Pertanggung-jawaban Hukum Gubernur Dalam Melaksanakan Benja Hibah dan Bantuan Sosial dihubungkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Belanja BansosBersumber dari APBD

A.     Latar Belakang
Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari kementerian/lembaga/pemerintah daerah/instansi kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Risiko sosial menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (selanjutnya disebut Permendagri 32/2011) adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis.
Dasar hukum pemberian bantuan sosial ini secara umum diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut UU Kessos). UU Kessos merupakan implementasi dari Pasal 27, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, yang pada pokoknya menegaskan bahwa kebijakan sosial merupakan tanggung jawab negara. Ketentuan kebijakan sosial dalam UUD 1945, sifatnya wajib dan tidak boleh ditawar lagi, karena kesejahteraan sosial merupak hak warga negara dan negara melalui pemerintah wajib untuk memenuhinya. Lebih lanjut Pasal 4 UU Kessos juga mengatur bahwa Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menurut UU Kessos ini hanya diprioritaskan kepada warga negara yang memiliki kehidupan tidak layak secara kemanusian dan masuk ke dalam kriteria masalah sosial seperti kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Atas dasar kreteria tersebut, bansos diberikan selektif hanya untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Sebagai implementasi atau pelaksanaan dari ketentuan pemberian bansos tersebut, pemerintah telah menggulirkan dana bansos kepada kementerian-kementerian. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, ada 15 (lima belas) kementerian/lembaga yang mendapatkan dana bantuan sosial senilai Rp. 19,8 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013, yaitu:[1]
1.     Kementerian Dalam Negeri mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 9,4 triliun;
2.     Kementerian Pertanian mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 5,3 triliun;
3.     Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 49 milyar;
4.     Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 28,3 triliun;
5.     Kementerian Kesehatan mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 19,9 triliun;
6.     Kementerian Agama mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 12,6 triliun;
7.     Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 32,6 triliun;
8.     Kementerian Sosial mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 5,5 triliun;
9.     Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 611,4 milyar;
10.  Kementerian Perumahan Rakyat mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 1,7 triliun;
11.  Kementerian Pekerjaan Umum mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 3,9 triliun;
12.  Kementerian Koperasi dan UKM mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 285 milyar;
13.  Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 766,5 milyar;
14.  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 50 milyar;
15.  BPLS mendapatkan dan bantuan sosial sebesar Rp. 4,7 milyar, dan dana cadangan bencana yang dialokasikan sebesar Rp. 3 triliun.
Sementara total dana bansos bersumber dari APBD dari tahun 2007 sampai dengan 2010 adalah sebesar Rp. 48 triliun, dan yang bersumber dari APBN Rp. 252 triliun.[2] Dana bansos tahun 2013 sebesar Rp. 73,5 triliun dan tahun anggaran sebelumnya, yaitu tahun 2012 sebesar Rp. 59 triliun.[3]
Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), alokasi dana hibah dan bansos Pemerintah DKI Jakarta mengalami peningkatan dari tahun 2010, sebesar Rp. 433.653.000.000,- (Empat Ratus Tiga Puluh Tiga Milyar Enam Ratus Lima Puluh Tiga Juta Rupiah), di tahun 2011 menjadi Rp. 882.574.000.000,- (Delapan Ratus Delapan Puluh Dua Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Empat Rupiah) dan di tahun 2012 sebesar Rp. 1.367 triliun. Fenomena yang sama juga terjadi di Provinsi Banten, alokasi dana hibah dan bansos terus meningkat dari sebelumnya, yaitu tahun 2009 sebesar Rp. 14.000.000.000,- (Empat Belas Milyar Rupiah), menjadi Rp. 239.270.000.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh Sembilan Milyar Dua Ratus Tujuh Puluh Juta Rupiah) pada tahun 2010 dan menjadi Rp. 340.463.000.000,- (Tiga Ratus Empat Puluh Milyar Epat Ratus Enam Puluh Tiga Juta Rupiah) pada tahun 2011.[4]
Sementara itu alokasi dana hibah dan bansos di Provinsi Jawa Barat juga mengalami kenaikan, yaitu pada tahun 2011 sebesar Rp. 2.128 triliun rupiah, dan pada tahun 2013 menjadi Rp. 2.938 triliun. Kemudian alokasi dana bansos di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar Rp. 107.000.000.000,- (Seratus Tujuh Milyar Rupiah) menjadi Rp. 4 triliun pada tahun 2013. Dalam APBD Provinsi Jawa Timur disebutkan alokasi dana bansos untuk tahun 2009 sebesar Rp. 541.000.000.000 (Lima Ratus Empat puluh milyar rupiah) menjadi Rp. 4.09 triliun dalam APBD 2013.[5]
Besarnya dana bansos, dan banyaknya kementerian yang mendapatkan dana bansos tersebut, rentan terhadap penyimpangan, termasuk di dalamnya mengenai sasaran penerima yang tidak tepat, dan tumpang tindih dengan dana alakosi khusus, serta penggunaan dana bansos untuk kegiatan politik. Dana bansos yang bersumber dari APBD juga rentan terhadap pelanggaran dan penyelewengan. Di tingkat daerah, pola penyimpangan dana Bansos sangat beragam. Berdasarkan hasil monitoring ICW, politisasi dana bansos kerap terjadi untuk kegiatan pemilukada, khususnya bagi incumbent yang dilakukan melalui modus politisasi kebijakan anggaran dalam pemilukada dengan cara mengalokasikan dana bansos dan hibah ke kelompok pendukung, keluarga dan tokoh agama atau masyarakat.[6]
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada pokoknya permasalahan inti dari adanya penyimpangan dana bansos tetap sama, yaitu karena rendahnya akuntabilitas politik terkait anggaran publik dan karena masih banyaknya wilayah abu-abu di dalam ketentuan tentang Bansos. Tujuan dari alokasi dana Bansos sesuai ketentuan adalah untuk rehabilitasi sosial, pemberdayaan, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana. Di dalam APBD, alokasi dana Bansos dan hibah merupakan bagian dari belanja tidak langsung pemerintah daerah. Jika semangat untuk memberikan bantuan sosial itu dilakukan tanpa pretensi, semestinya alokasi dana Bansos bisa meringankan beban penderitaan rakyat di banyak daerah.[7]
Perhatian terhadap pentingnya pengelolaan dana bansos telah dilakukan oleh KPK sebagai institusi penegakkan hukum korupsi, salah satunya dengan meminta kepada para kepala daerah untuk mengelola dengan sungguh-sungguh dana hibah dan bantuan sosial agar terhindar dari penyelahgunaan . permintaan KPK tersebut dilakukan melalui surat resmi dengan nomor B-14/01-15/01/2014 tanggal 6 Januari 2014 yang dikirimkan kepada seluruh Gubernur dan ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri.[8]
Menurut kajian KPK menemukan adanya relasi dana bansos dan hibah APBD terkait pelaksanaan pemilukada. KPK juga menemukan bahwa dana bansos dan hibah cenderung mengalami kenaikan menjelang pelaksanaan pemilukada yang terjadi kurun waktu 2012-2013. Selain itu didapati juga fakta banyaknya tindak pidana korupsi yang diakibatkan penyelahgunaan dana bansos dan hibah tersebut. Ada daerah yang persentase kenaikannya mencapai 117 kali lipat pada 2011-2012, dan 206 kali lipat pada kurun 2012-2013. Sedangkan dana bansos, mencapai 5,8 kali lipat pada 2011-2012 dan 4,2 kali lipat pada 2012-2013. Bila dilihat dari persentase dana hibah terhadap total belanja, nilainya juga cukup signifikan. Terdapat sebuah daerah yang anggaran dana hibahnya mencapai 37,07 persen dari total APBD.[9]
Diantara pelanggaran atau penyelewengan dana bansos seperti contoh:
1.     Tahun 2008, di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan, terungkap alokasi dana Bansos sebesar Rp. 3 miliar yang digunakan untuk membuat stiker dan baliho bupati petahana;
2.     Tahun 2011 di Jawa Tengah pernah ditemukan dana Bansos Rp 26,8 miliar untuk 208 Ormas, namun setelah diperiksa ternyata hanya 6 Ormas yang benar-benar terdaftar resmi;
3.     Tahun 2011, terdapat 6 (enam) kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK yang melibatkan bupati/walikota, yaitu Plt Bupati Kutai Kartanegara, Bupati Aceh Tenggara, Walikota Manado, Walikota Tomohon, dan Walikota Pematangsiantar;[10]
4.     Tahun 2012, Dana bansos Pemerintah Kota Bandung telah menjerat mantan walikota Bandung dan Sekretaris Daerahnya menjadi tersangka dan sudah dijatuhkan hukuman pidana;
5.     Di Kabupaten Sikka, terdapat penyelewengan danan bansos tahun anggaran 2009.  Dalam APBD induk yang ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2009 total dana yang dialokasikan untuk Bansos sebesar Rp 7.085.000.000. Dalam APBD perubahan yang disepakati oleh DPRD & eksekutip pada tanggal 22 Agustus ditambahkan lagi Rp. 2.500.000.000 untuk pos bantuan sosial lain. Dengan demikian total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009 sebanyak Rp 9.585.000.000. Namun, setelah melakukan kesepakatan dengan DPRD tentang tambahan dana ini, pihak eksekutip secara sengaja melakukan kekeliruan dengan mencantumkan tambahan dana sebesar Rp 6.500.000.000 untuk pos bantuan lain pada dokumen Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati sehingga  total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009 dikatrol menjadi Rp 13.585.000.000.[11]
6.     Khusus di Provinsi Jawa Barat, terdapat Indikasi koruspi dana hibah dan bansos Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan nilai kerugian negara adalah Rp. 34, 9 milyar, saat ini dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi.[12]
7.     Tahun 2014, di Provinsi Banten, setelah Gubernur Banten saat itu ditangkap KPK terkait dengan suap kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk pemenangan pemilukada di beberapa daerah di Provinsi Banten. Perkara berkembang dan mengungkap bahwa Gubernur Banten juga diduga telah menyalahgunakan kewenangannya dalam pengelolaan dana hibah dan bansos, hal ini dibuktikan dengan sangat mencoloknya kenaikan dana bansos mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, yaitu tahun pemilihan Gubernur. Tahun 2009 dana bansos sebesar Rp. 60.000.000.000., (Enama Milyar Rupiah); Tahun 2010 menjadi Rp. 209.000.000.000 (Dua Ratus Sembilan Puluh Milyar Rupiah) atau naik hampir 4 kali lipatnya, dan tahun 2011, naik lagi sampai Rp. 391.463.000.000,- (Tiga Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Empat Ratus Enam Puluh Tiga Juta Rupiah).
8.     Khusus penyimpangan dana bansos di Kementerian :
a.      Dana Bansos Kementerian Pendidikan Nasional yang masuk ke beberapa SMP Negeri di Semarang termasuk yang disoroti oleh KPK karena dilihat dari kondisi ruang sekolah dan rasio guru-murid, semestinya SMP tersebut tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh dana Bansos. Baru-baru ini di Sulawesi Selatan terungkap dana Bansos Rp 2,3 miliar yang disalurkan berdasarkan proposal yang dikirim oleh para Kepala Desa. Telah terungkap bahwa isi proposal itu ternyata semua sama karena memang hanya merupakan rekayasa dari pejabat setempat.[13];
b.      Di Kementerian Pendidikan Nasional juga terdapat kesalahan pengklasifikasian jenis belanja bansos di satker pusat maupun daerah sekurang-kurangnya senilai 12,70 triliun, sehingga nilai realisasi belanja bansos tahun anggaran 2012 tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Hal ini terjadi karena kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja.[14]
c.      Selain itu di kementerian yang sama terjadi pula kasus penyimpangan administrasi, karena terdapat minimal 21.804 lembaga/sekolah/perorangan penerima bantuan senilai Rp. 7,48 milyar belum menyampaikan laporan pertanggung-jawaban, sehingga realisasi belanja bansos senilai Rp. 7,48 milyar tidak dapat dimonitor penggunaannya.[15] Kasus penyimpangan administrasi tersebut disebabkan karena pejabat/petugas yang bertanggung jawab lalai  dalam melakukan tanggung jawabnya, tidak mentaati dan memahami ketentuan yang berlaku serta lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.[16]
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, di dalam pengelolaan dana bansos yang menyimpang dan tidak sesuai dengan peruntukkan dan penerimanya telah menjerat banyak kepala daerah, mulai dari Bupati, Walikota bahkan Gubernur.  Dengan fenomena yang telah terjadi saat ini, dan dengan memperhatikan kewenangan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota serta Gubernur untuk mengelola dana bansos yang telah diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, perlu dikaji sejauh mana efektivitas Permendagri 32/2011, termasuk fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian dana bansos, mulai dari perencanaan sampai dengan pemberian dana bansos itu sendiri. Selain itu setelah semua kajian tentang kewenangan dan pengawasan, perlu juga dikaji sejauh mana pertanggungjawaban kepala daerah dalam hal ini Gubernur terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan dan penyaluran dana bansos.

B.    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Apakah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah telah efektif, khususnya yang mengatur tentang pengawasan dalam pengelolaan dan penyaluran dana bansos ?
2.    Apakah Gubernur sebagai kepala pemerintahan tingkat provinsi dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas pengelolaan dan penyaluran dana bansos yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan ?

C.        Deskripsi Kasus
Pengelolaan belanja bansos di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, adalah sama seperti pada umumnya pengelolaan bansos di provinsi lainnya, yaitu dapat disalurkan secara langsung kepada masyarakat yang terkena dampak sosial, ataupun melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Mengenai hal tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 55 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penantausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD (selanjutnya disebut Pergub Jabar 55/2011). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa belanja bansos dapat berupa uang atau barang dan belanja bansos berupa barang dapat berbentuk peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan aset tetap lainnya, hewan dan tumbuhan dan aset tetap tidak berwujud seperti perangkat lunak.
Sesuai dengan bunyi Pasal 41 ayat (1), (2) dan (3) Pergub 55/2011, penaggaran belanja bansos berupa uang dicantumkan dalam RKA-PPKD dan penganggaran belanja bansos berupa barang dicantumkan dalam RKA-SKPD. RKA-PPKD dan RKA-SKPD menjadi dasar penganggaran balanja bansos dalam APBD. Dengan demikian penyaluran belanja bansos harus dianggarkan terlebih dahulu di dalam APBD.
Belanja bansos berupa uang, pelaksanaan anggaran dan pencairannya didasarkan pada DPA-PPKD yang dilaksanakan melalui mekanisme pembayaran langsung (LS) dan disalurkan melalui rekening Kasa Umum Daerah ke rekening penerima belanja bansos tersebut, dengan syarat penerima belanja bansos mengajukan permohonan yang dilampiri dengan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Pergub 55/2011.
Terkait dengan belanja bansos berupa barang, Pasal 47 Pergub 55/2011 menentukan bahwa SKPD terkait melakukan proses pengadaan barang sesuai dengan DPA-SKPD dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dengan demikian, khusus belanja bansos berupa barang dilakukan melalui proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tunduk pada Perpres 70/2012.
Di dalam praktik belanja bansos di Provinsi Jawa Barat, terdapat beberapa kasus adanya penyimpangan, di antaranya adalah adanya Indikasi korupsi dana hibah dan bansos Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan nilai kerugian negara adalah Rp. 34, 9 milyar, saat ini dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini diakui juga oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, yang menurutnya ada penyimpangan administrasi pada anggaran bansos Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2009-2010. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang ada temuan seperti itu, walaupun sejak tahun 2009 ataupun sejak terbitnya Permendagri No. 32 Tahun 2011, sistem pemberian bansos diperketat, tetapi masih ada penyimpangan-penyimpangan.
Sebagian besar penyelewengan dana bansos terjadi karena dana bansos yang dipergunakan tidak sesuai dengan pengajuannya atau penerima tidak sesuai proposal. Selain itu ada juga kasus yang mengajukan proposal tetapi tidak menerima dana bansos yang telah dicairkan. Menurut Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat, kebanyakan yang terjadi pada dana bansos, yaitu adanya semangat mengajukan proposal, sementara setelah mendapatkan dana bansos, tidak mempertanggungjawabkan. Selain itu penyelewengan dana bansos juga terjadi, karena penyelewengan dana bansos untuk pemilukada.
Berdasarkan uraian di atas, kasus penyelewengan dana bansos banyak terjadi dalam penyaluran dana bansos berupa uang. Penyaluran dana bansos berupa uang, mulai dari penganggaran, pelaksanaan, penyaluran dan pengawasannya tunduk pada Permendagri No. 32 Tahun 2011 jo Pergub Provinsi Jawa Barat No. 63 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Gubenur Provinsi Jawa Barat No. 55 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Sementara khusus penyaluran dana bansos berupa barang harus melalui mekanisme pengadaan barang yang tunduk pada Perpres 70/2011.
Satu hal yang menjadi catatan penyebab masih sering terjadinya penyelewangan penyaluran dana bansos, baik berupa uang maupun barang, adalah karena lemahnya pengawasan dari instansi terkait yang tugas dan wewenangnya melakukan pengawasan internal. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan mulai dari penganggaran, pelaksanaan, sampai dengan penyaluran, dan pertanggung jawaban penerima, serta pengawasan dalam pengadaan barang.
Di dalam tulisan ini, Penulis hanya mendeskripsikan beberbagai bentuk pelanggaran di dalam pengelolaan, penyaluran dan penggunaan dana bansos yang berpotensi menjadi kasus hukum yang melibatkan pejabat terkait di daerah, baik pejabat di lingkungan PPKD maupun kepala daerah itu sendiri. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data dan informasi mengenai perkara pelanggaran pengelolaan, penyaluran dan penggunaan dana bansos, khususnya di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Kasus atau perkara yang akan diuraikan hanya menjadi contoh atau sampel secara umum, yang kemudian berdasarkan sampel ini, akan dianalisa permasalahannya, sehingga didapat suatu kesimpulan.
Adapun kasus-kasus penyalahgunaan dana bansos tersebut, terdiri dari penyelahgunaan dana hibah dan bansos untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberiannya serta penyalahgunaan belanja hibah dan bansos karena lemahnya pengendalian intern. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Berita satu.com, merilis berita pada tanggal 21 Januari 2013, dengan hadeline “Jelang Pilkada, Dana Bansos dan Hibah Rawan Disalahgunakan”[17]. Penyelewengan itu bisa dilihat dari membengkaknya pengalokasian anggaran dari pos dana bansos dan hibah menjelang pilkada, serta besarnya dana hibah dan bansos yang turun setelah pilkada usai. Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Budget Center (IBC), ditemukan bahwa anggaran untuk dana hibah dan bantuan sosial (bansos) rawan diselewengkan untuk kepentingan petahana (incumbent) dalam ajang pilkada sepanjang 2013. Riset itu sendiri dilakukan di lima provinsi besar di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Dari riset tersebut, ditemukan modus korupsi politik dalam alokasi dana hibah untuk pemenangan pilkada, yaitu lembaga penerima fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga atau kroni gubernur, dana hibah disunat, penerima bansos tidak jelas.
Sebagai contoh, alokasi dana hibah DKI Jakarta yang terus meningkat dari tahun 2010 sebesar Rp 433,653 miliar, menjadi Rp 882,574 miliar di tahun 2011 dan Rp 1,367 triliun di tahun 2012. Fenomena yang sama, juga terjadi di empat provinsi lainnya. Seperti di Banten, alokasi dana hibah terus meningkat dari tahun 2009 sebesar Rp 14 miliar, menjadi Rp 239,270 miliar pada tahun 2010 dan Rp 340,463 miliar di tahun 2010. Oleh karena itu, dapat dilihat rawannya penyalahgunaan dana hibah dan bansos menjelang pilkada besar yang akan digelar di Jawa Barat pada bulan Februari 2013, Jawa Tengah pada Maret 2013, dan Jawa Timur pada Agustus 2013. Dalam APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, alokasi dana bansos mengalami kenaikan dari Rp 2,128 triliun pada 2011 menjadi Rp 2,938 triliun pada 2013. Bahkan dana Hibah membengkak 10 kali lipat, dari Rp120,6 miliar pada 2009 menjadi Rp 1,2 triliun pada RAPBD 2013.
2.     Pada tahun 2008 di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan, terungkap alokasi dana Bansos sebesar Rp. 3 miliar yang digunakan untuk membuat stiker dan baliho bupati petahana;
3.     Tahun 2011 di Jawa Tengah pernah ditemukan dana Bansos Rp 26,8 miliar untuk 208 Ormas, namun setelah diperiksa ternyata hanya 6 Ormas yang benar-benar terdaftar resmi. Di tahun yang sama juga ditemukan 6 (enam) kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK yang melibatkan bupati/walikota, yaitu Plt Bupati Kutai Kartanegara, Bupati Aceh Tenggara, Walikota Manado, Walikota Tomohon, dan Walikota Pematangsiantar;
4.     Tahun 2012, Dana bansos Pemerintah Kota Bandung telah menjerat mantan walikota Bandung dan Sekretaris Daerahnya menjadi tersangka dan sudah dijatuhkan hukuman pidana;
5.     Di Kabupaten Sikka, terdapat penyelewengan danan bansos tahun anggaran 2009.  Dalam APBD induk yang ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2009 total dana yang dialokasikan untuk Bansos sebesar Rp 7.085.000.000. Dalam APBD perubahan yang disepakati oleh DPRD & eksekutip pada tanggal 22 Agustus ditambahkan lagi Rp. 2.500.000.000 untuk pos bantuan sosial lain. Dengan demikian total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009 sebanyak Rp 9.585.000.000. Namun, setelah melakukan kesepakatan dengan DPRD tentang tambahan dana ini, pihak eksekutip secara sengaja melakukan kekeliruan dengan mencantumkan tambahan dana sebesar Rp 6.500.000.000 untuk pos bantuan lain pada dokumen Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati sehingga  total alokasi dana Bansos untuk tahun 2009 dikatrol menjadi Rp 13.585.000.000;
6.     Berdasarkan data yang diperoleh ICW (Indonesian Corruption Watch), selama periode tahun 2007-2012 ada 120 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial[18]. Pada akhir tahun 2012 sebanyak 300 triliun rupiah dana hibah dan bantuan sosial digunakan untuk penyelewengan politik yang biasanya dilakukan oleh calon incumbent sebagai dana kampanye[19]. Selain untuk penyelewengan politik, seringkali alokasi belanja hibah dan bantuan sosial kurang tepat sasaran. Kecenderungannya, bantuan ini hanya dibagikan elit daerah kepada jaringan politik dan pengikutnya saja[20]. Sehingga tujuan dari pemberian hibah dan bantuan sosial pun tidak lagi sesuai dengan peraturan yang ada, seperti yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Testimoni dari anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Babel mengatakan bahwa peruntukkan bansos dan hibah selama ini kurang tepat sasaran. Puluhan paket dana hibah dibagikan kepada rumah ibadah termasuk yayasan keagamaan nilainya mulai dari Rp. 5 juta sampai Rp. 2 miliar. Padahal seharusnya keberadaan ribuan UMKM lah yang harus diperhatikan dan layak menerima bantuan tersebut[21]. Demikian juga penilaian salah satu anggota Komisi DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menyatakan bahwa selama ini hibah diberikan bukan kepada orang yang tepat untuk menerima bantuan tersebut, Yayasan El-John salah satu contohnya yang menerima bantuan sebesar Rp 1 Milyar untuk jaringan bisnis dibidang pariwisata[22].
7.     Di provinsi Banten jika pada tahun 2009, mengeluarkan dana hibah sebesar Rp. 74 milyar (Rp. 14 milyar dan hibah dan Rp. 60 miliar dana bansos), lalu setahun sebelum Pilgub, 2010, naik hampir 4x lipat menjadi Rp. 290,6 milyar (Rp. 239,2 milyar dana hibah dan Rp.51,4 milyar dana bansos), maka pada tahun Pilgub, 2011, naik lagi sampai hampir mencapai 400 milyar, atau tepatnya Rp. 391,463 (Rp. 340,4 milyar dana hibah dan Rp. 51 miliar dana bansos). Hasil temuan ICW mengenai pelanggaran penyaluran dana hibah dan bansos di provinsi Banten tahun anggaran 2011, adalah sebagai berikut :[23]
a.      Hasil penelitian terhadap 30% penerima dana hibah/bansos di Banten tahun 2011, ternyata adalah penerima fiktif, dengan total alokasi anggarannya adalah sebesar Rp. 4.500.000.000,- (empat milyar lima ratus juta rupiah).
b.      Terdapat 12 lembaga penerima hibah/bansos beralamat sama, dengan total alokasi dana sebesar Rp. 28.900.000.000,- (dua puluh delapan milyar sembilan ratus juta rupiah);
c.      Lembaga penerima dipimpin oleh keluarga Gubernur, yaitu sebanyak 14 (empat belas) lembaga, dengan total alokasi dana sebesar Rp. 29.500.000.000,- (dua puluh sembilan milyar lima ratus juta rupiah).
d.      Jumlah hibah yang diterima tidak sesuai pagu, hanya menyerap 7% (tujuh persen) dari total permohonan;
e.      Temuan BPK terhadap laporan keuangan APBD Banten tahun 2011 ada 92 lembaga yang belum mempertanggungjawabkan penggunaan dana hibah/bansos senilai Rp. 68.300.000.000,- (enam puluh delapan milyar tiga ratus juta rupiah). Tahun 2010 terdapat 229 (dua ratus dua puluh sembilan) penerima bansos senilai Rp. 3.87 milyar dan 197 penerima bansos tahun 2011 senilai Rp. 3,65 milyar yang tidak mengkonfirmasi telah menerima dana bansos.
Kasus dana hibah dan bansos Provinsi Banten telah menjerat Bendahara pribadi Gubernur Banten non aktif, yakni Siti Halimah dan Zainal Muttaqin mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Banten, mantan Kepala Biro Kesra yang sekarang menjabat Sekretaris Korpri Banten Anisul Fuad, Yudi MS mantan staf Biro Kesra, sekarang bekerja di DPPKD Banten, Wahyu Hidayat mantan staf Biro Kesra sekarang Sekretaris Dewan Banten, Sutan Amali sebelumnya di Dinas Pendidikan Banten dan sekarang di Samsat Cilegon, dan Dudi Setiadi yang merupakan orang dekat Gubernur Banten non aktif. Ke 7 (tujuh) orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Banten, karena diduga terlibat  dalam kasus dugaan korupsi dana hibah dan bansos tahun anggaran 2011-2012 yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 4.150 milyar rupiah pada tahun anggaran 2011 dan Rp. 3.5 milyar rupiah pada tahun anggaran 2012.[24] Tidak menutup kemungkinan Gubernur Banten non aktif juga akan dijadikan tersangka dalam kasus dana hibah dan bansos ini.
8.     Hasil Pemeriksaan BPK semester I tahun 2010 menemukan sejumlah penyimpangan penggunaan dana bansos di 19 provinsi yang nilainya sangat fantastis mencapai Rp. 765 miliar. Masuk tiga besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan potensi penyimpangan dana bansos sebesar Rp. 173,7 miliar,Sumatera Utara sebesar Rp. 148,44 miliar, dan di Jawa Timur ditemukan penyimpangan senilai Rp. 89,31 miliar.[25]
9.     Berdasarkan ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2013 Badan Pemeriksa Keuangan RI, didapat bahwa : [26]
a.      Terdapat kasus kelemahan sistem pengendalian intern, termasuk di dalamnya kasus belanja sosial tidak didukung proposal, belum ada SOP atau peraturan mengenai pengelolaan dan penatausahaan keuangan daerah, tata cara pertanggung jawaban hibah, pengelolaan belanja bansos.
b.      Terdapat kelemahan sistem pengendalian intern atas pelaksanaan belanja pemerintah, yang diprosentasikan sebesar 74% (Tujuh Puluh Empat Persen) untuk kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja; 20 % (dua puluh persen) kelemahan struktur pengendalian intern dan 6% (enam persen) untuk kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan. Kasus-kasus kelemahan sistem pengendalian interen tersebut di atas, adalah penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan belanja, yang terjadi di 38 intitas. Kasus-kasus tersebut seperti belanja hibah dan bansos yang belum didukung proposal permohonan, belum diverifikasi secara memadai dan pertanggung-jawaban belanja hibah pemilukada belum disampaikan ke Gubernur dan DPRD.
c.      Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut juga didapat bahwa entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau keseluruhan prosedur yang terjadi di 19 entitas. Kasus-kasus tersebut seperti peraturan kepala daerah terkait tata cara pengelolaan pemberian hibah dan bansos belum mengatur kriteria penerima bantuan antara lain selektif, harus menyampaikan fakta integritas dan batas waktu penyampaian laporan pertanggung jawaban. Kemudian juga ditemukan tim pengelola hibah dan bansos tidak pernah melakukan analisa proposal, menilai kelayakan penerima bantuan, sehingga beberapa penerima hibah dan bansos yang tidak memenuhi persyaratan sebagai penerima hibah dan bansos antara lain tidak memiliki identitas yang jelas dan tidak berdomisili di wilayah tersebut tetapi menerima hibah dan bansos.
d.      Kelemahan administrasi juga menjadi perhatian dalam hasil pemeriksaan BPK ini, terdapat 250 (dua ratus lima puluh) kasus di 101 (seratus satu) objek pemeriksaan pada 97 (sembilan puluh tujuh) entitas, kasus tersebut di antaranya adalah pertanggung jawaban tidak akuntabel (bukti tidak lengkap/tidak valid), dalam hal ini belanja bansos belum dipertanggungjawabkan oleh bendahara pengeluaran. Penyebab terjadinya kasus-kasus tersebut adalah karena para pelaksana lalai dalam melaksanakan pekerjaan dan tidak berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian dari pimpinan intern. Atas hasil temuan ini BPK memberi rekomendasi kepada pimpinan entitas untuk memberikan teguran atau sanksi kepada pelaksana yang lalai dalam melaksanakan pekerjaan, serta pimpinan entitas untuk meingkatkan pengawasan dan pengendalian.
e.      Secara nasional, hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun 2013, menunjukkan bahwa di dalam pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban bansos dan hibah serta belanja daerah ditemukan 135 kasus, dan ditemukan pula ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak 106 kasus, dan khusus di Provinsi Jawa Barat, hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun 2013, menunjukkan bahwa di dalam pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban bansos dan hibah serta belanja daerah ditemukan 76 (tujuh puluh enam) kasus dari 4 (empat) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kuningan dan Kota Bogor serta Kota Cirebon. Disebutkan pula mengenai ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan ditemukan 58 kasus di ke 4 (empat) kabupaten/kota tersebut.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK Semeter II Tahun 2013 tersebut, terungkap banyak kasus mengenai pengelolaan dan pertanggung jawaban bansos dan hibah, dan juga kasus mengenai ketidak patuhan pelaksana belanja bansos dan hibah terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa belanja bansos dan hibah masih banyak menimbulkan masalah administrasi bahkan masalah hukum, khususnya hukum pidana, yang dibuktikan dengan banyaknya perjabat pengelola belanja bansos dan hibah yang menjadi tersangka dan terpidana.
Berdasarkan uraian kasus-kasus penyalahgunaan pengelolaan dan penyaluran dana bansos dan hibah sebagaimana tersebut di atas, menunjukkan bahwa pada dasarnya pengelolaan dana bansos dan hibah, banyak menimbulkan masalah, akibat dari tidak profesionalnya pejabat pengelola karena tidak menjalankan sistem pengendalian internal dan tidak patuh terhadap pedoman pengelolaan dana bansos dan hibah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu lemahnya pengawasan juga memberikan andil besar terhadap adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaan dana bansos dan hibah.

D.        Analisa Kasus
Berdasarkan deskripsi kasus sebagaimana tersebut di atas, di dalam sub bab ini akan dianalisa permasalahan hukum yang timbul dikaitkan dengan teori-teori dalam Bab II, sehingga analisa kasus ini terdiri dari 3 (tiga) pokok permasalahan sebagaimana telah dijelaskan di dalam Bab I, yaitu :
1.         Analisa tentang sejauh mana efektivitas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, khususnya tentang pengawasan dalam pengelolaan dan penyaluran dana bansos.
Bantuan sosial dan hibah merupakan 2 (dua) rekening belanja yang pasti dianggarkan di dalam APBD seluruh kabupaten/kota di republik ini. Sifat dari pada dana bansos dan hibah ini adalah pemberian sukarela dari pemerintah daerah kepada masyarakat perorangan atau kelompok atau lembaga, instansi tertentu yang memenuhi syarat, tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan. Pemberian dana bansos dan hibah adalah Cuma-Cuma, sehingga di dalam praktiknya muncul berbagai kepentingan, yang seharusnya hanya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tetapi berkembang pula kepentingan politik di dalamnya.
Berdasarkan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permendagri 21 Tahun 2011, pemberian bantuan hibah dan Bantuan Sosial tersebut diperbolehkan. Namun secara spesifik baru diatur dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian hibah Dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 39 Tahun 2012 (selanjutnya disebut Permendagri Hibah dan Bansos).
Baik hibah maupun bansos yang berupa uang dianggarkan ke dalam jenis belanja tidak langsung atau belanja yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan pemerintah daerah (Pasal 11 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) Permendagri Hibah dan Bansos) atau dapat juga dianggarkan pada belanja langsung (terkait secara langsung dengan kegiatan pemerintah daerah) apabila dianggarkan dalam bentuk pembelian barang atau kegiatan berupa jasa (Pasal 11 ayat (3) jo Pasal 30 ayat (3) Permendagri Hibah dan Bansos).
Hibah dapat diberikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, perusahaan daerah, masyarakat dan/atau organisasi kemasyarakatan (Pasal 5 Permendagri Hibah Bansos), dalam rangka menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah atau menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Sementara bansos dapat diberikan kepada anggota/kelompok masyarakat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Termasuk ke dalam pengertian anggota/kelompok masyarakat adalah individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil dan lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial (Pasal 22 ayat (1) jo Pasal 23 Permendagri 32/2011). Risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, bencana, atau fenomena alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar (Pasal 1 angka (16) Permendagri 32/2011).
Adapun mengenai dasar filosofi diterbitkannya Permendagri 23/2011, sesuai dengan konsideran menimbang huruf (a) Permendagri tersebut adalah dalam rangka pembinaan terhadap pengelolaan hibah dan bantuan sosial agar tercipta tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu disusun pedoman kepada pemerintah daerah. Selain itu secara teknis diterbitkannya permendagri tersebut juga karena akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar, masyarakat/kelompok masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Lahirnya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, adalah karena belum jelasnya aturan tentang pelaksanaan hibah dan Bantuan Sosial di Daerah serta banyaknya permasalahan hukum yang disebabkan karena ketidakjelasan dan ketidak tegasan aturan hukum tentang hibah dan bansos tersebut. Di samping itu, bantuan sosial dan hibah cenderung dicurigai untuk disalahgunakan dengan “kreatif” untuk politik pencitraan oleh kepala daerah/wakil, terutama Kepala Daerah In-cumbent yang mencalon kembali dalam ajang pemilukada untuk periode ke 2. Bisa juga disalahgunakan untuk para tim sukses yang dianggap telah berjasa dan “berkeringat” dalam menggolkan kepala daerah/wakil yang sedang menjabat.
Berbagai praktik modus yang digunakan melalui penganggaran dalam APBD, mulai dari proses seleksi administrasi yang tidak dilaksanakan dengan baik, baik dilakukan dengan sengaja atau tidak, sampai dengan pengawasan yang tidka efektif, sehingga peruntukannya banyak yang tidak tepat sasaran. Walaupun sebenarnya banyak masyarakat dan organisasi kemasayarakatan yang memang sangat membutuhkan bantuan tersebut secara riil dan rasional.
Apabila dasar filosofi diterbitkannya Permendagri 32/2011 dikaitkan dengan teori negara kesejahteraan, maka Permendagri 32/2011 merupakan pengejawantahan peran dan fungsi negara untuk mensejahterakan masyarat. Kesejahteraan rakyat merupakan amanat UUD 1945. Melalui Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan dari negara/pemerintah diberikan landasan hukum yang jelas. Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, dasar ekonomi nasional ditujukan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Kesejahteraan dimaksudkan bukan untuk perseorangan, kelompok atau golongan tertentu. Sebab itu perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Khusus di bidang kesejahteraan rakyat, pemerintah mempunyai kewajiban hukum berdasarkan konstitusi (UUD 1945) untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantas dan mengembangkan sistem jaminan sosial.
Sebagai wujud implementasi dari teori negara kesejahteraan tersebut, negara melalui pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pengaturan terhadap pelaksanaan kesejahteraan rakyat dengan cara membentuk peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial, di antaranya adalah Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan khusus untuk pengaturan teknis belanja hibah dan bansos, termasuk perencanaan dan penganggarannya, pemerintah telah menundangkan Undang-undang No. 17 tentang Keungan Negara; Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keunangan Daerah; Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Maksud dari diterbitkannya peraturan perundang-undangan tersebut di atas, agar belanja hibah dan bansos, dapat dikelola dan disalurkan sesuai dengan kebutuhan, tujuan dan peruntukkannya, lebih spesifik lagi belanja hibah dan bansos benar-benar disalurkan kepada masyarakat/kelompok yang membutuhkan dan tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu berdasarkan teori negara kesejahteraan tersebut, pemerintah telah menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengatur dan pengawas pembangunan, khususnya pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Dengan terbitnya Permendagri 32 Tahun 2011 jo perubahannya Permendagri 39/2012 ini pemberian hibah dan bantuan sosial, sangat ketat sekali. Semua hibah dan bantuan sosial harus terencana dari awal pada tahun sebelumnya melalui pembahasan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA PPAS) yang dibahas bersama DPRD pada bulan Juni tahun sebelumnya. Setiap calon penerima hibah maupun bantuan sosial harus mengajukan permohonan kepada kepala daerah, kemudian kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) melakukan evaluasi dan pengkajian kelayakan diberikan bantuan, kemudian direkomendasikan ke tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) untuk dipertimbangkan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, jika disetujui untuk dianggarkan oleh kepala daerah, itulah yang akan jadi dasar pencantuman alokasi anggaran hibah dan bantuan sosial dalam rancangan KUA dan PPAS yang akan dibahas bersama DPRD pada Juni tahun sebelumnya. Setelah dibahas bersama TAPD dan Banggar (Badan Anggaran) DPRD, maka dicantumkanlah semua nama-nama calon penerima yang jelas (by name by adress) dalam rencana kegiatan anggaran (RKA) yang selanjutnya dimasukkan dalam RAPBD.
Namun demikian berdasarkan Permendagri 39/2012 tentang perubahan Permendagri 32/2011, dalam Pasal 23 A, menyebutkan bahwa bantuan sosial berupa uang kepada individu dan/atau keluarga, terdiri dari bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga yang direncanakan dan yang tidak dapat direncanakan sebelumnya. Pasal 23 A tersebut merupakan aturan baru yang tercantum dalam Permendagri 39/2012, sebelumnya di dalam Permendagri 32/2011 tidak dikenal isilah bansos kepada individu/masyarakat yang tidak direncanakan. Bansos model ini dialokasikan untuk kebutuhan risiko sosial yang tidak dapat diperkirakan pada saat penyusunan APBD, yang apabila ditunda penanganannya akan menimbulkan risiko sosial yang lebih besar bagi individu dan/atau keluarga bersangkutan.
RAPBD yang di dalamnya terdapat anggaran bansos, kemudian dibahas kembali bersama DPRD untuk disepakati menjadi Perda dan dijabarkan dalam peraturan kepala daerah (Perkada) tentang APBD untuk dijalankan pada 1 Januari tahun berikutnya. Setelah disetujui oleh DPRD, perda dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk daerah propinsi dan oleh gubernur untuk daerah kabupaten/kota. Setelah dievaluasi Menteri Dalam Negeri atau Gubernur, maka nama-nama yang tercantum dalam calon penerima hibah dan Bantuan Sosial yang tertera dalam APBD, Kepala Daerah menetapkan daftar penerima dan besaran bantuan sosial  dengan Keputusan Kepala Daerah berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. Penyaluran dan/atau penyerahan bansos didasarkan pada daftar penerima bantuan sosial yang tercantum dalam keputusan kepala daerah, kecuali bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga yang tidak dapat direncanakan sebelumnya.
Khusus penerima hibah juga harus membuat Naskah Perjanjian hibah Daerah (NPHD) yang dibuat bersama Penda/SKPD terkait serta tanggungjawab mutlak dan pakta integritas penerima hibah. Penerima hibah dan bansos juga harus mempertanggungjawabkan bantuan yang diterimanya sesuai peruntukan yang telah disetujui paling lambat tanggal 10 Januari tahun berikutnya, dan termasuk dalam objek pemeriksaan Interen (Inpektorat/BPKP) maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berdasarkan proses dan prosedur pengelolaan dan penyaluran belanja hibah dan bansos, maka terlihat sekali panjangnya arus birokrasi yang mesti dilalui oleh calon penerima bantuan hibah atau bansos. Dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri dan KPK, telah berupaya sungguh-sungguh dalam mengantisipasi penyalahgunaan hibah dan bansos ini. Bantuan hibah dan bansos yang tidak sesuai peruntukkan atau khususnya yang akan digunakan oleh Kepala Daerah untuk kepentingan politik, relatif dapat dikendalikan dengan Permendagri 32 Tahun 2011 ini, namun tidak mutlak sifatnya, karena walaupun sudah diatur sedemikian rupa dengan Permendagri 32/2011 dan 39/2012, masih saja banyak pelanggaran pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos untuk kepentingan politik di daerah.
Penerima hibah dan bansos juga diikat oleh wilayah. Hanya yang dapat diberikan bantuan adalah yang berada dalam wilayah kerja pemda setempat. Hal ini akan menjadi kendala, contoh: bila terjadi musibah di suatu daerah tetangga yang berbatasan langsung, ditambah lagi syarat penerima hibah memiliki kepengurusan yang jelas, telah terdaftar pada pemda setempat sekurang-kurangnya 3 tahun, berkedudukan di wilayah administrasi pemda yang bersangkutan dan memiliki sekretariat tetap.
Terbitnya Permendagri 32/2011 yang disusun Kementerian Dalam Negeri dan melibatkan KP,  adalah untuk menghindari politisasi bantuan hibah dan bansos oleh Kepala Daerah. Bahkan sempat menjadi “kecemburuan politik” dari DPRD, karena penentuan siapa yang akan dibantu, berapa nilainya menjadi otoritas dari Kepala Daerah. DPRD hanya sebagai penentu plafon besaran anggaran hibah dan bansos, sehingga terjadi negosiasi dari DPRD dan Kepala Daerah untuk menganggarkan “dana aspiratif”, “dana kreasi”, “dana jaring asmara” dan istilah lain yang tujuannya adalah mengakomodir permintaan masyarakat/ konstituen anggota DPRD yang duduk di DPRD.
Terbitnya Permendagri 32 Tahun 2011, bukan berarti Pemberian bansos tidak lagi rentan disalah gunakan. Peluang itu justur semakin lebar. Dengan dilibatkannya DPRD dalam menganggarkan hibah dan bansos sejak dari pembahasan KUA PPAS, kemungkinan penganggaran hibah dan bansos menjadi objek politisasi.
Kecenderungan untuk menjadikan hibah dan bansos sebagai objek politisasi pada saat pembahasan penganggarannya di DPRD, anggota dewan yang nota bene adalah tokoh masyarakat atau pembina atau ketua suatu organisasi kemasyarakat, atau anggota atau simpatisan suatu organisasi, akan berusaha memobilisasi pembuatan proposal bantuan hibah dan bansos, dan mempertaruhkan diri untuk memperjuangkan kepentingan organisasi/kelompok masyarakat tertentu untuk mendapatkan bantuan, maka penentuan plafon dan penerima hibah dan bansos dalam pembahasan KUA PPAS dan RAPBD akan semakin alot, dan anggaran akan tersedot lebih besar untuk hibah dan bansos. Untuk itu diperlukan batasan berapa persen hibah dan bansos bisa dianggarkan dalam APBD suatu daerah. Kalau tidak ada aturan yang jelas, maka anggaran pelayan publik yang diselenggarakan oleh SKPD akan tersedot hanya untuk memenuhi kebutuhan hibah dan bansos yang telah dipolitisasi melalui mekanisme kebijakan anggaran dalam pembahasan anggaran di DPRD. Untuk itu diperlukan Eksekutif dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang kuat dan mampu menganalisa dan kemampuan untuk merasionalkan anggaran, disamping kuat terhadap terpaan “badai politik” yang akan dialami dalam pembahasan anggaran di DPRD. Persoalan ini juga akan menjadi salah satu penyebab keterlambatan pembuatan APBD di Daerah.
Berdasarkan uraian permasalahan atau kendala atau juga kasus-kasus yang ada sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab A di atas, semakin menunjukkan bahwa Permendagri 32/2011 jo 39/2012 di dalam pelaksanaannya belum efektif. Padahal peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun dalam realitasnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena undang-undang kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan/atau masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Apabila undang-undang itu dilaksanakan dengan baik, maka undang-undang itu dikatakan efektif.
Menurut Anthony Allot :
Hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang, jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berada, hukum akan sanggup menyelesaikannya”
Berdasarkan teori efektivitas hukum sebagaimana telah disinggung di atas, maka pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan yang efektiv, ditinjau dari sisi keberhasilan dalam pelaksanaan hukum, kegagalan dalam pelaksanaannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Selain itu berdasarkan asas peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (d), Permendagri 32/2011, seharusnya memenuhi asas dapat dilaksanakan di dalam pembentukannya. Lebih lanjut yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pemberntukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis.
Apabila dikaji Permendagri 32/2011 jo 39/2012 berdasarkan teori efektivitas hukum, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
a.         Keberhasilan dalam Pelaksanaan Hukum
Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat telah tercapai maksudnya. Filosofinya adalah apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Maksud dibuatnya Permendagri 32/2011 jo 39/2012 adalah untuk memberikan landasan hukum pengelolaan dan penyaluran hibah dan bansos bersumber APBD agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemberiannya, dan tidak ada penyimpangan-peyimpangan dalam pengelolaannya oleh pemerintah daerah maupun oleh penerima dana hibah dan bansos. Namun dalam praktiknya atau pelaksanaannya, justru menunjukkan hal sebaliknya, karena banyak sekali pelanggaran-pelanggaran proses atau prosedur yang telah ditetapkan dalam Permendagri 32/2011, baik yang berindikasi pelanggaran administrasi, maupun pidana. Berdasarkan contoh kasus-kasus yang ada dan pernah terjadi sebagaimana telah diuraikan di atas, termasuk data dan temuan dari BPK mengenai kasus-kasus dalam pengelolaan dan penyalruan dana hibah dan bansos, maka dapat dikatakan bahwa maksud dan tujuan dibentuknya Permendagri 32/2011 jo 39/2012 belum tercapai, oleh karena itu keberhasilan dalam pelaksanaan hukum juga belum tercapai.
b.        Kegagalan dalam Pelaksanaan Hukum
Kegagalan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil di dalam implementasinya. Apabila dikaitkan dengan permasalahan hukum a quo, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan hukum tentang hibah dan bansos dalam Permendagri 32/2011 mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, karena di dalam praktiknya, baik dari pihak pengelola dan penyalur dana hibah dan bansos, maupun dari penerima dana hibah dan bansos yang tidak taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hibah dan bansos. Banyaknya kasus-kasus dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos yang terjadi, baik yang berindikasi pelanggaran adminitrasi maupun pidana menunjukkan bahwa Permendagri 32/2011 telah gagal dalam implementasinya.
c.         Faktor-faktor yang mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faltor yang mempengaruhi dapat dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya. Dari aspek keberhasilannya, Permendagri 32/2011, telah memberikan pedoman pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos. Bagi pemerintah daerah, keberadaan Permendagri 32/2011 membuat pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos transparan dan akuntabel serta dapat dipertanggung-jawabkan, lebih jauh lagi dapat menguatkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sementara bagi penerima dana hibah dan bansos, dibebankan pertanggungjawaban atas penggunaan dana hibah atau bansos tersebut, dengan konsekuensi hukum pengenaan sanksi administratif, apabila penggunaan dana hibah dan bansos tidak sesuai dengan permohonan atau proposal. Dari aspek kegagalannya, adanya Permendagri 32/2011 tetap dapat membuat peluang pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaannya, baik yang berindikasi administrasi maupun pidana. Hal ini dikarenakan, fungsi pengawasan yang masih lemah. Fungsi pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan mulai dari seleksi administrasi, penganggaran, penetapan penerima, sampai dengan pelaksanaann dan penyalurannya. Dengan demikian pengawasan bukan terbatas pada saat setelah dana hibah atau bansos disalurkan. Sejatinya pengawasan berfungsi sebagai upaya prefentif, agar pelanggaran-pelanggaran administrasi atau pelanggaran hukum lainnya tidak terjadi. Lemahnya pengawasan ini juga menjadi perhatian dan temuan dari BPK sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab di atas. Lemahnya pengawasan sering disebutkan di dalam hasil laporan semeter II tahun 2013 oleh BPK. Oleh karena itu lemahnya pengawasan ini harus segera ditindaklanjuti dan/atau diperbaiki.
Berkaitan dengan fungsi pengawasan, menurut teori pengawasan, pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Menurut definisi tersebut tidak disajikan tujuan proses pengamatan, melainkan tujuan akhir dari pengawasan itu sendiri, yaitu untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Artinya pengawasan dilakukan atas pelaksanaan rencana kegiatan, dan tidak hanya pengawasan setelah kegiatan berakhir.
Sesuai dengan jenis pengawasan, maka pengawasan itu sendiri terdiri dari pengawasan interen dan ekstern, pengawasan prefentif dan represif, pengawasan aktif dan pasif serta pengawasan berdasarkan kebenaran formil dan materil.
1)     Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan. Pengawasan jenis ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap kementerian dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah di Indonesia. Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun;
2)     Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan. Pengawasan ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan;
3)     Pengawasan aktif dilakukan sebagai bentuk pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan. Pengawasan pasif merupakan pengawasan yang dilakukan melalui penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggung jawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran;
4)     Pengawasan berdasarkan kebenaran formil (rechmatigheid) merupakan pengawasan yang dilakukan terhadap setiap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan kebenarannya didukung dengan bukti yang ada. Sedangkan pengawasan berdasarkan kebenaran materil (doelmatigheid) merupakan pengawasan terhadap setiap pengeluaran apakah telah sesuai dengan tujuan dikeluarkan anggaran dan telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin.
Apabila semua jenis pengawasan ini dilaksanakan oleh pengawas interen pemerintah, maupun ekseteren seperti BPK atau BPKP, maka dapat dipastikan akan berkorelasi dengan terkendalinya pelanggaran atau kasus dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos. Namun demikian, semua bentuk pengawasan apapun tidak akan berjalan dengan semestinya, apabila aparat pengawasnya tidak jujur dan bersih serta mau melakukan kolusi, nepotisme dan tindakan koruptif. Diperlukan komitmen yang kuat dari para pelaksana pengelolaan dana hibah dan bansos untuk menjalankan asas-asas pemerintahan yang baik dalam setiap melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Berdasarkan analisa permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Permendagri 32/2011 jo 39/2012 belum efektif di dalam pelaksanaannya.
2.         Pertanggung jawaban Gubernur atau kepala daerah atas pengelolaan dan penyaluran dana bansos yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan
Berdasarkan teori kewenangan sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II dan sub bab di atas, Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, Gubernur memiliki kekuasaan di daerah provinsi berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 3 Tahun 2005 dan terakhir dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 24 ayat (2) UU Pemda menyebutkan bahwa Kepala Daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota disebut walikota. Berdasarkan UU Pemda tersebut dibagilah urusan pemerintah, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Berdasarkan 7 ayat (2) hururf (v) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupate/kota, menyebutkan bahwa urusan wajib pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota salah satunya mengenai kewenangan di bidang sosial. Lebih lanjut Pasal 24 UU Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, dan tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilaksanakan untuk tingkat provinsi oleh Gubernur.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Gubernur mendapatkan kewenangan untuk mengelola atau menyelenggarakan kesejahteraan sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, kewenangan gubernur dalam melaksanakan kesejahteraan sosial lahir atas dasar undang-undang.
Sebagai bentuk dari pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial, dan dalam rangka menanggulangi risiko sosial, maka Menteri Dalam Negeri membentuk Permendagri 32/2011 dan perubahannya Permendagri 39/2012. Berdasarkan Permendagri 32/2011 tersebut Gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola dan menyalurkan dana hibah dan bansos kepada individu/masyarakat/kelompok, instansi, pemerintah dan badan usaha milik daerah. Kewenangan gubernur tersebut merupakan kewenangan atribusi yang didapat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai kewenangan akan terkait dengan pertanggung-jawaban pemerintah. Pertanggung-jawaban lahir karena adanya kewenangan. Mengenai hal ini dipertegas dengan pendapat J.J. van DerGouw, yang pada pokoknya mengatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang memiliki tugas pemerintahan (kewenangan) digolongkan sebagai badan hukum yang dapat dimintai pertanggung-jawaban, baik secara administrasi maupun secara perdata, apabila melakukan perbuatan melawan hukum.
Secara umum pengertian Tanggung Jawab Pemerintahan adalah kewajiban penataan hukum (compulsory compliance) dari negara atau pemerintah atau pejabat pemerintah atau pejabat lain yang menjalankan fungsi pemerintahan sebagai akibat adanya suatu keberatan, gugatan, judicial review, yang diajukan oleh seseorang, masyarakat, badan hukum perdata baik melalui penyelesaian pengadilan atau di luar pengadilan untuk pemenuhan berupa: (a) pembayaran sejumlah uang (subsidi, ganti rugi, tunjangan, dan sebagainya); (b) menerbitkan atau membatalkan/mencabut suatu keputusan atau peraturan, dan; (c) tindakan-tindakan lain yang merupakan pemenuhan kewajibannya, misalnya untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif dan efisien, mencegah adanya bahaya bagi manusia maupun lingkungan, melindungi harta benda warga, mengelola dan memelihara sarana dan prasarana umum, mengenakan sanksi terhadap suatu pelanggaran dan sebagainya.
Secara administrasi negara, pertanggung jawaban muncul karena ada wewenang. Wewenang ini karena ada kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada 3 (tiga) macam wewenang, yaitu wewenang tradisional; wewenang karismatik; dan wewenang legal rational. Wewenang yang ke 3 (tiga) ini yang menjadi dasar wewenang pemerintah. Kemudian dalam perkembangannya muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggung-jawaban pemerintah ini, dapat diartikan sebagai pertanggung jawaban sebagai akuntabilitas, yaitu kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas, program kerja maupun kebijakan-kebijakannya. Berkaitan dengan pengelolaan dana hibah dan bansos, maka pertanggung jawaban sebagai akuntabilitas ini digunakan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik itu ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal atau apakah ada penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien, tidak prosedural.
Apabila ditemukan adanya penyimpangan, atau pelanggaran terhadap proses atau prosedur yang telah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan suatu program pemerintah, maka pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah melanggar undang-undang dan pastinya juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan penjelasan di atas, dan apabila dikaitkan dengan permasalahan hukum mengenai pertanggung jawaban dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos yang bersumber APBD, maka siapakah yang dapat dimintakan pertanggung jawaban dalam hal terdapat pelanggaran atau ketidak patuhan terhadap Permendagri 32/2011 jo 39/2012, apakah Gubernur atau kepala daerah dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum ?.
Untuk menjawab siapa yang dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum, perlu dikemukakan terlebih dahulu kewenangan dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait di dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos bersumber APBD berdasarkan Permendagri 32/2011 jo 39/2012.
Berdasarkan Permendagri 32/2011 dan 39/2012 jo Pergub Provinsi Jawa Barat No. 55 Tahun 2011 (selanjutnya disebut Pergub 55/2011), pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan dan penyaluran dana hibah dan bansos serta kewenangannya adalah sebagai berikut:
a.     Kepala Daerah/Gubernur berwenang :
1)     Menerima usulan hibah atau bansos secara tertulis dari calon penerima belanja hibah dan bansos;
2)     Menunjuk SKPD terkait untuk melakukan evaluasi terhadap usulan tertulis hibah dan bansos;
3)     Mencantumkan daftar penerima, alamat penerima dan besaran hibah atau bansos
4)     Menandatangani NPHD atau dapat menunjuk pejabat lain untuk menandatangani NPHD;
5)     Menerima hasil evaluasi berupa rekomendasi SKPD terkait evaluasi usulan tertulis dari pemohon bansos, melalui TAPD;
6)     Menerima hasil pertimbangan TAPD terkait rekomendasi SKPD atas hasil evaluasi usulan tertulis dari pemohon hibah dan bansos;
7)     Menetapkan persetujuan atau penolakan DNC PBH atau DNCP BBS berdasarkan hasil evaluasi SKPD dan pertimbangan TPAD
8)     Menuangkan persetujuan terhadap DNC PBH dalam bentuk lembar persetujuan Gubernur;
9)     Menetapkan daftar penerima hibah beserta besaran uang atau jenis barang atau jasa yang akan dihibahkan dengan keputusan daerah berdasarkan Perda tentang APBD dan Perda tentang Penjabaran APBD;
10)  Menetapkan daftar penerima bansos dan besaran bansos dengan keputusan Gubernur berdasarkan Perda tentang APBD dan Penjabaran APBD;
11)  Memberikan persetujuan pencairan dana hibah berdasarkan nota persetujuan yang diajukan oleh PPKD;
12)  Menerima laporan penggunaan hibah berupa uang atau barang/jasa dari penerima hibah melalui PPKD dengan tembusan SKPD terkait;
13)  Menerima permohonan pencairan belanja hibah dari penerima belanja hibah melalui unit kerja yang melaksanakan fungsi surat masuk dengan tembusan kepada Biro keuangan;
14)  Menerima laporan hasil audit akuntan publik atas belanja hibah berupa uang dan barang atau jasa dengan nilai di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) melalui Inspektorat Provinsi Jawa Barat atau SKPD dengan tembusan disampaikan kepada Biro Administrasi Pembangunan
15)  Menerima laporan penggunaan bansos berupa uang, barang/jasa dari penerima bansos melalui SKPD dengan tembusan SKPD terkait;
16)  Menerima hasil monitoring dan evaluasi dari SKPD dengan tembusan SKPD pengawasan;
17)  Menerapkan sanksi administratif melalui Biro Administrasi Pembangunan dan SKPD terkait.
b.     Unit kerja yang melaksanakan fungsi surat masuk pada Sekda Provinsi, berwenang :
1)     Mencatat usulan tertulis yang dilampiri perysratan administrasi dan dokumen proposal belanja hibah dan mencatat surat permohonan, proposal dan persyaratan administrasi belanja bansos;
2)     Melakukan seleksi terhadap permohonan dan dokumen proposal belanja hibah, dan bansos apabila ditemukan ketidaksesuaian antara permohonan dengan dokumen proposal, maka surat permohonan dan dokumen proposalnya dikembalikan kepada Pemohon Hibah atau bansos;
3)     Meneruskan surat permohonan dan dokumen proposal belanja hibah atau bansos yang telah memenuhi persyaratan administratif kepada Gubernur;
c.      SKPD atau satuan kerja perangkat daerah terkait, berwenang :
1)     Melakukan evaluasi keabsahan, kelengkapan persyaratan permohonan hibah atau bansos, berdasarkan pedoman kepala SKPD. Evaluasi dilakukan oleh Tim Evaluasi yang bertanggung jawab kepada SKPD;
2)     Menyampaikan hasil evaluasi tersebut di atas berupa rekomendasi kepada Kepala Daerah/Gubernur melalui TAPD;
3)     Menganggarkan belanja hibah atau bansos berupa barang atau jasa dalam program belanja langsung;
4)     Melakukan pengadaan barang atau jasa sesuai DPA SKPD untuk belanja hibah atau bansos berupa barang atau jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang atau jasa pemerintah;
5)     Memberitahukan penerima hibah atau bansos untuk membuat atau menyesuaikan proposal/permohonan sesuai dengan besaran belanja hibah atau bansos yang ditetapkan DPA;
6)     Menyerahkan belanja hibah atau bansos barang atau jasa kepada Penerima Belanja Hibah, setelah persyaratan dilengkapi;
7)     Menyampaikan rekapitulasi penerimaan laporan penggunaan belanja hibah atau bansos kepada Biro Administrasi dan Pembangunan;
8)     Melakukan penagihan laporan kepada penerima belanja hibah;
d.     TAPD atau Tim Anggaran Pemerintah Daerah, berwenang ;
1)     Memberikan pertimbangan atas rekomendasi dari SKPD, sesuai dengan prioritas dan kemampuan keuangan daerah yang dituangkan dalam daftar nominatif calon penerima hibah (DNC PBH) atau daftar nominatif calon penerima belanja bantuan sosial (DNCP BBS);
2)     Menyampaikan hasil pertimbangan disertai DNC PBH atau DNCP BBS kepada Gubernur;
e.     PPKD atau Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, berwenang :
1)     Menganggarkan belanja hibah berupa uang dalam kelompok belanja langsung;
2)     Menganggarkan belanja hibah berupa uang dalam kelompok belanja tidak langsung;
3)     Mengajukan Nota persetujuan pencairan dana hibah atu bansos kepada Gubernur;
4)     Memerintahkan kepada Bendahara Belanja Hibah atau bansos untuk membuat Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) berdasarkan persetujuan Gubernur;
5)     Menerbitkan surat perintah membayar, apabila dokumen persyaratan pencairan dinyatakan lengkap;
6)     Mencatat realisasi belanja hibah atau bansos pada laporan keuangan daerah dalam tahun anggaran berkenaan;
7)     Mencatat belanja hibah berupa uang sebagai realisasi jenis belanja hibah pada PPKD dalam tahun anggaran berkenaan dan melakukan pencatat;
f.       Kuasa Bendahara Umum, berwenang :
Menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), setelah SPM diterbitkan;
g.     Penerima Hibah atau bansos, berwenang :
1)     Mengajukan usulan secara tertulis atau permohonan tertulis belanja hibah atau bansos, dengan melampirkan persyaratan-persyaratan administrasi;
2)     Mengajukan permohonan pencairan belanja hibah atau bansos kepada Gubernur melalui unit kerja yang berfungsi melaksanakan surat masuk di Sekretarian Daerah Provinsi Jawa Barat dengan melampirkan perysratan administrasi dengan tembusan Biro Keuangan
3)     Menerima belanja hibah dan bansos dan menggunakannya sesuai dengan NPHD atau sesuai dengan proposal yang diajukan;
4)     Dilarang mengalihkan hibah atau bansos kepada pihak lain;
5)     Melaporkan penggunaan dana hibah dan dana bansos sesuai dengan waktu yang telah ditentukan;
Berdasarkan penjelasan mengenai kewenangan masing-masing pihak dalam proses pemberian belanja hibah atau bansos, maka dapat dikemukakan bahwa Kepala daerah/Gubernur sesuai dengan Kepmendagri 32/2011 jo Pergub 55/2011 bertindak sebagai manajer yang mengatur proses belanja hibah dan bansos dengan mendistribusikan kewenangan kepada SKPD, PPKD dan TAPD.
Dalam hal ini SKPD berperan penting dalam menentukan dapat atau tidaknya belanja hibah atau bansos diberikan kepada penerima belanja hibah atau bansos, karena SKPD melalui tim evaluasi bertugas melaksanakan evaluasi keabsahan, kelengkapan persyaratan permohonan hibah atau bansos serta melakukan penelitian dan/atau peninjauan lapangan untuk menguji keabsahan dan kelengkapan permohonan dan hasil evaluasi tersebut dituangkan dalam bentuk rekomendasi dan disampaikan kepada Gubernur melalui TAPD. Dalam hal ini TAPD juga memberikan pertimbangan atas rekomendasi SKPD.  Rekomendasi SKPD dan pertimbangan TAPD menjadi dasar disetujui atau ditolaknya Daftar Nominatif Calon Penerima Belanja Hibah (DNC PBH) atau Daftar Nominatif Calon Penerima Belanja Bantuan Sosial (DNCP) BBS oleh Gubernur.
Tanpa adanya rekomendasi dan pertimbangan dari SKPD dan TAPD, Gubernur tidak mungkin memberikan persetujuan DNC PBH dan BBS. Dengan demikian apabila pelanggaran terjadi pada tahap ini, seperti contoh keabsahan dan kelengkapan administrasi calon penerima hibah atau bansos tidak diverifikasi dengan benar atau sengaja tidak diverifikasi sama sekali, atau secara administrasi berdasarkan evaluasi tim evaluasi, calon penerima hibah atau bansos tidak memenuhi syarat untuk diberikan bantuan hibah atau bansos, karena identitas tidak jelas dan tidak berdomisili di wilayah provinsi atau kabupaten/kota tersebut atau calon penerima hibah atau bansos ternyata fiktif, individu, masyarakat/lembaga penerima, alamatnya sama, atau individu/lembaga penerima merupakan afiliasi dari pejabat daerah (keluraga atau kerabat), atau penerima hibah atau bansos tanpa didukung proposal, tetapi calon penerima hibah atau bansos tersebut tetap dimasukkan dalam DNC PBH atau BBS oleh SKPD.
Di dalam konteks tanggung jawab hukum administrasi negara, tolok ukur untuk menentukan sifat melawan hukum dari suatu tindakan administrasi negara, paling tidak ditentukan oleh dua hal, yaitu pertama apakah administrasi negara tersebut telah menjalankan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Kedua apakah administrasi negara tersebut telah menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good corporate governance), dalam menjalankan kewenangannya tersebut. Dalam hal ini SKPD telah melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan, karena tidak menjalankan kewenangannya berdasarkan Permendagri 32/2011 jo Pergub 55/2011 dan juga tidak menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dalam hal ini adalah asas profesionalitas, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.
TAPD juga dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum, apabila di dalam memberikan pertimbangan atas rekomendasi SKPD mengetahui, bahwa hasil evaluasi tim evaluasi adalah tidak benar, tetapi tetap memberikan pertimbangan dan memasukkan calon penerima hibah atau bansos di dalam DNC PBH dan BBS. Dalam hal ini TPAD juga telah melanggar kewajiban hukumnya berdasarkan Permendagri 32/2011 jo Pergub 55/2011, dan juga telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Gubernur tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum, atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh SKPD, baik yang berindikasi administrasi maupun pidana, karena sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Gubernur bertindak berdasarkan rekomendasi dan pertimbangan dari SKPD maupun TAPD.
Selain itu di dalam beberapa kasus ditemukan adanya penggunaan dana hibah atau bansos untuk kepentingan politik kepala daerah sebagai petahana yang maju kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah, atau dengan perkataan lain Gubernur dengan jabatannya berusaha secara aktif menentukan atau mempengaruhi DNC PBH dan BBS, termasuk menilai besaran belanja hibah atau bansos yang akan ditetapkan dalam APBD. Gubernur dengan menggunakan dana hibah dan bansos untuk kepentingan afiliasi dari kepala daerah bersangkutan, dengan cara memberikan belanja hibah atau bansos kepada individu, masyarakat atau kelompok masyarakat yang masih berafiliasi dengan Gubernur, dan lembaga non pemerintah yang dimiliki oleh keluarga atau kerabat pejabat atau kepala daerah. Dalam hal ini, apabila tim evaluasi SKPD menemukan fakta ini, tetapi tetap memproses dengan memberikan rekomendasi agar DNC PBH dan BBS disetujui, maka SKPD dan kepala daerah bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum tersebut, baik secara administrasi maupun secara pidana.
Pada tahap penganggaran rentan terhadap praktik mark up belanja hibah atau bansos yang dilakukan oleh PPKD maupun SKPD, dengan memanfaatkan kewenangan SKPD dalam mengevaluasi keabsahan dan kelengkapan persyaratan permohonan belanja hibah atau bansos. Dalam tahap evaluasi ini, dana belanja hibah atau bansos berdasarkan permohonan digelembungkan, tetapi yang dicairkan kepada penerima belanja hibah atau bansos lebih sedikit dari permohonannya. SKPD dan/atau PPKD bertanggung jawab atas pelanggaran prosedur belanja hibah atau bansos ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertanggung jawaban hukum, hanya dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan belanja hibah atau bansos, hanya apabila pihak-pihak tersebut melakukan penyimpangan dalam proses pengelolaannya, dan tanggung jawab hukum tersebut terbatas pada pihak-pihak yang melakukan penyimpangan atas dasar kewenangan atau tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya, dan tidak dapat menjangkau pihak-pihak lainnya, hanya apabila pihak-pihak lainnya melaksanakan tugas pokok dan fungsinya atas dasar laporan atau pertimbangan atau rekomendasi dari pihak lainnya.






BAB IV
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Berdasarkan analisa permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.         Permendagri 32/2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD merupakan landasan hukum pengelolaan, penyaluran dan pemberian belanja hibah dan bansos. Di Provinsi Jawa Barat, aplikasi terhadap Permendagri 32/2011 diterapkan dalam Pergub No. 55 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan, Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Peraturan perundang-undangan tersebut di dalam praktiknya selama ini sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif, oleh karena itu keberhasilan dan pelaksanaan hukum dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang belanja hibah dan bansos belum tercapai maksudnya atau pelaksanaannya hukumnya gagal dalam implementasi. Kegagalan dalam pelaksanaan hukum atas peraturan perundang-undangan tersebut dipengaruhi dari berbagai aspek. Disamping aspek keberhasilan dari maksud dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu untuk memberikan landasan hukum belanja hibah dan bansos agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemberiannya, aspek kegagalan-pun menjadi faktor dominan yang mempengaruhi efektivitas peraturan tersebut. Lemahnya pengawasan merupakan faktor penting yang memberi andil terhadap kegagalan sistem dalam belanja hibah dan bansos, karena pengawasan yang diatur dalam Permendagri 32/2011 dan Pergub 55/2011, dalam pelaksanaannya hanya pengawasan setelah belanja hibah dan bansos selesai dilaksanakan, sehingga pengawasan bersifat represif bukan prefentif.
2.         SKPD bertanggung jawab terhadap evaluasi keabsahan, kelengkapan persyaratan permohonan hibah atau bansos, dan hasil evaluasi tersebut dituangkan dalam rekomendasi yang akan diserahkan kepada Gubernur melalui TAPD. Dalam hal ini TAPD memberikan pertimbangan atas rekomendasi tersebut beserta DCN PBH dan BBS. Atas dasar rekomendasi dan pertimbangan tersebut, Gubernur dapat menyetujui atau bahkan menolak DCN PBH dan BBS. Evaluasi terhadap keabsahan, kelengkapan persyaratan merupakan pintu masuk dapat atau tidaknya atau sah atau tidaknya pemberian hibah atau bansos. Tanpa rekomendasi dan pertimbangan dari SKPD dan TAPD, maka Gubernur tidak mungkin akan memberikan persetujuan. Dengan demikian apabila terdapat pelanggaran hukum, maka SKPD dan TAPD yang bertanggung jawab. Pertanggung jawaban Gubernur hanya dapat diminta, apabila Gubernur dengan jabatannya berusaha secara aktif menentukan atau mempengaruhi DNC PBH dan BBS, termasuk menilai besaran belanja hibah atau bansos yang akan ditetapkan dalam APBD.


B.        Saran
Berdasarkan analisis permasalahan dalam tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1.         Dalam rangka efektivitas Permendagri 32/2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri 39/2012, diperlukan :
a.     Efektivitas pengawasan interen. Dalam hal ini pengawasan harus dilaksanakan mulai dari evaluasi keabsahan dan kelengkapan persyaratan permohonan belanja hibah atau bansos yang dilakukan oleh tim evaluasi pada SKPD, termasuk melakukan penelitian lapangan untuk menguji kebenaran data dan dokumen persyaratan administrasi, sampai dengan pencairan dana dan pemberian belanja hibah atau bansos kepada penerima,  Pengawas interen dari Inspektorat dapat menjadi salah satu anggota tim evaluasi yang bertanggung jawab langsung kepada Inspektorat.
b.     Apabila setelah pengawasan diefektivkan, tetapi permasalahan pelanggaran hukum dalam pengelolaan belanja hibah atau bansos tetap sering terjadi, maka dalam rangka efisiensi (efisiensi dalam hal sumber daya manusia, efisiensi terhadap kemungkinan kebocoran dana hibah atau bansos, efisiensi dalam hal pengawasan, efisiensi terhadap tindakan koruptif dengan tujuan politik) dan professionalisme pengelolaan bantuan hibah dan bansos, maka pengelolaannya sebaiknya hanya dilaksanakan oleh 1 (satu) instansi, dalam hal ini Kementrian Sosial. Di dalam implementasinya Kementerian Sosial hanya menangani pengelolaan belanja hibah dan bansos berupa uang atau barang/jasa yang terencana, sementara pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota mengelola belanja hibah dan bansos berupa uang atau barang/jasa yang sifatnya tidak terencana.








[1] KPK dan BPKP Kaji Bansos, Jurnal Nasional, 24 April 2014
[2] Dana bansos rawan korupsi, Jaringan Berita Terluas di Indonesia, edisi Selasa 22 November 2011, diakses tanggal 20 Agustus 2014 dari www.jpnn.com
[3] Wahyudi Kumorotomo, Penyimpangan Bansos, Kedaulatan Rakyat, 26 Februari 2013.
[4] Jelang Pilkada, Dana Bansos dan Hibah Rentan disalahgunakan, Berita Satu, edisi Senin, tanggal 21 Januari 2013, diakses dari www.beritasatu.com, tanggal 23 Agustus 2014.
[5] Ibid
[6] Indonesia Corruption Watch, Annual Report 2012, hal. 14.
[7] Ibid.
[8] Konferensi Perss KPK, www.kpk.go.id, diakses tanggal 20 Juni 2014
[9] Ibid
[10] Dana bansos rawan korupsi, Jaringan Berita Terluas di Indonesia, Op. cit
[11] Huberto Hasulie, Korupsi di Sikka, KPK Harus Menangani Korupsi Dana Bansos, diakses dari www.provinsisvdende.weebly.com., tanggal 27 Mei 2014, hal. 2
[12] Annual Report ICW Tahun 2012, hal. 33
[13] Ibid
[14] Buku II IHPS, BPK, hal. 25
[15] Ibid, hal. 36
[16] Ibid., hal. 37
[17] Jelang Pilkada, Dana Hibah dan Bansos Rawan Disalhgunakan, diakses dari www.beritasatu.com, tanggal 22 Agustus 2014
[18] ICW Catat 120 Kasus Penyelewengan Bansos, www.metronews.com, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[19] ICW 300 Triliunan Dana Hibah Bansos Diselewengkan, www.nasional.sindonews.com, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[20] Daerah Selewengkan Bantuan Sosial Rp. 765 Milyar, www.tempo.co.id, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[21] Rawannya Dana Hibah dan Bansos, www.bangka.tribunnews.com, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014
[22] Deddy Kritisi Dana Hibah untuk El-Jhon, www.bangka.tribunnews.com, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.
[23] Kejanggalan Dana Hibah dan Bansos Provinsi Banten Jelang Pilgub 2011, diakses dari www.kompas.com, tanggal 7 Juli 2014.
[24] Korupsi Dana Hibah dan Bansos, Bendahara Pribadi Atut Ditahan di Kejati, www.beritasatu.com, diakses tanggal 30 Agustus 2014
[25]Indonesia Corruption Watch, Korupsi Dana Bansos, diakses dari www.icw.or.id, pada tanggal 22 Agustus 2014.
[26] Badan Pemeriksa Keuangan, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2013, Jakarta, Maret 2014.

Komentar

  1. Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk membayar tagihan, mengembangkan bisnis skala kecil atau menengah Anda? Ibu Elizabeth Louis Pinjaman Perusahaan memberikan kesempatan untuk membuat impian Anda menjadi kenyataan dengan memberikan pinjaman kepada individu swasta atau pemerintah dan Perusahaan dengan tingkat bunga 2% untuk awal untuk setiap jumlah yang dibutuhkan dan dengan jadwal pembayaran yang fleksibel. Hubungi Ibu Elizabeth Louis untuk LOAN Anda hari ini melalui email: elizabethlouisloancompany@gmail.com

    BalasHapus
  2. Pemasalahan terjadinya kebocoran dana hibah dan Bansos, yaitu :

    1. Masih banyak Pemerintah Daerah, Pengguna Anggaran (PA) /Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang belum membuat Pedoman Umum, Petunjuk pelaksanaan, Petunjuk teknis, dan Surat Keputusan tentang pendanaan, prosedur pencairan dan penyaluran dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos).

    2. Aparat pengawasan belum diwajibkan terlibat dalam kegiatan awal hingga akhir pada kegiatan bantuan dana hibah dan bansos.

    BalasHapus
  3. Saya ingin mengembalikan semua kemuliaan kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang Dia gunakan untuk Ibu Rossa lakukan dalam hidup saya, nama saya Mira Binti Muhammad dari kota bandung di indonesia, saya adalah seorang janda dengan 2 anak, suami saya meninggal dalam kecelakaan mobil dan Sejak saat itu kehidupan menjadi sangat kejam bagi saya dan keluarga saya dan saya telah mencoba beberapa tahun untuk mendapatkan pinjaman dari bank-bank di Indonesia dan saya ditolak dan ditolak karena saya tidak memiliki agunan dan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank dan saya sangat sedih
    Pada hari yang penuh dedakan ini saat saya melewati internet, saya melihat kesaksian Annisa tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari Ibu Rossa dan saya menghubungi dia untuk bertanya tentang perusahaan pinjaman ibu Rossa dan betapa benarnya pinjaman dari ibu Rossa dan dia mengatakan kepada saya itu benar dan saya menghubungi Ibu Rossa dan setelah mengajukan aplikasi pinjaman saya dan pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 24 jam saya mendapatkan uang pinjaman saya di rekening bank saya dan ketika saya memeriksa rekening saya, uang pinjaman saya utuh dan saya sangat bahagia dan saya telah berjanji bahwa saya akan membantu untuk memberi kesaksian kepada orang lain tentang perusahaan pinjaman ibu rossa, jadi saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada siapa saja yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. Rossa melalui email: rossastanleyloancompany@gmail.com dan Anda Bisa juga hubungi saya via email saya: mirabintimuhammed@gmail.com untuk informasi serta teman-teman Annisa Barkarya via email: annisaberkarya@gmail.com

    BalasHapus



  4. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian I

Kedudukan Hukum Girik Terhadap Sertifikat Hak atas Tanah

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian III