Penyelesaian Masalah Tanah Terlantar dan Konsekuensi Hukumnya serta Perlindungan Hukum yang dapat Diberikan kepada Pemagang Hak atas Tanah Terlantar

A. Latar Belakang Permasalahan
Setiap tanggal 24 September 2004 diperingati sebagai hari ulang tahun Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA merupakan tonggak berdirinya rezim agraria baru yang didasari oleh hukum adat atau hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Asas-asas yang dikandung dalam UUPA terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) yang merupakan pengejawantahan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dinyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Penguasaan tanah oleh negara bukan berarti dimiliki, namun sebagai penguasa tanah, negara hanya memberikan pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat diberikan pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan atas tanah-tanah tersebut.
Disamping asas menguasai dari negara, UUPA merupakan hukum nasional yang meniadakan dualisme hukum mengenai tanah atau lebih luas mengenai agraria sebagaimana yang dianut oleh hukum agraria pada masa kolonial Belanda, di mana dalam satu wilayah terdapat beberapa ketentuan hukum yang berlaku bagi tanah, seperti tanah-tanah yang dikuasai warga negara Belanda atau warga negara Eropah pada umumnya tunduk pada ketentuan hukum agraria barat, sedangkan untuk tanah-tanah yang dikuasai warga negara Indonesia berlaku hukum adat. Hal ini disebabkan politik hukum Kolonial Belanda yang membeda-bedakan pemberlakuan hukum didasarkan pada golongan-golongan tertentu.
Terhitung mulai berlakunya UUPA sampai dengan era reformasi saat ini, berbagai permasalahan tanah masih terus berlangsung. Apalagi jika melihat situasi dan kondisi geographis tanah di Indonesia saat ini, di mana terjadi ketidak seimbangan antara permintaan akan tanah dengan tanah yang tersedia. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah yang arif dan bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan pertanahan ini, disamping melakukan Law Enforcment.
Tanah merupakan anugerah Tuhan YME yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Manusia diberikan kepercayaan untuk mengelola dan memelihara fungsi dan kegunaan tanah, sebab manusia diciptakan sebagai mahluk yang sempurna yang memiliki akal pikiran, sehingga Tuhan YME menundukan alam semesta ini termasuk tanah dibawah penguasaan dan pengelolaan manusia.
Kehidupan ekonomi masyarakat dewasa ini telah membuat tanah menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan jumlah penduduk di setiap negara yang sangat pesat telah meningkatkan permintaan akan tanah guna keperluan tempat tinggal dan tempat usaha. Peningkatan permintaan tanah ini tidak diikuti oleh penyediaan tanah. Hal ini dapat dimengerti karena tanah bukan sumber daya yang dapat diperbaharui dengan mudah. Penawaran tanah yang terbatas bisa habis karena adanya erosi dan abrasi, yang mungkin adalah perubahan penggunaan tanah dari tanah pertanian menjadi non pertanian.
Mengingat kenyatan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan mengingat akan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, Indonesia sebagai negara agraris memandang penting pengaturan penguasaan tanah, di mana berdasarkan UUD 1945, tanah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat, hal ini disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), disebutkan, bahwa :
“atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”
Memori penjelasan UUPA ditegaskan bahwa perkataan dikuasaai dalam pasal tersebut di atas bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk memberikan pengaturan berkenaan dengan masalah pertanahan, mulai dari pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat diberikan pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan atas tanah-tanah tersebut.
Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah. .
Hak-hak tersebut di atas dapat dimiliki atau dikuasai oleh warga negara Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pada dasarnya hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa dan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya.
Sebagai konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum, maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya.
Pembagian hak-hak atas tanah menurut UUPA ke dalam Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan serta Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas dan hak-hak yang sifatnya sementara, dimaksudkan untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukkannya dan subjek yang memohon hak atas tanah tersebut. Seperti contoh tanah yang dikuasai negara dapat diberikan Hak Guna Usaha, apabila peruntukkan tanah tersebut oleh pemohon hak digunakan untuk pertanian, perikanan atau peternakan, dan tanah Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada orang atau badan hukum yang akan mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya.
Dalam perkembangannya hak-hak atas tanah yang telah diberikan untuk berbagai keperluan sebagaimana tersebut di atas, tidak selalu diikuti dengan kegiatan fisik penggunaan tanah tersebut sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau rencana tata ruang dari penggunaan dan peruntukkan tanah, baik karena pemegang hak belum merasa perlu menggunakan tanah tersebut atau pemegang hak belum memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan pembangunan atau penggunaan tanah atau karena hal-hal lainnya. Akibat belum terlaksananya pembangunan atau penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peruntukkannya, maka tanah yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah-tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dan tanah dengan Hak Pengelolaan serta tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar, apabila dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang hak sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik atau tidak dilaksanakan oleh pemegang hak pengelolaan sesuai dengan tujuan pemberian dan pelimpahannya.
Tanah terlantar merupakan salah satu permasalahan pertanahan yang perlu mendapatkan perhatian, jika tidak ditangani dengan baik, hal ini pada gilirannya akan mengganggu jalannya pembangunan dan melanggar asas keadilan bagi masyarakat pada umumnya, mengingat persedian tanah yang semakin terbatas dan kebutuhan tanah untuk pembangunan, pertanian, dan perumahan yang semakin meningkat. Akibat hukum dari tindakan-tindakan tersebut di atas, memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai tanah tersebut dengan memperhatikan pemberian ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah terlantar tersebut.
Dengan tidak mengenyampingkan ketentuan dalam PP tersebut, perlu diperhatikan dan dicarikan penyelesaian atau solusi terbaik, agar dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan hak-hak perseorangan atau badan hukum atas tanah, mengingat tidak semua orang atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah yang diterlantarkan memiliki itikad tidak baik atas tanah tersebut, dalam arti orang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah, hanya bermaksud memiliki tanah tersebut untuk tujuan investasi dan bukan untuk melakukan penggunaan atau pembangunan tanah sesuai dengan maksud dan tujuan peruntukkannya.

B. Konsep Kepemilikan Tanah Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Arah kebijakan pembangunan ekonomi disebutkan dalam Bab IV Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Dalam angka (16) arah kebijakan pembangunan di bidang ekonomi disebutkan :
“Membangun kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”
Arah kebijakan ekonomi di bidang pertanahan sebagaimana tersebut di atas menitikberatkan pada peningkatan pemanfaatan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat dalam arti termasuk hak ulayat dan masyarakat adat dengan memperhatikan tata ruang wilayah.
Keadilan dalam pemanfaatan tanah berhubungan dengan kewajiban negara membagi kesejahteraan kepada warga negaranya, untuk itu berbagai ketentuan mengenai kebijakan pertanahan yang dibuat hendaknya memberikan landasan bagi setiap orang untuk memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menerima bagian manfaat tanah baik bagi diri sendiri maupun keluarganya sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak. Dalam konsep keadilan sosial adalah lebih tepat untuk memberikan tempat kepada keadilan berdasarkan atas kebutuhan, mengingat secara keseluruhan lebih banyak masyarakat yang bernasib kurang beruntung, dalam arti peraturan atau kebijakan yang dibuat lebih memberikan kemudahan kepada sekelompok besar masyarakat kecil.
Penggunaan tanah secara produktif merupakan suatu kewajiban yang terkandung dalam UUPA. Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi dari hak-hak atas tanah yang diberikan negara kepada orang-orang atau badan-badan hukum sesuai dengan peruntukkannya.
Keikutsertaan negara dalam mengatur pertanahan, merupakan cermin dari teori hukum negara kesejahteraan (welfarestate). Maksud dari keikutsertaan negara dalam menentukan kebijakan di bidang pertanahan adalah untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan yang berhubungan dengan pertanahan agar sesuai dengan prinsip pembangunan Nasional khususnya di bidang pertanahan sebagaimana tersebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD, dalam hal ini fungsi negara tidak lagi sekedar memelihara ketertiban dan menegakkan hukum, namun untuk meningkatkan kesejahteraan semua warga negara.
Fungsi negara sebagai penentu arah kebijakan dalam rangka memelihara ketertiban dan penegakan hukum serta meningkatkan kesejahteraan rakyat dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV dan selanjutnya dalam penyelenggaraannya dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004, arah kebijakan penyelenggaraan negara khususnya di bidang pertanahan tersebut dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ).
UUPA adalah dasar hukum penyelenggaraan negara di bidang pertanahan. Dalam UUPA ditentukan macam hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum. Hak-hak atas tanah yang dimaksud menurut Pasal 6 ayat (1) UUPA terdiri dari, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Tanah, dan Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan diterapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Dalam UUPA ditentukan, bahwa di dalam pemberian hak-hak atas tanah kepada warga negara Indonesia atau badan hukum harus memperhatikan penggunaan tanah sesuai dengan fungsi dan tujuan pemberian haknya dan dilarang menggunakan tanah yang tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi pemberian haknya, seperti HGU digunakan untuk mendirikan bangunan rumah, HGB digunakan untuk melakukan usaha di bidang pertanian, dan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

C. Upaya Penanggulangan Penguasaan atau Pemilikan Tanah yang Diterlantarkan

Hak-hak atas tanah yang diberikan oleh negara kepada setiap warga negara atau badan hukum, memberikan konsekuensi hukum kepada pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, dan mengusahakan sendiri tanah-tanah tersebut dengan baik, dan yang terutama tidak menelantarkannya.
PP. No. 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar mengatur mengenai kriteria tanah yang dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar, yaitu terdapat dalam Pasal 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 :
1. Tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemgang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak diperihara dengan baik (Pasal 3);
2. Tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberpa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaanya atau sifat dan tujuan haknya, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan menurut peruntukannya dan rencana tata ruang wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan pembangunan fisik di atas tanah tersebut (Pasal 4);
3. Tanah hak guna usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan jika hanya sebagian dari bidang tanah hak guna usaha yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 5 ayat (1) dan (2));
4. Tanah hak guna bangunan atau hak pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang dan jika hanya sebagian dari bidang tanah hak guna bangunan atau hak pakai yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 6 ayat (1) dan (2));
5. Tanah hak pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila kewenangan hak menguasai dari negara atas tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai tujuan pemberian, pelimpahan kewenangan tersebut, dan jika hanya sebagian dari bidang tanah hak pengelolaan yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 7 ayat (1) dan (2);
6. Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik, dan dan jika hanya sebagian dari bidang tanah hak tersebut di atas yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar (Pasal 8 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka penentuan tanah sebagai tanah terlantar yang dapat menyebabkan hapusnya suatu hak atas tanah dan menjadikan tanah tersebut dalam penguasaan negara ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dalam PP. No. 36 Tahun 1998
Dalam rangka menanggulangi banyaknya tanah-tanah yang dapat digolongkan ke dalam kriteria tanah terlantar, PP. No. 36 Tahun 1998 memberikan beberapa cara penanggulangannya sebagai berikut :
1. melakukan identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan tanah terlantar, identifikasi ini dilakukan oleh kepala Kantor Pertanahan;
2. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya tanah yang diterlantarkan.
Dari hasil identifikasi yang dilakukan didapat sebagai berikut :
a. bahwa dalam hal menurut hasil identifikasi, tanah yang bersangkutan dimiliki oleh pemegang hak perorangan yang tidak dapat menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya karena tidak mampu secara ekonomi, maka kepala Kantor Pertanahan mengusulkan agar kepada yang pemegang hak atas tanah diberikan pembinaan dalam rangka mendayagunakan tanahnya;
b. bahwa dalam hal menurut hasil identifikasi, tanah yang bersangkutan dimiliki, dikuasai atau diperoleh oleh suatu badan hukum yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaanya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik atau bahwa apabila tanah yang bersangkutan dipunyai atau diperoleh dasar penguasaannya oleh orang perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, maka kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak atau pihak yang memperoleh tanah tersebut diberikan peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai dengan keadaanya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya.
Dikecualikan dari ketentuan tersebut di atas adalah pihak-pihak yang tidak menggunakan tanah sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak dipeliharanya tanah tersebut dengan baik disebabkan karena dihalangi oleh pihak lain.
Hal yang paling terpenting dalam melaksanakan penanggulangan atau penertiban tanah-tanah terlantar adalah Law Enforcement atau penegakan hukum dalam bidang pertanahan.
Peraturan perundang-undangan telah melandasi kegiatan tersebut, namun apabila tidak ada penegakannya dari instansi pemerintah yang terkait atau tidak ada goodwill, penanggulangan dan penertiban tanah-tanah terlantar tidak akan berjalan dengan baik, sehingga sampai saat inipun masih banyak tanah-tanah terlantar yang tidak tersentuh atau tidak ditanggulangi dan ditertibkan.
Biasanya kendala yang ditemukan berasal dari dalam, seperti adanya kesepakatan tidak resmi antara pemegang hak dengan pegawai instansi pertanahan, sehingga tanah-tanah terlantar tersebut tidak pernah teridentifikasi. Kesepekatan tidak resmi ini dapat pula terjadi dalam pemberian izin lokasi atau izin penguasaan tanah untuk kegiatan usaha tertentu yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Permasalahan lainnya adalah kurangnya kesadaran hukum dan kepekaan pemilik hak atas tanah atas pentingnya pemanfaatan dan penggunaan tanah sesuai dengan fungsi dan tujuan pemberian haknya dan rencana tata ruang.

D. Perlindungan Hukum yang Dapat Diberikan Kepada Pemilik Hak atas Tanah Diterlantarkan
Akibat hukum apapun yang ditimbulkan dari tanah yang diterlantarkan oleh pemegang haknya, harus tetap memperhatikan hak-hak pemegang hak atas tanah tersebut. Untuk itu dalam menyelesaikan permasalahan ini tidak boleh mengeneralisasikan tanah-tanah yang diterlantarkan tanpa melihat sebab-sebab tanah tersebut diterlantarkan.
Dalam hal ini PP. No. 36 Tahun 1998, Pasal 11 ayat (2) menentukan bahwa tanah yang dimiliki perorangan yang diterlantarkan karena faktor ekonomi memiliki perbedaan akibat hukum dengan tanah yang diterlantarkan karena memang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya (Pasal 11 ayat (3) huruf (b)), begitu juga dengan tanah yang diterlantarkan yang dimiliki oleh suatu badan hukum.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari tanah perorangan yang diterlantarkan karena faktor ekonomi memberikan hak kepada pemegang hak atas tanah terhadap pembinaan dalam mendayagunakan tanahnya, sedangkan akibat hukum dari tanah yang dimiliki suatu badan hukum atau perorangan yang diterlantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya dapat menyebabkan hapusnya atau beralihnya hak atas tanah ke dalam pengusaan negara.
Namun untuk sampai pada penentuan bahwa tanah diterlantarkan, negara tidak serta merta menetapkan tanpa pemberian kesempatan atau waktu kepada badan hukum atau perorangan untuk segera menggunakan tanah sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya. Dalam hal ini badan hukum dan perorangan yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk hal tersebut di atas dengan adanya peringatan I sampai dengan peringatan III, di mana masing-masing peringatan berlaku untuk 1 (satu) tahun, dan bila dihitung keseluruhannya badan hukum atau perorangan yang bersangkutan diberikan waktu 3 (tiga) tahun untuk segera menggunakan tanahnya.
Selain hal tersebut di dalam PP. No. 3 Tahun 1998 juga memberikan perlindungan hukum lain bagi pemegang hak atas tanah, yaitu adanya pemberian hak atas ganti rugi atas tanah yang telah dikuasai negara dengan ganti rugi sebesar harga perolehan yang telah dibayar oleh yang bersangkutan, harga yang diberikan juga dengan memperhatikan biaya yang telah dikeluarkan untuk membuat prasarana fisik di atas tanah yang dinyatakan terlantar.
Perlu dipikirkan oleh pengambil keputusan dalam pemerintahan untuk memberlakukan pengetatan izin pemanfaatan tanah atau izin lokasi dengan menambahkan persyaratan tentang kualitas kemampuan perusahaan dalam pendanaan suatu kegiatan usaha, selain itu diperlukan pengawasan yang benar-benar intensif dari instansi pertanahan pada setiap perusahaan atau perorangan yang mendapatkan izin lokasi atau izin pemanfaatan tanah.
Penegakan hukum di bidang pertanahan, pengetatan pemberian izin pemanfaatan tanah atau izin lokasi, tidak cukup dilakukan apabila masyarakat pada umumnya tidak memiliki kesadaran hukum, dan juga tidak cukup dilakukan apabila partisipasi masyarakat sangat rendah dalam memberikan laporan mengenai tanah-tanah terlantar. Keseluruhannya harus berjalan secara sinergi, tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya instansi pertanahan baik di pusat maupun di daerah tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat.




Komentar

  1. pak joni yth, Saya ada menjual tanah yang menurut saya terlar bekas relmuntek pabrik batu bata(sebagian) yang berbatas langsung dengan tanah saya (alas surat jual beli thn1959)dan atas jual beli tersebut diterbitkan SK Camatnya.Pertanyaan saya :Apakah tindakan saya itu bisa dipertanggungjawabkan secara hukum ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian I

Kedudukan Hukum Girik Terhadap Sertifikat Hak atas Tanah

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian III