketentuan mengenai pemberhentian dengan tidak hormat bagi PNS yang dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan terhitung sejak awal bulan putusan yang menghukum PNS tersebut berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam UU ASN, tidak dapat diberlakukan surut, karena pada asasnya suatu peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (asas retroaktif).
2)        Bahwa di dalam praktik peraturan perundang-undangan, memang terdapat undang-undang yang dapat diberlakukan surut, seperti terhadap Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang. Bahwa penetapan suatu undang-undang dapat diberlakukan surut harus memiliki krieteria tertentu, yang pertama bahwa pengaturan mengenai asas retroaktif, umumnya berlaku dalam bidang hukum pidana, kedua pemberlakuannya harus dalam keadaan memaksa atau sangat mendesak terhadap kejadian atau peristiwa yang luar biasa, dalam hal ini terkait undang-undang tersebut di atas tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang termasuk extra ordinary crime. Ketiga, pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat. Bahwa selain UU 16/2003 tersebut, belum ada Undang-undang lain yang dapat berlaku surut.
3)        Saran
a)        Bahwa oleh karena asas retroaktif tidak dapat diterapkan dalam UU ASN, maka untuk waktu pemberhentian dengan tidak hormat PNS yang dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan tidak dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 252 UU ASN. Oleh karena itu pemberhentian dengan tidak hormat dilakukan sesuai prosedur dan tata cara yang biasa, terhitung sejak SKB 3 (tiga) Menteri tersebut lahir. Adanya tuntutan atau gugatan secara hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara dari PNS yang diberhentikan dengan tidak hormat tersebut merupakan ekses atau konsekuensi hukum dari tindakan pemberhentian tersebut dan pejabat pembina kepegawaian harus siap menghadapinya.
b)        Selain itu penyebab mengapa PNS yang telah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tetapi setelah putusannya inkracht tidak diberhentikan dengan tidak hormat perlu diselidiki dan diteliti. Apakah hasil investigasi karena kesalahan atau kesulitan verifikasi atau validasi data, atau karena ada pihak-pihak yang melindungi. Hal ini dilakukan karena ada kaitannya dengan kerugian negara. Apabila perlu pihak-pihak yang melindungi PNS bersangkutan perlu diberikan sanksi. Hal ini dimaksudkan agar pembinaan PNS akan lebih baik di kemudian hari.

















Daftar Pustaka

Buku-Buku dan Sumber Internet :
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan I, The Habibie Centre, Jakarta, 2002.
ICW : Aktor yang Paling Banyak Terjerat Kasus Korupsi Adalah ASN, https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/15470561/icw-aktor-yang-paling-banyak-terjerat-kasus-korupsi-adalah-asn, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Tujuh Ribu PNS Korupsi Bagaimana Mendisiplinkannya ?, 
https://tirto.id/tujuh-ribu-pns-korupsi-bagaimana-mendisiplinkannya-cXD1, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Index Persepsi Korupsi Indonesia Jalan Ditempat, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-jalan-ditempat, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Index Korupsi Indonesia di Bawah Timor Leste, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-korupsi-indonesia-di-bawah-timor-leste, diakses pada tanggal 20 September 2018.
Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi, diakses dari http://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi, pada tanggal 20 September 2018.
Kasus Meikarta Bupati Bekasi Serahkan Uang Sekitar 3 Milyar ke KPK,  https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/14581381/kasus-meikarta-bupati-bekasi-serahkan-uang-sekitar-rp-3-m-ke-kpk, diakses pada tanggal 12 September 2018.
Kasus Dugaan Korupsi Bupati Bandung Barat, Demi Biayai Istrinya "Nyalon" hingga Dituntut 8 Tahun Penjara, https://regional.kompas.com/read/2018/11/06/19371871/kasus-dugaan-korupsi-bupati-bandung-barat-demi-biayai-istrinya-nyalon-hingga, diakses pada tanggal 12 September 2018.

Mantan Bupati Subang Imas Aryumningsih Divonis 6,5 Tahun, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/09/24/mantan-bupati-subang-imas-aryumningsih-divonis-65-tahun-430566, pada tanggal 12 September 2018.


Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri;
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS, sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1994 dan kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 dan ketiga kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2011 dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2013.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen ASN.
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 182/6597/SJ jo Nomor 15 Tahun 2018 jo Nomor 153/Kep/2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang ada Hubunganya dengan Jabatan.

Putusan-Putusan Pengadilan :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2004







[1] ICW : Aktor yang Paling Banyak Terjerat Kasus Korupsi Adalah ASN, https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/15470561/icw-aktor-yang-paling-banyak-terjerat-kasus-korupsi-adalah-asn, diakses pada tanggal 20 September 2018.
[2] Tujuh Ribu PNS Korupsi Bagaimana Mendisiplinkannya ?, 
https://tirto.id/tujuh-ribu-pns-korupsi-bagaimana-mendisiplinkannya-cXD1, diakses pada tanggal 20 September 2018.
[3] Index Persepsi Korupsi Indonesia Jalan Ditempat, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-jalan-ditempat, diakses pada tanggal 20 September 2018.
[4] Index Korupsi Indonesia di Bawah Timor Leste, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/22/indeks-korupsi-indonesia-di-bawah-timor-leste, diakses pada tanggal 20 September 2018.
[5] Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi, diakses dari http://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi, pada tanggal 20 September 2018.
[6]Kasus Meikarta Bupati Bekasi Serahkan Uang Sekitar 3 Milyar ke KPK,  https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/14581381/kasus-meikarta-bupati-bekasi-serahkan-uang-sekitar-rp-3-m-ke-kpk, diakses pada tanggal 12 September 2018.
[7] Kasus Dugaan Korupsi Bupati Bandung Barat, Demi Biayai Istrinya "Nyalon" hingga Dituntut 8 Tahun Penjara, https://regional.kompas.com/read/2018/11/06/19371871/kasus-dugaan-korupsi-bupati-bandung-barat-demi-biayai-istrinya-nyalon-hingga, diakses pada tanggal 12 September 2018.

[8] Mantan Bupati Subang Imas Aryumningsih Divonis 6,5 Tahun, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/09/24/mantan-bupati-subang-imas-aryumningsih-divonis-65-tahun-430566, pada tanggal 12 September 2018.

[9] Di dalam konsideran menimbang huruf (c) UU 43/1974 menyebtukan bahwa UU 18/1961 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan itu dianggap tidak sesuai lagi, maka oleh sebab itu perlu diganti.

[10] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004, hlm. 5-6
[11]  Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan I, The Habibie Centre, Jakarta, 2002, halaman 75-76.
[12] Lihat Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004, hlm. 6
[13]  Ibid., hlm 41
[14] Ibid
[15] Ibid., hlm. 42
[16] Lihat Putusan MK Nomor 013/PUU-1/2003, hlm. 36-37

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian I

Kedudukan Hukum Girik Terhadap Sertifikat Hak atas Tanah

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian III