Pertanggung-jawaban Hukum Gubernur Dalam Melaksanakan Benja Hibah dan Bantuan Sosial dihubungkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Belanja BansosBersumber dari APBD
A. Latar Belakang
Bantuan
sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari kementerian/lembaga/pemerintah
daerah/instansi kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang
sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk
melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Risiko
sosial menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (selanjutnya disebut Permendagri 32/2011) adalah kejadian atau
peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang
ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak
krisis.
Dasar
hukum pemberian bantuan sosial ini secara umum diatur dalam Undang-undang No.
11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut UU Kessos). UU
Kessos merupakan implementasi dari Pasal 27, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945,
yang pada pokoknya menegaskan bahwa kebijakan sosial merupakan tanggung jawab
negara. Ketentuan kebijakan sosial dalam UUD 1945, sifatnya wajib dan tidak
boleh ditawar lagi, karena kesejahteraan sosial merupak hak warga negara dan
negara melalui pemerintah wajib untuk memenuhinya. Lebih lanjut Pasal 4 UU
Kessos juga mengatur bahwa Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial menurut UU Kessos ini hanya diprioritaskan kepada warga
negara yang memiliki kehidupan tidak layak secara kemanusian dan masuk ke dalam
kriteria masalah sosial seperti kemiskinan, keterlantaran, kecacatan,
keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana,
korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Atas dasar kreteria
tersebut, bansos diberikan selektif hanya untuk melindungi dari kemungkinan
terjadinya risiko sosial.
Sebagai
implementasi atau pelaksanaan dari ketentuan pemberian bansos tersebut,
pemerintah telah menggulirkan dana bansos kepada kementerian-kementerian. Berdasarkan
data Kementerian Keuangan, ada 15 (lima belas) kementerian/lembaga yang
mendapatkan dana bantuan sosial senilai Rp. 19,8 triliun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013, yaitu:[1]
1.
Kementerian
Dalam Negeri mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 9,4 triliun;
2.
Kementerian
Pertanian mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 5,3 triliun;
3.
Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 49
milyar;
4.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 28,3 triliun;
5.
Kementerian
Kesehatan mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 19,9 triliun;
6.
Kementerian
Agama mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 12,6 triliun;
7.
Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 32,6
triliun;
8.
Kementerian
Sosial mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 5,5 triliun;
9.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 611,4 milyar;
10. Kementerian Perumahan Rakyat mendapatkan
dan bantuan sosial sebesar Rp. 1,7 triliun;
11. Kementerian Pekerjaan Umum mendapatkan
dan bantuan sosial sebesar Rp. 3,9 triliun;
12. Kementerian Koperasi dan UKM mendapatkan
dan bantuan sosial sebesar Rp. 285 milyar;
13. Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 766,5 milyar;
14. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 50 milyar;
15. BPLS mendapatkan dan bantuan
sosial sebesar Rp. 4,7 milyar, dan dana cadangan bencana yang dialokasikan
sebesar Rp. 3 triliun.
Sementara
total dana bansos bersumber dari APBD dari tahun 2007 sampai dengan 2010 adalah
sebesar Rp. 48 triliun, dan yang bersumber dari APBN Rp. 252 triliun.[2]
Dana bansos tahun 2013 sebesar Rp. 73,5 triliun dan tahun anggaran sebelumnya,
yaitu tahun 2012 sebesar Rp. 59 triliun.[3]
Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW),
alokasi dana hibah dan bansos Pemerintah DKI Jakarta mengalami peningkatan dari
tahun 2010, sebesar Rp. 433.653.000.000,- (Empat Ratus Tiga Puluh Tiga Milyar
Enam Ratus Lima Puluh Tiga Juta Rupiah), di tahun 2011 menjadi Rp.
882.574.000.000,- (Delapan Ratus Delapan Puluh Dua Milyar Lima Ratus Tujuh
Puluh Empat Rupiah) dan di tahun 2012 sebesar Rp. 1.367 triliun. Fenomena yang
sama juga terjadi di Provinsi Banten, alokasi dana hibah dan bansos terus
meningkat dari sebelumnya, yaitu tahun 2009 sebesar Rp. 14.000.000.000,- (Empat
Belas Milyar Rupiah), menjadi Rp. 239.270.000.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh
Sembilan Milyar Dua Ratus Tujuh Puluh Juta Rupiah) pada tahun 2010 dan menjadi
Rp. 340.463.000.000,- (Tiga Ratus Empat Puluh Milyar Epat Ratus Enam Puluh Tiga
Juta Rupiah) pada tahun 2011.[4]
Sementara itu alokasi dana hibah dan bansos di
Provinsi Jawa Barat juga mengalami kenaikan, yaitu pada tahun 2011 sebesar Rp.
2.128 triliun rupiah, dan pada tahun 2013 menjadi Rp. 2.938 triliun. Kemudian
alokasi dana bansos di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar Rp.
107.000.000.000,- (Seratus Tujuh Milyar Rupiah) menjadi Rp. 4 triliun pada
tahun 2013. Dalam APBD Provinsi Jawa Timur disebutkan alokasi dana bansos untuk
tahun 2009 sebesar Rp. 541.000.000.000 (Lima Ratus Empat puluh milyar rupiah)
menjadi Rp. 4.09 triliun dalam APBD 2013.[5]
Besarnya
dana bansos, dan banyaknya kementerian yang mendapatkan dana bansos tersebut,
rentan terhadap penyimpangan, termasuk di dalamnya mengenai sasaran penerima
yang tidak tepat, dan tumpang tindih dengan dana alakosi khusus, serta
penggunaan dana bansos untuk kegiatan politik. Dana bansos yang bersumber dari
APBD juga rentan terhadap pelanggaran dan penyelewengan. Di tingkat daerah, pola penyimpangan dana Bansos sangat beragam. Berdasarkan hasil monitoring
ICW, politisasi dana bansos kerap terjadi untuk kegiatan pemilukada, khususnya
bagi incumbent yang dilakukan melalui modus politisasi kebijakan anggaran dalam
pemilukada dengan cara mengalokasikan dana bansos dan hibah ke kelompok
pendukung, keluarga dan tokoh agama atau masyarakat.[6]
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada pokoknya
permasalahan inti dari adanya penyimpangan dana bansos tetap sama, yaitu karena
rendahnya akuntabilitas politik terkait anggaran publik dan karena masih
banyaknya wilayah abu-abu di dalam ketentuan tentang Bansos. Tujuan dari
alokasi dana Bansos sesuai ketentuan adalah untuk rehabilitasi sosial,
pemberdayaan, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan
bencana. Di dalam APBD, alokasi dana Bansos dan hibah merupakan bagian dari
belanja tidak langsung pemerintah daerah. Jika semangat untuk memberikan
bantuan sosial itu dilakukan tanpa pretensi, semestinya alokasi dana Bansos
bisa meringankan beban penderitaan rakyat di banyak daerah.[7]
Perhatian
terhadap pentingnya pengelolaan dana bansos telah dilakukan oleh KPK sebagai
institusi penegakkan hukum korupsi, salah satunya dengan meminta kepada para
kepala daerah untuk mengelola dengan sungguh-sungguh dana hibah dan bantuan
sosial agar terhindar dari penyelahgunaan . permintaan KPK tersebut dilakukan
melalui surat resmi dengan nomor B-14/01-15/01/2014 tanggal 6 Januari 2014 yang
dikirimkan kepada seluruh Gubernur dan ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri.[8]
Menurut
kajian KPK menemukan adanya relasi dana bansos dan hibah APBD terkait
pelaksanaan pemilukada. KPK juga menemukan bahwa dana bansos dan hibah
cenderung mengalami kenaikan menjelang pelaksanaan pemilukada yang terjadi
kurun waktu 2012-2013. Selain itu didapati juga fakta banyaknya tindak pidana
korupsi yang diakibatkan penyelahgunaan dana bansos dan hibah tersebut. Ada daerah yang
persentase kenaikannya mencapai 117
kali lipat pada 2011-2012, dan 206 kali lipat pada kurun 2012-2013. Sedangkan
dana bansos, mencapai 5,8 kali lipat pada
2011-2012 dan 4,2 kali lipat pada 2012-2013. Bila dilihat dari persentase dana
hibah terhadap total belanja, nilainya
juga cukup signifikan. Terdapat sebuah daerah yang anggaran dana hibahnya
mencapai 37,07 persen dari total
APBD.[9]
Diantara
pelanggaran atau penyelewengan dana bansos seperti contoh:
1.
Tahun
2008, di Kabupaten
OKU, Sumatera Selatan, terungkap alokasi dana Bansos sebesar Rp. 3 miliar yang
digunakan untuk membuat stiker dan baliho bupati petahana;
2.
Tahun
2011 di Jawa Tengah pernah ditemukan dana Bansos Rp 26,8 miliar untuk 208
Ormas, namun setelah diperiksa ternyata hanya 6 Ormas yang benar-benar
terdaftar resmi;
3.
Tahun
2011, terdapat 6 (enam) kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK
yang melibatkan bupati/walikota, yaitu Plt Bupati Kutai Kartanegara, Bupati
Aceh Tenggara, Walikota Manado, Walikota Tomohon, dan Walikota Pematangsiantar;[10]
4.
Tahun
2012, Dana bansos Pemerintah Kota Bandung telah menjerat mantan walikota
Bandung dan Sekretaris Daerahnya menjadi tersangka dan sudah dijatuhkan hukuman
pidana;
5.
Di
Kabupaten Sikka, terdapat penyelewengan danan bansos tahun anggaran 2009. Dalam APBD induk yang ditetapkan pada tanggal
28 Januari 2009 total dana yang dialokasikan untuk Bansos sebesar Rp 7.085.000.000.
Dalam APBD perubahan yang disepakati oleh DPRD & eksekutip pada tanggal 22
Agustus ditambahkan lagi Rp. 2.500.000.000 untuk pos bantuan sosial lain.
Dengan demikian total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009 sebanyak Rp
9.585.000.000. Namun, setelah melakukan kesepakatan dengan DPRD tentang
tambahan dana ini, pihak eksekutip secara sengaja melakukan kekeliruan dengan
mencantumkan tambahan dana sebesar Rp 6.500.000.000 untuk pos bantuan lain pada
dokumen Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati sehingga total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009
dikatrol menjadi Rp 13.585.000.000.[11]
6.
Khusus
di Provinsi Jawa Barat, terdapat Indikasi koruspi dana hibah dan bansos
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan nilai kerugian negara adalah Rp. 34, 9
milyar, saat ini dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi.[12]
7.
Tahun
2014, di Provinsi Banten, setelah Gubernur Banten saat itu ditangkap KPK
terkait dengan suap kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk pemenangan
pemilukada di beberapa daerah di Provinsi Banten. Perkara berkembang dan
mengungkap bahwa Gubernur Banten juga diduga telah menyalahgunakan
kewenangannya dalam pengelolaan dana hibah dan bansos, hal ini dibuktikan
dengan sangat mencoloknya kenaikan dana bansos mulai dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2011, yaitu tahun pemilihan Gubernur. Tahun 2009 dana bansos
sebesar Rp. 60.000.000.000., (Enama Milyar Rupiah); Tahun 2010 menjadi Rp.
209.000.000.000 (Dua Ratus Sembilan Puluh Milyar Rupiah) atau naik hampir 4
kali lipatnya, dan tahun 2011, naik lagi sampai Rp. 391.463.000.000,- (Tiga
Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Empat Ratus Enam Puluh Tiga Juta Rupiah).
8.
Khusus
penyimpangan dana bansos di Kementerian :
a.
Dana
Bansos Kementerian Pendidikan Nasional yang masuk ke beberapa SMP Negeri di
Semarang termasuk yang disoroti oleh KPK karena dilihat dari kondisi ruang sekolah
dan rasio guru-murid, semestinya SMP tersebut tidak memenuhi kriteria untuk
memperoleh dana Bansos. Baru-baru ini di Sulawesi Selatan terungkap dana Bansos
Rp 2,3 miliar yang disalurkan berdasarkan proposal yang dikirim oleh para
Kepala Desa. Telah terungkap bahwa isi proposal itu ternyata semua sama karena
memang hanya merupakan rekayasa dari pejabat setempat.[13];
b.
Di
Kementerian Pendidikan Nasional juga terdapat kesalahan pengklasifikasian jenis
belanja bansos di satker pusat maupun daerah sekurang-kurangnya senilai 12,70
triliun, sehingga nilai realisasi belanja bansos tahun anggaran 2012 tidak
menggambarkan keadaan sebenarnya. Hal ini terjadi karena kelemahan sistem
pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja.[14]
c.
Selain
itu di kementerian yang sama terjadi pula kasus penyimpangan administrasi,
karena terdapat minimal 21.804 lembaga/sekolah/perorangan penerima bantuan
senilai Rp. 7,48 milyar belum menyampaikan laporan pertanggung-jawaban,
sehingga realisasi belanja bansos senilai Rp. 7,48 milyar tidak dapat dimonitor
penggunaannya.[15]
Kasus penyimpangan administrasi tersebut disebabkan karena pejabat/petugas yang
bertanggung jawab lalai dalam melakukan
tanggung jawabnya, tidak mentaati dan memahami ketentuan yang berlaku serta
lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.[16]
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, di dalam pengelolaan dana bansos yang
menyimpang dan tidak sesuai dengan peruntukkan dan penerimanya telah menjerat
banyak kepala daerah, mulai dari Bupati, Walikota bahkan Gubernur. Dengan fenomena yang telah terjadi saat ini,
dan dengan memperhatikan kewenangan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota
serta Gubernur untuk mengelola dana bansos yang telah diberikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, perlu dikaji sejauh mana efektivitas Permendagri
32/2011, termasuk fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian dana bansos,
mulai dari perencanaan sampai dengan pemberian dana bansos itu sendiri. Selain
itu setelah semua kajian tentang kewenangan dan pengawasan, perlu juga dikaji
sejauh mana pertanggungjawaban kepala daerah dalam hal ini Gubernur terhadap
pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan dan penyaluran dana bansos.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah telah efektif, khususnya yang mengatur tentang pengawasan dalam
pengelolaan dan penyaluran dana bansos ?
2.
Apakah
Gubernur sebagai kepala pemerintahan tingkat provinsi dapat dimintakan
pertanggung-jawaban atas pengelolaan dan penyaluran dana bansos yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan ?
C.
Deskripsi Kasus
Pengelolaan
belanja bansos di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, adalah sama seperti pada
umumnya pengelolaan bansos di provinsi lainnya, yaitu dapat disalurkan secara
langsung kepada masyarakat yang terkena dampak sosial, ataupun melalui
mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Mengenai
hal tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Peraturan Gubernur Provinsi Jawa
Barat No. 55 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan
Penantausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi
Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD (selanjutnya
disebut Pergub Jabar 55/2011). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa belanja
bansos dapat berupa uang atau barang dan belanja bansos berupa barang dapat
berbentuk peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan aset tetap lainnya,
hewan dan tumbuhan dan aset tetap tidak berwujud seperti perangkat lunak.
Sesuai
dengan bunyi Pasal 41 ayat (1), (2) dan (3) Pergub 55/2011, penaggaran belanja
bansos berupa uang dicantumkan dalam RKA-PPKD dan penganggaran belanja bansos
berupa barang dicantumkan dalam RKA-SKPD. RKA-PPKD dan RKA-SKPD menjadi dasar
penganggaran balanja bansos dalam APBD. Dengan demikian penyaluran belanja
bansos harus dianggarkan terlebih dahulu di dalam APBD.
Belanja
bansos berupa uang, pelaksanaan anggaran dan pencairannya didasarkan pada
DPA-PPKD yang dilaksanakan melalui mekanisme pembayaran langsung (LS) dan
disalurkan melalui rekening Kasa Umum Daerah ke rekening penerima belanja
bansos tersebut, dengan syarat penerima belanja bansos mengajukan permohonan
yang dilampiri dengan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Pergub
55/2011.
Terkait
dengan belanja bansos berupa barang, Pasal 47 Pergub 55/2011 menentukan bahwa
SKPD terkait melakukan proses pengadaan barang sesuai dengan DPA-SKPD dan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Dengan demikian, khusus belanja bansos berupa barang dilakukan
melalui proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tunduk pada Perpres
70/2012.
Di
dalam praktik belanja bansos di Provinsi Jawa Barat, terdapat beberapa kasus adanya
penyimpangan, di antaranya adalah adanya Indikasi korupsi dana hibah dan bansos
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan nilai kerugian negara adalah Rp. 34, 9
milyar, saat ini dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini diakui
juga oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, yang menurutnya ada penyimpangan
administrasi pada anggaran bansos Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2009-2010.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang ada
temuan seperti itu, walaupun sejak tahun 2009 ataupun sejak terbitnya
Permendagri No. 32 Tahun 2011, sistem pemberian bansos diperketat, tetapi masih
ada penyimpangan-penyimpangan.
Sebagian
besar penyelewengan dana bansos terjadi karena dana bansos yang dipergunakan
tidak sesuai dengan pengajuannya atau penerima tidak sesuai proposal. Selain
itu ada juga kasus yang mengajukan proposal tetapi tidak menerima dana bansos
yang telah dicairkan. Menurut Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat, kebanyakan yang
terjadi pada dana bansos, yaitu adanya semangat mengajukan proposal, sementara
setelah mendapatkan dana bansos, tidak mempertanggungjawabkan. Selain itu
penyelewengan dana bansos juga terjadi, karena penyelewengan dana bansos untuk
pemilukada.
Berdasarkan
uraian di atas, kasus penyelewengan dana bansos banyak terjadi dalam penyaluran
dana bansos berupa uang. Penyaluran dana bansos berupa uang, mulai dari
penganggaran, pelaksanaan, penyaluran dan pengawasannya tunduk pada Permendagri
No. 32 Tahun 2011 jo Pergub Provinsi Jawa Barat No. 63 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Gubenur Provinsi Jawa Barat No. 55 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan
dan Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi
Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Sementara
khusus penyaluran dana bansos berupa barang harus melalui mekanisme pengadaan
barang yang tunduk pada Perpres 70/2011.
Satu hal
yang menjadi catatan penyebab masih sering terjadinya penyelewangan penyaluran
dana bansos, baik berupa uang maupun barang, adalah karena lemahnya pengawasan
dari instansi terkait yang tugas dan wewenangnya melakukan pengawasan internal.
Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan mulai dari penganggaran,
pelaksanaan, sampai dengan penyaluran, dan pertanggung jawaban penerima, serta
pengawasan dalam pengadaan barang.
Di
dalam tulisan ini, Penulis hanya mendeskripsikan beberbagai bentuk pelanggaran
di dalam pengelolaan, penyaluran dan penggunaan dana bansos yang berpotensi
menjadi kasus hukum yang melibatkan pejabat terkait di daerah, baik pejabat di
lingkungan PPKD maupun kepala daerah itu sendiri. Hal ini dilakukan karena
keterbatasan data dan informasi mengenai perkara pelanggaran pengelolaan,
penyaluran dan penggunaan dana bansos, khususnya di lingkungan Pemerintahan
Provinsi Jawa Barat. Kasus atau perkara yang akan diuraikan hanya menjadi
contoh atau sampel secara umum, yang kemudian berdasarkan sampel ini, akan
dianalisa permasalahannya, sehingga didapat suatu kesimpulan.
Adapun
kasus-kasus penyalahgunaan dana bansos tersebut, terdiri dari penyelahgunaan
dana hibah dan bansos untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberiannya serta penyalahgunaan belanja hibah dan bansos karena lemahnya
pengendalian intern. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Berita
satu.com, merilis berita pada tanggal 21 Januari 2013, dengan hadeline “Jelang
Pilkada, Dana Bansos dan Hibah Rawan Disalahgunakan”[17]. Penyelewengan itu bisa dilihat dari membengkaknya
pengalokasian anggaran dari pos dana bansos dan hibah menjelang pilkada, serta
besarnya dana hibah dan bansos yang turun setelah pilkada usai. Berdasarkan
riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Budget
Center (IBC), ditemukan bahwa anggaran untuk dana hibah dan bantuan sosial
(bansos) rawan diselewengkan untuk kepentingan petahana (incumbent)
dalam ajang pilkada sepanjang 2013. Riset itu sendiri dilakukan di lima
provinsi besar di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. "Dari riset tersebut, ditemukan modus korupsi politik
dalam alokasi dana hibah untuk pemenangan pilkada, yaitu lembaga penerima
fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, aliran dana ke lembaga yang dipimpin
keluarga atau kroni gubernur, dana hibah disunat, penerima bansos tidak jelas.
Sebagai
contoh, alokasi dana hibah DKI Jakarta yang terus meningkat dari tahun 2010
sebesar Rp 433,653 miliar, menjadi Rp 882,574 miliar di tahun 2011 dan Rp 1,367
triliun di tahun 2012. Fenomena yang sama, juga terjadi di empat provinsi
lainnya. Seperti di Banten, alokasi dana hibah terus meningkat dari tahun 2009
sebesar Rp 14 miliar, menjadi Rp 239,270 miliar pada tahun 2010 dan Rp 340,463
miliar di tahun 2010. Oleh karena itu, dapat dilihat rawannya penyalahgunaan
dana hibah dan bansos menjelang pilkada besar yang akan digelar di Jawa Barat
pada bulan Februari 2013, Jawa Tengah pada Maret 2013, dan Jawa Timur pada
Agustus 2013. Dalam APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, alokasi dana
bansos mengalami kenaikan dari Rp 2,128 triliun pada 2011 menjadi Rp 2,938
triliun pada 2013. Bahkan dana Hibah membengkak 10 kali lipat, dari Rp120,6
miliar pada 2009 menjadi Rp 1,2 triliun pada RAPBD 2013.
2.
Pada
tahun 2008 di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan, terungkap alokasi dana Bansos
sebesar Rp. 3 miliar yang digunakan untuk membuat stiker dan baliho bupati
petahana;
3.
Tahun
2011 di Jawa Tengah pernah ditemukan dana Bansos Rp 26,8 miliar untuk 208
Ormas, namun setelah diperiksa ternyata hanya 6 Ormas yang benar-benar
terdaftar resmi. Di tahun yang sama juga ditemukan 6 (enam) kasus tindak pidana
korupsi yang ditangani oleh KPK yang melibatkan bupati/walikota, yaitu Plt
Bupati Kutai Kartanegara, Bupati Aceh Tenggara, Walikota Manado, Walikota Tomohon,
dan Walikota Pematangsiantar;
4.
Tahun
2012, Dana bansos Pemerintah Kota Bandung telah menjerat mantan walikota
Bandung dan Sekretaris Daerahnya menjadi tersangka dan sudah dijatuhkan hukuman
pidana;
5.
Di
Kabupaten Sikka, terdapat penyelewengan danan bansos tahun anggaran 2009. Dalam APBD induk yang ditetapkan pada tanggal
28 Januari 2009 total dana yang dialokasikan untuk Bansos sebesar Rp
7.085.000.000. Dalam APBD perubahan yang disepakati oleh DPRD & eksekutip pada
tanggal 22 Agustus ditambahkan lagi Rp. 2.500.000.000 untuk pos bantuan sosial
lain. Dengan demikian total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009 sebanyak Rp
9.585.000.000. Namun, setelah melakukan kesepakatan dengan DPRD tentang
tambahan dana ini, pihak eksekutip secara sengaja melakukan kekeliruan dengan
mencantumkan tambahan dana sebesar Rp 6.500.000.000 untuk pos bantuan lain pada
dokumen Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati sehingga total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009
dikatrol menjadi Rp 13.585.000.000;
6.
Berdasarkan
data yang diperoleh ICW (Indonesian Corruption Watch), selama periode tahun
2007-2012 ada 120 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial[18]. Pada akhir tahun 2012
sebanyak 300 triliun rupiah dana hibah dan bantuan sosial digunakan untuk
penyelewengan politik yang biasanya dilakukan oleh calon incumbent sebagai
dana kampanye[19].
Selain untuk penyelewengan politik, seringkali alokasi belanja hibah dan
bantuan sosial kurang tepat sasaran. Kecenderungannya, bantuan ini hanya
dibagikan elit daerah kepada jaringan politik dan pengikutnya saja[20]. Sehingga tujuan dari
pemberian hibah dan bantuan sosial pun tidak lagi sesuai dengan peraturan yang
ada, seperti yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Testimoni dari
anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Babel mengatakan bahwa peruntukkan bansos
dan hibah selama ini kurang tepat sasaran. Puluhan paket dana hibah dibagikan
kepada rumah ibadah termasuk yayasan keagamaan nilainya mulai dari Rp. 5 juta
sampai Rp. 2 miliar. Padahal seharusnya keberadaan ribuan UMKM lah yang harus diperhatikan
dan layak menerima bantuan tersebut[21]. Demikian juga penilaian
salah satu anggota Komisi DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang
menyatakan bahwa selama ini hibah diberikan bukan kepada orang yang tepat untuk
menerima bantuan tersebut, Yayasan El-John salah satu contohnya yang menerima
bantuan sebesar Rp 1 Milyar untuk jaringan bisnis dibidang pariwisata[22].
7. Di
provinsi Banten jika pada tahun 2009, mengeluarkan dana hibah sebesar Rp.
74 milyar (Rp. 14
milyar dan hibah dan Rp. 60 miliar dana bansos), lalu setahun
sebelum Pilgub, 2010, naik hampir 4x lipat menjadi Rp. 290,6 milyar (Rp. 239,2 milyar dana hibah dan
Rp.51,4 milyar dana bansos), maka pada tahun Pilgub, 2011, naik lagi
sampai hampir mencapai 400 milyar, atau tepatnya Rp. 391,463
(Rp. 340,4 milyar dana hibah dan Rp. 51 miliar dana bansos). Hasil temuan ICW mengenai pelanggaran
penyaluran dana hibah dan bansos di provinsi Banten tahun anggaran 2011, adalah
sebagai berikut :[23]
a.
Hasil penelitian terhadap 30% penerima dana hibah/bansos di Banten
tahun 2011, ternyata adalah penerima fiktif, dengan total alokasi anggarannya
adalah sebesar Rp. 4.500.000.000,- (empat milyar lima ratus juta rupiah).
b.
Terdapat 12 lembaga penerima hibah/bansos beralamat sama,
dengan total alokasi dana sebesar Rp. 28.900.000.000,- (dua puluh delapan
milyar sembilan ratus juta rupiah);
c.
Lembaga penerima dipimpin oleh keluarga Gubernur, yaitu
sebanyak 14 (empat belas) lembaga, dengan total alokasi dana sebesar Rp.
29.500.000.000,- (dua puluh sembilan milyar lima ratus juta rupiah).
d.
Jumlah hibah yang diterima tidak sesuai pagu, hanya menyerap
7% (tujuh persen) dari total permohonan;
e.
Temuan BPK terhadap laporan keuangan APBD Banten tahun 2011
ada 92 lembaga yang belum mempertanggungjawabkan penggunaan dana hibah/bansos senilai
Rp. 68.300.000.000,- (enam puluh delapan milyar tiga ratus juta rupiah). Tahun
2010 terdapat 229 (dua ratus dua puluh sembilan) penerima bansos senilai Rp.
3.87 milyar dan 197 penerima bansos tahun 2011 senilai Rp. 3,65 milyar yang
tidak mengkonfirmasi telah menerima dana bansos.
Kasus dana hibah dan
bansos Provinsi Banten telah menjerat Bendahara pribadi Gubernur Banten non
aktif, yakni Siti Halimah dan Zainal Muttaqin mantan Kepala Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Keuangan Daerah Banten, mantan Kepala Biro Kesra yang sekarang
menjabat Sekretaris Korpri Banten Anisul Fuad, Yudi MS mantan staf Biro Kesra,
sekarang bekerja di DPPKD Banten, Wahyu Hidayat mantan staf Biro Kesra sekarang
Sekretaris Dewan Banten, Sutan Amali sebelumnya di Dinas Pendidikan Banten dan
sekarang di Samsat Cilegon, dan Dudi Setiadi yang merupakan orang dekat
Gubernur Banten non aktif. Ke 7 (tujuh) orang tersebut telah ditetapkan sebagai
tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Banten, karena diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi dana hibah dan
bansos tahun anggaran 2011-2012 yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar
Rp. 4.150 milyar rupiah pada tahun anggaran 2011 dan Rp. 3.5 milyar rupiah pada
tahun anggaran 2012.[24] Tidak menutup kemungkinan
Gubernur Banten non aktif juga akan dijadikan tersangka dalam kasus dana hibah
dan bansos ini.
8.
Hasil Pemeriksaan BPK semester I tahun 2010 menemukan sejumlah penyimpangan
penggunaan dana bansos di 19 provinsi yang nilainya sangat fantastis mencapai
Rp. 765 miliar. Masuk tiga besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan potensi
penyimpangan dana bansos sebesar Rp. 173,7 miliar,Sumatera Utara sebesar Rp. 148,44
miliar, dan di Jawa Timur ditemukan penyimpangan senilai Rp. 89,31 miliar.[25]
9.
Berdasarkan ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2013
Badan Pemeriksa Keuangan RI, didapat bahwa : [26]
a.
Terdapat kasus kelemahan sistem pengendalian intern, termasuk
di dalamnya kasus belanja sosial tidak didukung proposal, belum ada SOP atau
peraturan mengenai pengelolaan dan penatausahaan keuangan daerah, tata cara
pertanggung jawaban hibah, pengelolaan belanja bansos.
b.
Terdapat kelemahan sistem pengendalian intern atas
pelaksanaan belanja pemerintah, yang diprosentasikan sebesar 74% (Tujuh Puluh
Empat Persen) untuk kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja; 20 % (dua puluh persen) kelemahan struktur pengendalian
intern dan 6% (enam persen) untuk kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan
pelaporan. Kasus-kasus kelemahan sistem pengendalian interen tersebut di atas,
adalah penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis
tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan
belanja, yang terjadi di 38 intitas. Kasus-kasus tersebut seperti belanja hibah
dan bansos yang belum didukung proposal permohonan, belum diverifikasi secara
memadai dan pertanggung-jawaban belanja hibah pemilukada belum disampaikan ke
Gubernur dan DPRD.
c.
Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut juga
didapat bahwa entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau
keseluruhan prosedur yang terjadi di 19 entitas. Kasus-kasus tersebut seperti
peraturan kepala daerah terkait tata cara pengelolaan pemberian hibah dan
bansos belum mengatur kriteria penerima bantuan antara lain selektif, harus
menyampaikan fakta integritas dan batas waktu penyampaian laporan pertanggung
jawaban. Kemudian juga ditemukan tim pengelola hibah dan bansos tidak pernah
melakukan analisa proposal, menilai kelayakan penerima bantuan, sehingga
beberapa penerima hibah dan bansos yang tidak memenuhi persyaratan sebagai
penerima hibah dan bansos antara lain tidak memiliki identitas yang jelas dan
tidak berdomisili di wilayah tersebut tetapi menerima hibah dan bansos.
d.
Kelemahan administrasi juga menjadi perhatian dalam hasil
pemeriksaan BPK ini, terdapat 250 (dua ratus lima puluh) kasus di 101 (seratus
satu) objek pemeriksaan pada 97 (sembilan puluh tujuh) entitas, kasus tersebut
di antaranya adalah pertanggung jawaban tidak akuntabel (bukti tidak
lengkap/tidak valid), dalam hal ini belanja bansos belum dipertanggungjawabkan
oleh bendahara pengeluaran. Penyebab terjadinya kasus-kasus tersebut adalah
karena para pelaksana lalai dalam melaksanakan pekerjaan dan tidak berpedoman
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta lemahnya pengawasan dan
pengendalian dari pimpinan intern. Atas hasil temuan ini BPK memberi
rekomendasi kepada pimpinan entitas untuk memberikan teguran atau sanksi kepada
pelaksana yang lalai dalam melaksanakan pekerjaan, serta pimpinan entitas untuk
meingkatkan pengawasan dan pengendalian.
e.
Secara nasional, hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun
2013, menunjukkan bahwa di dalam pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung
jawaban bansos dan hibah serta belanja daerah ditemukan 135 kasus, dan
ditemukan pula ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak
106 kasus, dan khusus di Provinsi Jawa Barat, hasil pemeriksaan BPK Semester II
tahun 2013, menunjukkan bahwa di dalam pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung
jawaban bansos dan hibah serta belanja daerah ditemukan 76 (tujuh puluh enam)
kasus dari 4 (empat) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kuningan dan Kota
Bogor serta Kota Cirebon. Disebutkan pula mengenai ketidakpatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan ditemukan 58 kasus di ke 4 (empat) kabupaten/kota
tersebut.
Berdasarkan
hasil pemeriksaan BPK Semeter II Tahun 2013 tersebut, terungkap banyak kasus
mengenai pengelolaan dan pertanggung jawaban bansos dan hibah, dan juga kasus
mengenai ketidak patuhan pelaksana belanja bansos dan hibah terhadap peraturan
perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa belanja bansos dan hibah masih
banyak menimbulkan masalah administrasi bahkan masalah hukum, khususnya hukum
pidana, yang dibuktikan dengan banyaknya perjabat pengelola belanja bansos dan
hibah yang menjadi tersangka dan terpidana.
Berdasarkan uraian kasus-kasus penyalahgunaan pengelolaan dan
penyaluran dana bansos dan hibah sebagaimana tersebut di atas, menunjukkan
bahwa pada dasarnya pengelolaan dana bansos dan hibah, banyak menimbulkan
masalah, akibat dari tidak profesionalnya pejabat pengelola karena tidak
menjalankan sistem pengendalian internal dan tidak patuh terhadap pedoman
pengelolaan dana bansos dan hibah sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Selain itu lemahnya pengawasan juga memberikan andil besar
terhadap adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaan dana bansos dan
hibah.
D.
Analisa Kasus
Berdasarkan
deskripsi kasus sebagaimana tersebut di atas, di dalam sub bab ini akan
dianalisa permasalahan hukum yang timbul dikaitkan dengan teori-teori dalam Bab
II, sehingga analisa kasus ini terdiri dari 3 (tiga) pokok permasalahan
sebagaimana telah dijelaskan di dalam Bab I, yaitu :
1.
Analisa tentang
sejauh mana efektivitas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun
2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, khususnya tentang pengawasan dalam pengelolaan
dan penyaluran dana bansos.
Bantuan
sosial dan hibah merupakan 2 (dua) rekening belanja yang pasti dianggarkan di
dalam APBD seluruh kabupaten/kota di republik ini. Sifat dari pada dana bansos
dan hibah ini adalah pemberian sukarela dari pemerintah daerah kepada
masyarakat perorangan atau kelompok atau lembaga, instansi tertentu yang
memenuhi syarat, tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan. Pemberian dana
bansos dan hibah adalah Cuma-Cuma, sehingga di dalam praktiknya muncul berbagai
kepentingan, yang seharusnya hanya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat,
tetapi berkembang pula kepentingan politik di dalamnya.
Berdasarkan PP 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Permendagri 21 Tahun 2011, pemberian bantuan hibah dan Bantuan Sosial tersebut
diperbolehkan. Namun secara spesifik baru diatur dengan Permendagri Nomor 32
Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian hibah Dan Bantuan Sosial yang Bersumber
Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Permendagri No. 39 Tahun 2012 (selanjutnya disebut Permendagri Hibah dan
Bansos).
Baik
hibah maupun bansos yang berupa uang dianggarkan ke dalam jenis belanja tidak
langsung atau belanja yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan
pemerintah daerah (Pasal 11 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) Permendagri Hibah dan
Bansos) atau dapat juga dianggarkan pada belanja langsung (terkait secara
langsung dengan kegiatan pemerintah daerah) apabila dianggarkan dalam bentuk
pembelian barang atau kegiatan berupa jasa (Pasal 11 ayat (3) jo Pasal 30 ayat
(3) Permendagri Hibah dan Bansos).
Hibah
dapat diberikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, perusahaan daerah,
masyarakat dan/atau organisasi kemasyarakatan (Pasal 5 Permendagri Hibah
Bansos), dalam rangka menunjang penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah atau menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan
pemerintah daerah dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Sementara bansos dapat
diberikan kepada anggota/kelompok masyarakat sesuai dengan kemampuan keuangan
daerah. Termasuk ke dalam pengertian anggota/kelompok masyarakat adalah
individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang
mengalami keadaan yang tidak stabil dan lembaga non pemerintahan bidang
pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu,
kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial (Pasal 22 ayat (1) jo
Pasal 23 Permendagri 32/2011). Risiko sosial
adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya
kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik,
bencana, atau fenomena alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial
akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar (Pasal 1 angka
(16) Permendagri 32/2011).
Adapun mengenai dasar filosofi
diterbitkannya Permendagri 23/2011, sesuai dengan konsideran menimbang huruf
(a) Permendagri tersebut adalah dalam rangka pembinaan terhadap pengelolaan
hibah dan bantuan sosial agar tercipta tertib administrasi, akuntabilitas dan
transparansi pengelolaan hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu disusun pedoman kepada pemerintah daerah.
Selain itu secara teknis diterbitkannya permendagri tersebut juga karena akibat
dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar,
masyarakat/kelompok masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Lahirnya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD,
adalah karena belum jelasnya aturan tentang pelaksanaan hibah dan Bantuan
Sosial di Daerah serta banyaknya permasalahan hukum yang disebabkan karena
ketidakjelasan dan ketidak tegasan aturan hukum tentang hibah dan bansos
tersebut. Di samping itu, bantuan sosial dan hibah cenderung dicurigai untuk
disalahgunakan dengan “kreatif” untuk politik pencitraan oleh kepala
daerah/wakil, terutama Kepala Daerah In-cumbent yang mencalon kembali
dalam ajang pemilukada untuk periode ke 2. Bisa juga disalahgunakan untuk para tim
sukses yang dianggap telah berjasa dan “berkeringat” dalam menggolkan kepala daerah/wakil
yang sedang menjabat.
Berbagai praktik modus yang digunakan melalui
penganggaran dalam APBD, mulai dari proses seleksi administrasi yang tidak
dilaksanakan dengan baik, baik dilakukan dengan sengaja atau tidak, sampai
dengan pengawasan yang tidka efektif, sehingga peruntukannya banyak yang tidak
tepat sasaran. Walaupun sebenarnya banyak masyarakat dan organisasi
kemasayarakatan yang memang sangat membutuhkan bantuan tersebut secara riil dan
rasional.
Apabila dasar filosofi diterbitkannya
Permendagri 32/2011 dikaitkan dengan teori negara kesejahteraan, maka
Permendagri 32/2011 merupakan pengejawantahan peran dan fungsi negara untuk
mensejahterakan masyarat. Kesejahteraan rakyat merupakan amanat UUD 1945.
Melalui Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 tersebut, hak warga negara untuk
mendapatkan kesejahteraan dari negara/pemerintah diberikan landasan hukum yang
jelas. Berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945, dasar ekonomi nasional ditujukan untuk kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan. Kesejahteraan dimaksudkan bukan untuk perseorangan,
kelompok atau golongan tertentu. Sebab itu perekonomian nasional disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan untuk mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat. Khusus di bidang kesejahteraan rakyat, pemerintah
mempunyai kewajiban hukum berdasarkan konstitusi (UUD 1945) untuk memelihara
fakir miskin dan anak-anak terlantas dan mengembangkan sistem jaminan sosial.
Sebagai
wujud implementasi dari teori negara kesejahteraan tersebut, negara melalui
pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pengaturan terhadap
pelaksanaan kesejahteraan rakyat dengan cara membentuk peraturan
perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial, di antaranya adalah
Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-undang No.
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-undang No. 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan khusus untuk pengaturan teknis belanja
hibah dan bansos, termasuk perencanaan dan penganggarannya, pemerintah telah
menundangkan Undang-undang No. 17 tentang Keungan Negara; Undang-undang No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keunangan Daerah; Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya;
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Maksud
dari diterbitkannya peraturan perundang-undangan tersebut di atas, agar belanja
hibah dan bansos, dapat dikelola dan disalurkan sesuai dengan kebutuhan, tujuan
dan peruntukkannya, lebih spesifik lagi belanja hibah dan bansos benar-benar
disalurkan kepada masyarakat/kelompok yang membutuhkan dan tidak ada
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu berdasarkan
teori negara kesejahteraan tersebut, pemerintah telah menjalankan tugas pokok
dan fungsinya sebagai pengatur dan pengawas pembangunan, khususnya pembangunan
kesejahteraan masyarakat.
Dengan terbitnya Permendagri 32 Tahun 2011 jo
perubahannya Permendagri 39/2012 ini pemberian hibah dan bantuan sosial, sangat
ketat sekali. Semua hibah dan bantuan sosial harus terencana dari awal pada tahun
sebelumnya melalui pembahasan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon
anggaran sementara (KUA PPAS) yang dibahas bersama DPRD pada bulan Juni tahun
sebelumnya. Setiap calon penerima hibah maupun bantuan sosial harus mengajukan
permohonan kepada kepala daerah, kemudian kepala satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) melakukan evaluasi dan pengkajian kelayakan diberikan bantuan, kemudian
direkomendasikan ke tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) untuk dipertimbangkan
sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, jika disetujui untuk dianggarkan oleh
kepala daerah, itulah yang akan jadi dasar pencantuman alokasi anggaran hibah
dan bantuan sosial dalam rancangan KUA dan PPAS yang akan dibahas bersama DPRD
pada Juni tahun sebelumnya. Setelah dibahas bersama TAPD dan Banggar (Badan
Anggaran) DPRD, maka dicantumkanlah semua nama-nama calon penerima yang jelas (by
name by adress) dalam rencana kegiatan anggaran (RKA) yang selanjutnya dimasukkan
dalam RAPBD.
Namun demikian berdasarkan Permendagri
39/2012 tentang perubahan Permendagri 32/2011, dalam Pasal 23 A, menyebutkan
bahwa bantuan sosial berupa uang kepada individu
dan/atau keluarga, terdiri dari bantuan sosial kepada individu dan/atau
keluarga yang direncanakan dan yang tidak dapat direncanakan sebelumnya. Pasal
23 A tersebut merupakan aturan baru yang tercantum dalam Permendagri 39/2012,
sebelumnya di dalam Permendagri 32/2011 tidak dikenal isilah bansos kepada
individu/masyarakat yang tidak direncanakan. Bansos model ini dialokasikan
untuk kebutuhan risiko sosial yang tidak dapat diperkirakan pada saat
penyusunan APBD, yang apabila ditunda penanganannya akan menimbulkan risiko
sosial yang lebih besar bagi individu dan/atau keluarga bersangkutan.
RAPBD yang di dalamnya terdapat anggaran
bansos, kemudian dibahas kembali bersama DPRD untuk disepakati menjadi Perda
dan dijabarkan dalam peraturan kepala daerah (Perkada) tentang APBD untuk
dijalankan pada 1 Januari tahun berikutnya. Setelah disetujui oleh DPRD, perda
dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk daerah propinsi dan oleh gubernur
untuk daerah kabupaten/kota. Setelah dievaluasi Menteri Dalam Negeri atau
Gubernur, maka nama-nama yang tercantum dalam calon penerima hibah dan Bantuan Sosial
yang tertera dalam APBD, Kepala Daerah menetapkan daftar penerima dan besaran
bantuan sosial dengan Keputusan Kepala
Daerah berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. Penyaluran dan/atau
penyerahan bansos didasarkan pada daftar penerima bantuan sosial yang tercantum
dalam keputusan kepala daerah, kecuali bantuan sosial kepada individu dan/atau
keluarga yang tidak dapat direncanakan sebelumnya.
Khusus penerima hibah juga harus membuat
Naskah Perjanjian hibah Daerah (NPHD) yang dibuat bersama Penda/SKPD terkait
serta tanggungjawab mutlak dan pakta integritas penerima hibah. Penerima hibah
dan bansos juga harus mempertanggungjawabkan bantuan yang diterimanya sesuai
peruntukan yang telah disetujui paling lambat tanggal 10 Januari tahun
berikutnya, dan termasuk dalam objek pemeriksaan Interen (Inpektorat/BPKP)
maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berdasarkan proses dan prosedur pengelolaan
dan penyaluran belanja hibah dan bansos, maka terlihat sekali panjangnya arus birokrasi
yang mesti dilalui oleh calon penerima bantuan hibah atau bansos. Dalam hal ini
Kementrian Dalam Negeri dan KPK, telah berupaya sungguh-sungguh dalam mengantisipasi
penyalahgunaan hibah dan bansos ini. Bantuan hibah dan bansos yang tidak sesuai
peruntukkan atau khususnya yang akan digunakan oleh Kepala Daerah untuk
kepentingan politik, relatif dapat dikendalikan dengan Permendagri 32 Tahun
2011 ini, namun tidak mutlak sifatnya, karena walaupun sudah diatur sedemikian
rupa dengan Permendagri 32/2011 dan 39/2012, masih saja banyak pelanggaran
pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos untuk kepentingan politik di
daerah.
Penerima hibah dan bansos juga diikat oleh
wilayah. Hanya yang dapat diberikan bantuan adalah yang berada dalam wilayah
kerja pemda setempat. Hal ini akan menjadi kendala, contoh: bila terjadi musibah
di suatu daerah tetangga yang berbatasan langsung, ditambah lagi syarat
penerima hibah memiliki kepengurusan yang jelas, telah terdaftar pada pemda
setempat sekurang-kurangnya 3 tahun, berkedudukan di wilayah administrasi pemda
yang bersangkutan dan memiliki sekretariat tetap.
Terbitnya Permendagri 32/2011 yang disusun
Kementerian Dalam Negeri dan melibatkan KP, adalah untuk menghindari politisasi bantuan
hibah dan bansos oleh Kepala Daerah. Bahkan sempat menjadi “kecemburuan
politik” dari DPRD, karena penentuan siapa yang akan dibantu, berapa nilainya
menjadi otoritas dari Kepala Daerah. DPRD hanya sebagai penentu plafon besaran
anggaran hibah dan bansos, sehingga terjadi negosiasi dari DPRD dan Kepala
Daerah untuk menganggarkan “dana aspiratif”, “dana kreasi”, “dana jaring
asmara” dan istilah lain yang tujuannya adalah mengakomodir permintaan
masyarakat/ konstituen anggota DPRD yang duduk di DPRD.
Terbitnya Permendagri 32 Tahun 2011, bukan berarti
Pemberian bansos tidak lagi rentan disalah gunakan. Peluang itu justur semakin
lebar. Dengan dilibatkannya DPRD dalam menganggarkan hibah dan bansos sejak
dari pembahasan KUA PPAS, kemungkinan penganggaran hibah dan bansos menjadi objek
politisasi.
Kecenderungan untuk menjadikan hibah dan
bansos sebagai objek politisasi pada saat pembahasan penganggarannya di DPRD,
anggota dewan yang nota bene adalah tokoh masyarakat atau pembina atau ketua
suatu organisasi kemasyarakat, atau anggota atau simpatisan suatu organisasi,
akan berusaha memobilisasi pembuatan proposal bantuan hibah dan bansos, dan
mempertaruhkan diri untuk memperjuangkan kepentingan organisasi/kelompok
masyarakat tertentu untuk mendapatkan bantuan, maka penentuan plafon dan
penerima hibah dan bansos dalam pembahasan KUA PPAS dan RAPBD akan semakin
alot, dan anggaran akan tersedot lebih besar untuk hibah dan bansos. Untuk itu diperlukan
batasan berapa persen hibah dan bansos bisa dianggarkan dalam APBD suatu
daerah. Kalau tidak ada aturan yang jelas, maka anggaran pelayan publik yang
diselenggarakan oleh SKPD akan tersedot hanya untuk memenuhi kebutuhan hibah
dan bansos yang telah dipolitisasi melalui mekanisme kebijakan anggaran dalam
pembahasan anggaran di DPRD. Untuk itu diperlukan Eksekutif dan Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD) yang kuat dan mampu menganalisa dan kemampuan untuk
merasionalkan anggaran, disamping kuat terhadap terpaan “badai politik” yang
akan dialami dalam pembahasan anggaran di DPRD. Persoalan ini juga akan menjadi
salah satu penyebab keterlambatan pembuatan APBD di Daerah.
Berdasarkan uraian permasalahan atau kendala
atau juga kasus-kasus yang ada sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab A di
atas, semakin menunjukkan bahwa Permendagri 32/2011 jo 39/2012 di dalam
pelaksanaannya belum efektif. Padahal peraturan perundang-undangan, baik yang
tingkatannya lebih rendah maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat
maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa
membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua
orang dipandang sama dihadapan hukum (equality
before the law). Namun dalam realitasnya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku
efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena undang-undang
kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan/atau masyarakatnya
tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Apabila undang-undang
itu dilaksanakan dengan baik, maka undang-undang itu dikatakan efektif.
Menurut Anthony Allot :
“Hukum
akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah
perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum
yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan.
Jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang, jika
terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru
yang berada, hukum akan sanggup menyelesaikannya”
Berdasarkan teori efektivitas hukum
sebagaimana telah disinggung di atas, maka pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan yang efektiv, ditinjau dari sisi keberhasilan dalam
pelaksanaan hukum, kegagalan dalam pelaksanaannya dan faktor-faktor yang
mempengaruhi. Selain itu berdasarkan asas peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (d), Permendagri 32/2011, seharusnya
memenuhi asas dapat dilaksanakan di dalam pembentukannya. Lebih lanjut yang
dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pemberntukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis maupun yuridis.
Apabila dikaji Permendagri 32/2011 jo 39/2012
berdasarkan teori efektivitas hukum, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai
berikut :
a.
Keberhasilan dalam Pelaksanaan Hukum
Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat
telah tercapai maksudnya. Filosofinya adalah apabila norma hukum itu ditaati dan
dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu
dikatakan efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Maksud dibuatnya Permendagri 32/2011 jo 39/2012 adalah untuk
memberikan landasan hukum pengelolaan dan penyaluran hibah dan bansos bersumber
APBD agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemberiannya, dan tidak ada
penyimpangan-peyimpangan dalam pengelolaannya oleh pemerintah daerah maupun
oleh penerima dana hibah dan bansos. Namun dalam praktiknya atau
pelaksanaannya, justru menunjukkan hal sebaliknya, karena banyak sekali
pelanggaran-pelanggaran proses atau prosedur yang telah ditetapkan dalam
Permendagri 32/2011, baik yang berindikasi pelanggaran administrasi, maupun
pidana. Berdasarkan contoh kasus-kasus yang ada dan pernah terjadi sebagaimana
telah diuraikan di atas, termasuk data dan temuan dari BPK mengenai kasus-kasus
dalam pengelolaan dan penyalruan dana hibah dan bansos, maka dapat dikatakan
bahwa maksud dan tujuan dibentuknya Permendagri 32/2011 jo 39/2012 belum
tercapai, oleh karena itu keberhasilan dalam pelaksanaan hukum juga belum
tercapai.
b.
Kegagalan dalam Pelaksanaan Hukum
Kegagalan di dalam
pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan
tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil di dalam implementasinya. Apabila
dikaitkan dengan permasalahan hukum a quo, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan
hukum tentang hibah dan bansos dalam Permendagri 32/2011 mengalami kegagalan
dalam pelaksanaannya, karena di dalam praktiknya, baik dari pihak pengelola dan
penyalur dana hibah dan bansos, maupun dari penerima dana hibah dan bansos yang
tidak taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
hibah dan bansos. Banyaknya kasus-kasus dalam pengelolaan dan penyaluran dana
hibah dan bansos yang terjadi, baik yang berindikasi pelanggaran adminitrasi
maupun pidana menunjukkan bahwa Permendagri 32/2011 telah gagal dalam
implementasinya.
c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di dalam
pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faltor yang mempengaruhi dapat
dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya. Dari aspek
keberhasilannya, Permendagri 32/2011, telah memberikan pedoman pengelolaan dan
penyaluran dana hibah dan bansos. Bagi pemerintah daerah, keberadaan
Permendagri 32/2011 membuat pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos
transparan dan akuntabel serta dapat dipertanggung-jawabkan, lebih jauh lagi
dapat menguatkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sementara bagi penerima
dana hibah dan bansos, dibebankan pertanggungjawaban atas penggunaan dana hibah
atau bansos tersebut, dengan konsekuensi hukum pengenaan sanksi administratif,
apabila penggunaan dana hibah dan bansos tidak sesuai dengan permohonan atau
proposal. Dari aspek kegagalannya, adanya Permendagri 32/2011 tetap dapat
membuat peluang pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaannya, baik yang
berindikasi administrasi maupun pidana. Hal ini dikarenakan, fungsi pengawasan
yang masih lemah. Fungsi pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan mulai dari
seleksi administrasi, penganggaran, penetapan penerima, sampai dengan pelaksanaann
dan penyalurannya. Dengan demikian pengawasan bukan terbatas pada saat setelah
dana hibah atau bansos disalurkan. Sejatinya pengawasan berfungsi sebagai upaya
prefentif, agar pelanggaran-pelanggaran administrasi atau pelanggaran hukum
lainnya tidak terjadi. Lemahnya pengawasan ini juga menjadi perhatian dan
temuan dari BPK sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab di atas. Lemahnya
pengawasan sering disebutkan di dalam hasil laporan semeter II tahun 2013 oleh
BPK. Oleh karena itu lemahnya pengawasan ini harus segera ditindaklanjuti dan/atau
diperbaiki.
Berkaitan dengan
fungsi pengawasan, menurut teori pengawasan, pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Menurut definisi tersebut tidak
disajikan tujuan proses pengamatan, melainkan tujuan akhir dari pengawasan itu
sendiri, yaitu untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Artinya pengawasan dilakukan atas pelaksanaan rencana kegiatan, dan
tidak hanya pengawasan setelah kegiatan berakhir.
Sesuai dengan jenis pengawasan, maka
pengawasan itu sendiri terdiri dari pengawasan interen dan ekstern, pengawasan
prefentif dan represif, pengawasan aktif dan pasif serta pengawasan berdasarkan
kebenaran formil dan materil.
1) Pengawasan intern
adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam
lingkungan unit organisasi yang bersangkutan. Pengawasan jenis ini dapat
dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built
in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat
jenderal pada setiap kementerian dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah di
Indonesia. Pengawasan ekstern
adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit
organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari
pengaruh kekuasaan manapun;
2) Pengawasan preventif
adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu
dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Lazimnya,
pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya
penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan
negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem
pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan
represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah
kegiatan itu dilakukan. Pengawasan ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun
anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan
laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan;
3) Pengawasan aktif
dilakukan sebagai bentuk pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang
bersangkutan. Pengawasan pasif merupakan pengawasan yang dilakukan melalui
penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggung jawaban yang disertai
dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran;
4) Pengawasan
berdasarkan kebenaran formil (rechmatigheid) merupakan pengawasan yang
dilakukan terhadap setiap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan yang
berlaku dan kebenarannya didukung dengan bukti yang ada. Sedangkan pengawasan
berdasarkan kebenaran materil (doelmatigheid) merupakan pengawasan
terhadap setiap pengeluaran apakah telah sesuai dengan tujuan dikeluarkan
anggaran dan telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut
diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin.
Apabila semua jenis pengawasan ini
dilaksanakan oleh pengawas interen pemerintah, maupun ekseteren seperti BPK
atau BPKP, maka dapat dipastikan akan berkorelasi dengan terkendalinya
pelanggaran atau kasus dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos.
Namun demikian, semua bentuk pengawasan apapun tidak akan berjalan dengan
semestinya, apabila aparat pengawasnya tidak jujur dan bersih serta mau
melakukan kolusi, nepotisme dan tindakan koruptif. Diperlukan komitmen yang
kuat dari para pelaksana pengelolaan dana hibah dan bansos untuk menjalankan
asas-asas pemerintahan yang baik dalam setiap melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya.
Berdasarkan analisa permasalahan tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa Permendagri 32/2011 jo 39/2012 belum efektif
di dalam pelaksanaannya.
2.
Pertanggung jawaban
Gubernur atau kepala daerah atas pengelolaan dan penyaluran dana bansos yang
menyimpang dari peraturan perundang-undangan
Berdasarkan
teori kewenangan sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II dan sub bab di atas,
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, Gubernur memiliki kekuasaan
di daerah provinsi berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diubah dengan Perpu No. 3 Tahun 2005 dan terakhir dengan Undang-undang
No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal
24 ayat (2) UU Pemda menyebutkan bahwa Kepala Daerah untuk provinsi disebut
Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota disebut walikota.
Berdasarkan UU Pemda tersebut dibagilah urusan pemerintah, antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau
kota. Berdasarkan 7 ayat (2) hururf (v) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupate/kota, menyebutkan bahwa urusan wajib
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota salah satunya mengenai
kewenangan di bidang sosial. Lebih lanjut Pasal 24 UU Kesejahteraan Sosial
menyebutkan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah, dan tanggung jawab penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dilaksanakan untuk tingkat provinsi oleh Gubernur.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, Gubernur mendapatkan kewenangan untuk mengelola atau
menyelenggarakan kesejahteraan sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dengan perkataan lain, kewenangan gubernur dalam melaksanakan kesejahteraan
sosial lahir atas dasar undang-undang.
Sebagai
bentuk dari pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial, dan dalam rangka menanggulangi
risiko sosial, maka Menteri Dalam Negeri membentuk Permendagri 32/2011 dan
perubahannya Permendagri 39/2012. Berdasarkan Permendagri 32/2011 tersebut
Gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi diberikan kewenangan untuk
mengelola dan menyalurkan dana hibah dan bansos kepada
individu/masyarakat/kelompok, instansi, pemerintah dan badan usaha milik daerah.
Kewenangan gubernur tersebut merupakan kewenangan atribusi yang didapat
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berbicara
mengenai kewenangan akan terkait dengan pertanggung-jawaban pemerintah.
Pertanggung-jawaban lahir karena adanya kewenangan. Mengenai hal ini dipertegas
dengan pendapat J.J. van DerGouw, yang pada pokoknya mengatakan bahwa
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang memiliki tugas pemerintahan
(kewenangan) digolongkan sebagai badan hukum yang dapat dimintai
pertanggung-jawaban, baik secara administrasi maupun secara perdata, apabila
melakukan perbuatan melawan hukum.
Secara umum pengertian Tanggung Jawab Pemerintahan adalah
kewajiban penataan hukum (compulsory compliance) dari negara atau
pemerintah atau pejabat pemerintah atau pejabat lain yang menjalankan fungsi
pemerintahan sebagai akibat adanya suatu keberatan, gugatan, judicial review,
yang diajukan oleh seseorang, masyarakat, badan hukum perdata baik melalui
penyelesaian pengadilan atau di luar pengadilan untuk pemenuhan berupa: (a)
pembayaran sejumlah uang (subsidi, ganti rugi, tunjangan, dan sebagainya); (b)
menerbitkan atau membatalkan/mencabut suatu keputusan atau peraturan, dan; (c)
tindakan-tindakan lain yang merupakan pemenuhan kewajibannya, misalnya untuk
melakukan pengawasan yang lebih efektif dan efisien, mencegah adanya bahaya
bagi manusia maupun lingkungan, melindungi harta benda warga, mengelola dan
memelihara sarana dan prasarana umum, mengenakan sanksi terhadap suatu pelanggaran
dan sebagainya.
Secara
administrasi negara, pertanggung jawaban muncul karena ada wewenang. Wewenang
ini karena ada kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada 3 (tiga) macam wewenang,
yaitu wewenang tradisional; wewenang karismatik; dan wewenang legal rational.
Wewenang yang ke 3 (tiga) ini yang menjadi dasar wewenang pemerintah. Kemudian
dalam perkembangannya muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan
oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang
harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggung-jawaban
pemerintah ini, dapat diartikan sebagai pertanggung jawaban sebagai
akuntabilitas, yaitu kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban
dalam melaksanakan tugas, program kerja maupun kebijakan-kebijakannya.
Berkaitan dengan pengelolaan dana hibah dan bansos, maka pertanggung jawaban
sebagai akuntabilitas ini digunakan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik itu ditetapkan dan
tidak digunakan secara ilegal atau apakah ada penyimpangan staf atau tidak,
tidak efisien, tidak prosedural.
Apabila
ditemukan adanya penyimpangan, atau pelanggaran terhadap proses atau prosedur
yang telah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pelaksanaan suatu program pemerintah, maka pemerintah dianggap telah
melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah melanggar undang-undang dan
pastinya juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dan apabila dikaitkan dengan permasalahan hukum mengenai
pertanggung jawaban dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos yang
bersumber APBD, maka siapakah yang dapat dimintakan pertanggung jawaban dalam
hal terdapat pelanggaran atau ketidak patuhan terhadap Permendagri 32/2011 jo
39/2012, apakah Gubernur atau kepala daerah dapat dimintakan pertanggung
jawaban hukum ?.
Untuk
menjawab siapa yang dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum, perlu
dikemukakan terlebih dahulu kewenangan dan kewajiban masing-masing pihak yang
terkait di dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos bersumber
APBD berdasarkan Permendagri 32/2011 jo 39/2012.
Berdasarkan
Permendagri 32/2011 dan 39/2012 jo Pergub Provinsi Jawa Barat No. 55 Tahun 2011
(selanjutnya disebut Pergub 55/2011), pihak-pihak yang terkait dalam
pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos serta kewenangannya adalah
sebagai berikut:
a.
Kepala
Daerah/Gubernur berwenang :
1)
Menerima
usulan hibah atau bansos secara tertulis dari calon penerima belanja hibah dan
bansos;
2)
Menunjuk
SKPD terkait untuk melakukan evaluasi terhadap usulan tertulis hibah dan bansos;
3)
Mencantumkan
daftar penerima, alamat penerima dan besaran hibah atau bansos
4)
Menandatangani
NPHD atau dapat menunjuk pejabat lain untuk menandatangani NPHD;
5)
Menerima
hasil evaluasi berupa rekomendasi SKPD terkait evaluasi usulan tertulis dari
pemohon bansos, melalui TAPD;
6)
Menerima
hasil pertimbangan TAPD terkait rekomendasi SKPD atas hasil evaluasi usulan tertulis
dari pemohon hibah dan bansos;
7)
Menetapkan
persetujuan atau penolakan DNC PBH atau DNCP BBS berdasarkan hasil evaluasi
SKPD dan pertimbangan TPAD
8)
Menuangkan
persetujuan terhadap DNC PBH dalam bentuk lembar persetujuan Gubernur;
9)
Menetapkan
daftar penerima hibah beserta besaran uang atau jenis barang atau jasa yang
akan dihibahkan dengan keputusan daerah berdasarkan Perda tentang APBD dan
Perda tentang Penjabaran APBD;
10)
Menetapkan
daftar penerima bansos dan besaran bansos dengan keputusan Gubernur berdasarkan
Perda tentang APBD dan Penjabaran APBD;
11)
Memberikan
persetujuan pencairan dana hibah berdasarkan nota persetujuan yang diajukan
oleh PPKD;
12)
Menerima
laporan penggunaan hibah berupa uang atau barang/jasa dari penerima hibah
melalui PPKD dengan tembusan SKPD terkait;
13)
Menerima
permohonan pencairan belanja hibah dari penerima belanja hibah melalui unit
kerja yang melaksanakan fungsi surat masuk dengan tembusan kepada Biro
keuangan;
14)
Menerima
laporan hasil audit akuntan publik atas belanja hibah berupa uang dan barang
atau jasa dengan nilai di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) melalui
Inspektorat Provinsi Jawa Barat atau SKPD dengan tembusan disampaikan kepada
Biro Administrasi Pembangunan
15)
Menerima
laporan penggunaan bansos berupa uang, barang/jasa dari penerima bansos melalui
SKPD dengan tembusan SKPD terkait;
16)
Menerima
hasil monitoring dan evaluasi dari SKPD dengan tembusan SKPD pengawasan;
17)
Menerapkan
sanksi administratif melalui Biro Administrasi Pembangunan dan SKPD terkait.
b.
Unit
kerja yang melaksanakan fungsi surat masuk pada Sekda Provinsi, berwenang :
1)
Mencatat
usulan tertulis yang dilampiri perysratan administrasi dan dokumen proposal
belanja hibah dan mencatat surat permohonan, proposal dan persyaratan
administrasi belanja bansos;
2)
Melakukan
seleksi terhadap permohonan dan dokumen proposal belanja hibah, dan bansos
apabila ditemukan ketidaksesuaian antara permohonan dengan dokumen proposal,
maka surat permohonan dan dokumen proposalnya dikembalikan kepada Pemohon Hibah
atau bansos;
3)
Meneruskan
surat permohonan dan dokumen proposal belanja hibah atau bansos yang telah memenuhi
persyaratan administratif kepada Gubernur;
c.
SKPD
atau satuan kerja perangkat daerah terkait, berwenang :
1)
Melakukan
evaluasi keabsahan, kelengkapan persyaratan permohonan hibah atau bansos,
berdasarkan pedoman kepala SKPD. Evaluasi dilakukan oleh Tim Evaluasi yang
bertanggung jawab kepada SKPD;
2)
Menyampaikan
hasil evaluasi tersebut di atas berupa rekomendasi kepada Kepala Daerah/Gubernur
melalui TAPD;
3)
Menganggarkan
belanja hibah atau bansos berupa barang atau jasa dalam program belanja
langsung;
4)
Melakukan
pengadaan barang atau jasa sesuai DPA SKPD untuk belanja hibah atau bansos berupa
barang atau jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan
barang atau jasa pemerintah;
5)
Memberitahukan
penerima hibah atau bansos untuk membuat atau menyesuaikan proposal/permohonan
sesuai dengan besaran belanja hibah atau bansos yang ditetapkan DPA;
6)
Menyerahkan
belanja hibah atau bansos barang atau jasa kepada Penerima Belanja Hibah, setelah
persyaratan dilengkapi;
7)
Menyampaikan
rekapitulasi penerimaan laporan penggunaan belanja hibah atau bansos kepada
Biro Administrasi dan Pembangunan;
8)
Melakukan
penagihan laporan kepada penerima belanja hibah;
d.
TAPD
atau Tim Anggaran Pemerintah Daerah, berwenang ;
1)
Memberikan
pertimbangan atas rekomendasi dari SKPD, sesuai dengan prioritas dan kemampuan
keuangan daerah yang dituangkan dalam daftar nominatif calon penerima hibah
(DNC PBH) atau daftar nominatif calon penerima belanja bantuan sosial (DNCP
BBS);
2)
Menyampaikan
hasil pertimbangan disertai DNC PBH atau DNCP BBS kepada Gubernur;
e.
PPKD
atau Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, berwenang :
1)
Menganggarkan
belanja hibah berupa uang dalam kelompok belanja langsung;
2)
Menganggarkan
belanja hibah berupa uang dalam kelompok belanja tidak langsung;
3)
Mengajukan
Nota persetujuan pencairan dana hibah atu bansos kepada Gubernur;
4)
Memerintahkan
kepada Bendahara Belanja Hibah atau bansos untuk membuat Surat Permintaan
Pembayaran Langsung (SPP-LS) berdasarkan persetujuan Gubernur;
5)
Menerbitkan
surat perintah membayar, apabila dokumen persyaratan pencairan dinyatakan
lengkap;
6)
Mencatat
realisasi belanja hibah atau bansos pada laporan keuangan daerah dalam tahun
anggaran berkenaan;
7)
Mencatat
belanja hibah berupa uang sebagai realisasi jenis belanja hibah pada PPKD dalam
tahun anggaran berkenaan dan melakukan pencatat;
f.
Kuasa
Bendahara Umum, berwenang :
Menerbitkan Surat
Perintah Pencairan Dana (SP2D), setelah SPM diterbitkan;
g.
Penerima
Hibah atau bansos, berwenang :
1)
Mengajukan
usulan secara tertulis atau permohonan tertulis belanja hibah atau bansos,
dengan melampirkan persyaratan-persyaratan administrasi;
2)
Mengajukan
permohonan pencairan belanja hibah atau bansos kepada Gubernur melalui unit
kerja yang berfungsi melaksanakan surat masuk di Sekretarian Daerah Provinsi
Jawa Barat dengan melampirkan perysratan administrasi dengan tembusan Biro
Keuangan
3)
Menerima
belanja hibah dan bansos dan menggunakannya sesuai dengan NPHD atau sesuai
dengan proposal yang diajukan;
4)
Dilarang
mengalihkan hibah atau bansos kepada pihak lain;
5)
Melaporkan
penggunaan dana hibah dan dana bansos sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan;
Berdasarkan penjelasan mengenai kewenangan
masing-masing pihak dalam proses pemberian belanja hibah atau bansos, maka
dapat dikemukakan bahwa Kepala daerah/Gubernur sesuai dengan Kepmendagri
32/2011 jo Pergub 55/2011 bertindak sebagai manajer yang mengatur proses
belanja hibah dan bansos dengan mendistribusikan kewenangan kepada SKPD, PPKD
dan TAPD.
Dalam hal ini SKPD berperan penting dalam
menentukan dapat atau tidaknya belanja hibah atau bansos diberikan kepada
penerima belanja hibah atau bansos, karena SKPD melalui tim evaluasi bertugas
melaksanakan evaluasi keabsahan, kelengkapan persyaratan permohonan hibah atau
bansos serta melakukan penelitian dan/atau peninjauan lapangan untuk menguji
keabsahan dan kelengkapan permohonan dan hasil evaluasi tersebut dituangkan
dalam bentuk rekomendasi dan disampaikan kepada Gubernur melalui TAPD. Dalam
hal ini TAPD juga memberikan pertimbangan atas rekomendasi SKPD. Rekomendasi SKPD dan pertimbangan TAPD
menjadi dasar disetujui atau ditolaknya Daftar Nominatif Calon Penerima Belanja
Hibah (DNC PBH) atau Daftar Nominatif Calon Penerima Belanja Bantuan Sosial (DNCP)
BBS oleh Gubernur.
Tanpa adanya rekomendasi dan pertimbangan
dari SKPD dan TAPD, Gubernur tidak mungkin memberikan persetujuan DNC PBH dan
BBS. Dengan demikian apabila pelanggaran terjadi pada tahap ini, seperti contoh
keabsahan dan kelengkapan administrasi calon penerima hibah atau bansos tidak
diverifikasi dengan benar atau sengaja tidak diverifikasi sama sekali, atau
secara administrasi berdasarkan evaluasi tim evaluasi, calon penerima hibah
atau bansos tidak memenuhi syarat untuk diberikan bantuan hibah atau bansos,
karena identitas tidak jelas dan tidak berdomisili di wilayah provinsi atau
kabupaten/kota tersebut atau calon penerima hibah atau bansos ternyata fiktif,
individu, masyarakat/lembaga penerima, alamatnya sama, atau individu/lembaga
penerima merupakan afiliasi dari pejabat daerah (keluraga atau kerabat), atau
penerima hibah atau bansos tanpa didukung proposal, tetapi calon penerima hibah
atau bansos tersebut tetap dimasukkan dalam DNC PBH atau BBS oleh SKPD.
Di dalam konteks tanggung jawab hukum
administrasi negara, tolok ukur untuk menentukan sifat melawan hukum dari suatu
tindakan administrasi negara, paling tidak ditentukan oleh dua hal, yaitu
pertama apakah administrasi negara tersebut telah menjalankan kewenangannya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Kedua apakah
administrasi negara tersebut telah menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik (good corporate governance),
dalam menjalankan kewenangannya tersebut. Dalam hal ini SKPD telah melakukan
perbuatan melawan hukum, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan, karena tidak
menjalankan kewenangannya berdasarkan Permendagri 32/2011 jo Pergub 55/2011 dan
juga tidak menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dalam hal ini
adalah asas profesionalitas, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.
TAPD juga dapat dimintakan pertanggung
jawaban hukum, apabila di dalam memberikan pertimbangan atas rekomendasi SKPD
mengetahui, bahwa hasil evaluasi tim evaluasi adalah tidak benar, tetapi tetap
memberikan pertimbangan dan memasukkan calon penerima hibah atau bansos di
dalam DNC PBH dan BBS. Dalam hal ini TPAD juga telah melanggar kewajiban
hukumnya berdasarkan Permendagri 32/2011 jo Pergub 55/2011, dan juga telah
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Gubernur tidak dapat
dimintakan pertanggung jawaban hukum, atas pelanggaran yang telah dilakukan
oleh SKPD, baik yang berindikasi administrasi maupun pidana, karena sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya, Gubernur bertindak berdasarkan rekomendasi
dan pertimbangan dari SKPD maupun TAPD.
Selain itu di dalam beberapa kasus ditemukan
adanya penggunaan dana hibah atau bansos untuk kepentingan politik kepala
daerah sebagai petahana yang maju kembali mencalonkan diri sebagai kepala
daerah, atau dengan perkataan lain Gubernur dengan jabatannya berusaha secara
aktif menentukan atau mempengaruhi DNC PBH dan BBS, termasuk menilai besaran
belanja hibah atau bansos yang akan ditetapkan dalam APBD. Gubernur dengan
menggunakan dana hibah dan bansos untuk kepentingan afiliasi dari kepala daerah
bersangkutan, dengan cara memberikan belanja hibah atau bansos kepada individu,
masyarakat atau kelompok masyarakat yang masih berafiliasi dengan Gubernur, dan
lembaga non pemerintah yang dimiliki oleh keluarga atau kerabat pejabat atau
kepala daerah. Dalam hal ini, apabila tim evaluasi SKPD menemukan fakta ini,
tetapi tetap memproses dengan memberikan rekomendasi agar DNC PBH dan BBS
disetujui, maka SKPD dan kepala daerah bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum
tersebut, baik secara administrasi maupun secara pidana.
Pada tahap penganggaran rentan terhadap
praktik mark up belanja hibah atau
bansos yang dilakukan oleh PPKD maupun SKPD, dengan memanfaatkan kewenangan
SKPD dalam mengevaluasi keabsahan dan kelengkapan persyaratan permohonan
belanja hibah atau bansos. Dalam tahap evaluasi ini, dana belanja hibah atau
bansos berdasarkan permohonan digelembungkan, tetapi yang dicairkan kepada
penerima belanja hibah atau bansos lebih sedikit dari permohonannya. SKPD dan/atau
PPKD bertanggung jawab atas pelanggaran prosedur belanja hibah atau bansos ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pertanggung jawaban hukum, hanya dapat dibebankan kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan belanja hibah atau bansos, hanya
apabila pihak-pihak tersebut melakukan penyimpangan dalam proses
pengelolaannya, dan tanggung jawab hukum tersebut terbatas pada pihak-pihak
yang melakukan penyimpangan atas dasar kewenangan atau tugas pokok dan fungsi
yang dimilikinya, dan tidak dapat menjangkau pihak-pihak lainnya, hanya apabila
pihak-pihak lainnya melaksanakan tugas pokok dan fungsinya atas dasar laporan
atau pertimbangan atau rekomendasi dari pihak lainnya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
analisa permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III di atas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Permendagri
32/2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri 39/2012 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD merupakan landasan
hukum pengelolaan, penyaluran dan pemberian belanja hibah dan bansos. Di
Provinsi Jawa Barat, aplikasi terhadap Permendagri 32/2011 diterapkan dalam
Pergub No. 55 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan,
Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi
Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam praktiknya selama ini sering dilanggar,
sehingga aturan itu tidak berlaku efektif, oleh karena itu keberhasilan dan
pelaksanaan hukum dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
belanja hibah dan bansos belum tercapai maksudnya atau pelaksanaannya hukumnya
gagal dalam implementasi. Kegagalan dalam pelaksanaan hukum atas peraturan
perundang-undangan tersebut dipengaruhi dari berbagai aspek. Disamping aspek
keberhasilan dari maksud dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu
untuk memberikan landasan hukum belanja hibah dan bansos agar sesuai dengan
maksud dan tujuan pemberiannya, aspek kegagalan-pun menjadi faktor dominan yang
mempengaruhi efektivitas peraturan tersebut. Lemahnya pengawasan merupakan
faktor penting yang memberi andil terhadap kegagalan sistem dalam belanja hibah
dan bansos, karena pengawasan yang diatur dalam Permendagri 32/2011 dan Pergub
55/2011, dalam pelaksanaannya hanya pengawasan setelah belanja hibah dan bansos
selesai dilaksanakan, sehingga pengawasan bersifat represif bukan prefentif.
2.
SKPD
bertanggung jawab terhadap evaluasi keabsahan, kelengkapan persyaratan
permohonan hibah atau bansos, dan hasil evaluasi tersebut dituangkan dalam
rekomendasi yang akan diserahkan kepada Gubernur melalui TAPD. Dalam hal ini
TAPD memberikan pertimbangan atas rekomendasi tersebut beserta DCN PBH dan BBS.
Atas dasar rekomendasi dan pertimbangan tersebut, Gubernur dapat menyetujui
atau bahkan menolak DCN PBH dan BBS. Evaluasi terhadap keabsahan, kelengkapan
persyaratan merupakan pintu masuk dapat atau tidaknya atau sah atau tidaknya
pemberian hibah atau bansos. Tanpa rekomendasi dan pertimbangan dari SKPD dan
TAPD, maka Gubernur tidak mungkin akan memberikan persetujuan. Dengan demikian
apabila terdapat pelanggaran hukum, maka SKPD dan TAPD yang bertanggung jawab.
Pertanggung jawaban Gubernur hanya dapat diminta, apabila Gubernur dengan
jabatannya berusaha secara aktif menentukan atau mempengaruhi DNC PBH dan BBS,
termasuk menilai besaran belanja hibah atau bansos yang akan ditetapkan dalam
APBD.
B.
Saran
Berdasarkan
analisis permasalahan dalam tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1.
Dalam
rangka efektivitas Permendagri 32/2011 sebagaimana telah diubah dengan
Permendagri 39/2012, diperlukan :
a.
Efektivitas
pengawasan interen. Dalam hal ini pengawasan harus dilaksanakan mulai dari
evaluasi keabsahan dan kelengkapan persyaratan permohonan belanja hibah atau
bansos yang dilakukan oleh tim evaluasi pada SKPD, termasuk melakukan
penelitian lapangan untuk menguji kebenaran data dan dokumen persyaratan
administrasi, sampai dengan pencairan dana dan pemberian belanja hibah atau
bansos kepada penerima, Pengawas interen
dari Inspektorat dapat menjadi salah satu anggota tim evaluasi yang bertanggung
jawab langsung kepada Inspektorat.
b.
Apabila
setelah pengawasan diefektivkan, tetapi permasalahan pelanggaran hukum dalam
pengelolaan belanja hibah atau bansos tetap sering terjadi, maka dalam rangka
efisiensi (efisiensi dalam hal sumber daya manusia, efisiensi terhadap
kemungkinan kebocoran dana hibah atau bansos, efisiensi dalam hal pengawasan,
efisiensi terhadap tindakan koruptif dengan tujuan politik) dan
professionalisme pengelolaan bantuan hibah dan bansos, maka pengelolaannya
sebaiknya hanya dilaksanakan oleh 1 (satu) instansi, dalam hal ini Kementrian
Sosial. Di dalam implementasinya Kementerian Sosial hanya menangani pengelolaan
belanja hibah dan bansos berupa uang atau barang/jasa yang terencana, sementara
pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota mengelola belanja hibah dan
bansos berupa uang atau barang/jasa yang sifatnya tidak terencana.
[1] KPK
dan BPKP Kaji Bansos, Jurnal Nasional, 24 April 2014
[2] Dana
bansos rawan korupsi, Jaringan Berita Terluas di Indonesia, edisi Selasa 22
November 2011, diakses tanggal 20 Agustus 2014 dari www.jpnn.com
[3] Wahyudi Kumorotomo, Penyimpangan Bansos, Kedaulatan Rakyat,
26 Februari 2013.
[4] Jelang
Pilkada, Dana Bansos dan Hibah Rentan disalahgunakan, Berita Satu, edisi
Senin, tanggal 21 Januari 2013, diakses dari www.beritasatu.com,
tanggal 23 Agustus 2014.
[5] Ibid
[6] Indonesia Corruption Watch, Annual Report 2012, hal. 14.
[7] Ibid.
[8] Konferensi Perss KPK, www.kpk.go.id, diakses tanggal 20 Juni 2014
[9] Ibid
[10] Dana
bansos rawan korupsi, Jaringan Berita Terluas di Indonesia, Op. cit
[11] Huberto Hasulie, Korupsi di Sikka, KPK Harus
Menangani Korupsi Dana Bansos, diakses dari www.provinsisvdende.weebly.com.,
tanggal 27 Mei 2014, hal. 2
[12] Annual
Report ICW Tahun 2012, hal. 33
[13] Ibid
[14] Buku II IHPS, BPK, hal. 25
[15] Ibid,
hal. 36
[16] Ibid.,
hal. 37
[17] Jelang
Pilkada, Dana Hibah dan Bansos Rawan Disalhgunakan, diakses dari www.beritasatu.com, tanggal 22 Agustus
2014
[18] ICW
Catat 120 Kasus Penyelewengan Bansos, www.metronews.com,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[19] ICW
300 Triliunan Dana Hibah Bansos Diselewengkan, www.nasional.sindonews.com,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[20] Daerah
Selewengkan Bantuan Sosial Rp. 765 Milyar, www.tempo.co.id,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[21] Rawannya
Dana Hibah dan Bansos, www.bangka.tribunnews.com,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014
[22] Deddy
Kritisi Dana Hibah untuk El-Jhon, www.bangka.tribunnews.com,
diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[23] Kejanggalan
Dana Hibah dan Bansos Provinsi Banten Jelang Pilgub 2011, diakses dari www.kompas.com, tanggal 7 Juli 2014.
[24] Korupsi
Dana Hibah dan Bansos, Bendahara Pribadi Atut Ditahan di Kejati, www.beritasatu.com, diakses tanggal 30
Agustus 2014
[25]Indonesia Corruption Watch, Korupsi Dana Bansos, diakses dari www.icw.or.id, pada tanggal 22 Agustus 2014.
[26] Badan Pemeriksa Keuangan, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun
2013, Jakarta, Maret 2014.
Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk membayar tagihan, mengembangkan bisnis skala kecil atau menengah Anda? Ibu Elizabeth Louis Pinjaman Perusahaan memberikan kesempatan untuk membuat impian Anda menjadi kenyataan dengan memberikan pinjaman kepada individu swasta atau pemerintah dan Perusahaan dengan tingkat bunga 2% untuk awal untuk setiap jumlah yang dibutuhkan dan dengan jadwal pembayaran yang fleksibel. Hubungi Ibu Elizabeth Louis untuk LOAN Anda hari ini melalui email: elizabethlouisloancompany@gmail.com
BalasHapusPemasalahan terjadinya kebocoran dana hibah dan Bansos, yaitu :
BalasHapus1. Masih banyak Pemerintah Daerah, Pengguna Anggaran (PA) /Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang belum membuat Pedoman Umum, Petunjuk pelaksanaan, Petunjuk teknis, dan Surat Keputusan tentang pendanaan, prosedur pencairan dan penyaluran dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos).
2. Aparat pengawasan belum diwajibkan terlibat dalam kegiatan awal hingga akhir pada kegiatan bantuan dana hibah dan bansos.
Saya ingin mengembalikan semua kemuliaan kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang Dia gunakan untuk Ibu Rossa lakukan dalam hidup saya, nama saya Mira Binti Muhammad dari kota bandung di indonesia, saya adalah seorang janda dengan 2 anak, suami saya meninggal dalam kecelakaan mobil dan Sejak saat itu kehidupan menjadi sangat kejam bagi saya dan keluarga saya dan saya telah mencoba beberapa tahun untuk mendapatkan pinjaman dari bank-bank di Indonesia dan saya ditolak dan ditolak karena saya tidak memiliki agunan dan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank dan saya sangat sedih
BalasHapusPada hari yang penuh dedakan ini saat saya melewati internet, saya melihat kesaksian Annisa tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari Ibu Rossa dan saya menghubungi dia untuk bertanya tentang perusahaan pinjaman ibu Rossa dan betapa benarnya pinjaman dari ibu Rossa dan dia mengatakan kepada saya itu benar dan saya menghubungi Ibu Rossa dan setelah mengajukan aplikasi pinjaman saya dan pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 24 jam saya mendapatkan uang pinjaman saya di rekening bank saya dan ketika saya memeriksa rekening saya, uang pinjaman saya utuh dan saya sangat bahagia dan saya telah berjanji bahwa saya akan membantu untuk memberi kesaksian kepada orang lain tentang perusahaan pinjaman ibu rossa, jadi saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada siapa saja yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. Rossa melalui email: rossastanleyloancompany@gmail.com dan Anda Bisa juga hubungi saya via email saya: mirabintimuhammed@gmail.com untuk informasi serta teman-teman Annisa Barkarya via email: annisaberkarya@gmail.com
BalasHapusSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)