Tanggung Jawab Hukum Unit Layanan Pengadaan Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

A.   Latar Belakang
Pengadaan barang atau jasa dalam istilah asing disebut “procurement”, yang muncul karena adanya kebutuhan akan suatu barang atau jasa, mulai dari peralatan tulis, kertas, tinta, komputer untuk keperluan kantor dinas, instansi atau kementerian, kendaraan bermotor, peremajaan kendaraan bermotor, mobil pemadam kebakaran, mobil atau motor dinas, peralatan utama sistem persenjataan untuk TNI, jasa kontruksi pembangunan jalan tol, gedung-gedung bertingkat, waduk, bendungan, pembangkit listrik, sampai dengan jasa konsultan, baik konsultan teknik, perencanaan, konsultan hukum, dan jasa konsultan lainnya.

Istilah pengadaan barang dan jasa diartikan secara luas, mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau administrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. oleh karena itu pengadaan barang dan jasa tidak sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian (Purchasing) atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan ,perizinan, penentuan pemenang tender, hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum atau jasa lainnya.
Dasar hukum pengadaan barang atau jasa pemerintah, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (selanjutnya disebut Perpres 54/2010), yang diterbirkan pada tanggal 6 Agustus 2010. Perpres 54/2010 diubah untuk pertama kalinya dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 (Perpres 35/2011) yang diterbikan pada tanggal 30 Juni 2011 dan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 (Perpres 70/2012) diterbitkan tanggal 1 Agustus 2012.
Berdasarkan konsideran menimbang Perpres 50/2010, disebutkan bahwa perlunya pengaturan dibidang pengadaan barang atau jasa pemerintah ini, dimaksudkan agar pengadaan barang atau jasa pemerintah efisien, terbuka, kompetitif, sederhana, jelas dan komprehensif sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Corporate Governance), dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan barang atau jasa pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Perpres 54/2010, yaitu prinsip efisiensi; efektif; transparan; terbuka; bersaing; adil tidak diskriminatif dan akuntabel.
Dalam Pengadaan barang/Jasa, pada pokoknya terdapat dua subjek hukum yang mempunyai kesetaraan/kedudukan yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pertama dari sisi Pengguna barang/Jasa yaitu pemerintah/instansi yang membutuhkan barang/jasa. Kedua dari sisi Penyedia Barang/Jasa yaitu badan usaha atau orang perorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/ atau Jasa Lainnya atau Penyedianya melalui swakelola (Swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat).
Ditinjau dari sisi Pengguna Pengadaan barang/Jasa pada hakikatnya adalah upaya pengguna barang/jasa untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan tepat harga, kualitas (spesifikasi), kuantitas (volume), waktu, tempat, dan kesepakatan lainnya. Sedangkan Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Kontruksi, Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya. Hakikat pengadaan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya apabila pihak pengguna maupun penyedia harus berpedoman pada etika dan norma pengadaan yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode, dan prosedur pengadaan yang baik (sound practices) sebagaimana diatur dalam Perpres 54/2010 dan perubahannya.
Berdasarkan Perpres 50/2010 jo Perpres 35/2011 jo Perpres 70/2012, pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, melibatkan beberapa kegiatan dan juga pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap jalannya proses pengadaan barang/jasa, yaitu :
1.   Tahap kegiatan terdiri dari 4 (empat) tahap :
a.    Tahap persiapan, meliputi perencanaan pengadaan barang atau jasa; pembentukan panitia pengadaan barang atau jasa; penetapan sistem pengadaan barang atau jasa; penyusunan jadwal pengadaan barang atau jasa; penyusunan harga perkiraan sendiri dan penyusunan dokumen pengadaan barang atau jasa;
b.    Tahap proses pengadaan, meliputi pemilihan penyedia barang atau jasa dan penetapan penyedia barang atau jasa;
c.     Tahap penyusunan kontrak;
d.    Tahap pelaksanaan kontrak.
2.   Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang atau jasa adalah Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; Penyedia Barang atau Jasa.
Setiap tahapan sebagaimana tersebut di atas, menjadi kewenangan masing-masing pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pengadaan barang atau jasa pemerintah tersebut yang telah diatur dalam Perpres 54/2010 dan perubahannya. Dengan demikian setiap pengadaan barang atau jasa pemerintah, baik dari yang terkecil nilai barang atau jasanya, sampai dengan yang membutuhkan mega pembiayaan wajib tunduk pada Perpres tersebut tanpa terkecuali, dengan ketentuan pelanggaran terhadap proses dan prosedur sebagaimana yang diatur dalam Perpres, berakibat hukum pengadaan barang atau jasa tidak sah, dan para pihak yang terlibat di dalamnya dapat dikenakan sanksi hukum, baik yang bersifat administrasi, perdata maupun pidana.
Secara faktual, dalam pengadaan barang atau jasa pemerintah menunjukkan telah banyak terjadi baik dari sisi pengguna maupun penyedia tersangkut pelanggaran hukum, baik pelanggaran administrasi (seperti kesalahan prosedur CPNS menjadi ULP, jadwal dan proses pengumuman tidak dilakukan semestinya), pelanggaran pidana korupsi atau pidana lainnya seperti pemalsuan dokumen, maupun pelanggaran yang bersifat perdata (seperti contoh tidak melaksanakan pekerjaan atau melaksanakan pekerjaan tetapi tidak sesuai dengan kontrak).
Praktik pengadaan barang atau jasa pemerintah sampai dengan saat ini, banyak ditemukan indikasi pelanggaran hukum di dalamnya, mengingat jumlah pengadaan barang atau jasa di lembaga publik rata-rata mencapai 15% (lima belas persen) sampai dengan 30% (tiga puluh persen) dari GDP. Banyaknya pengadaan barang atau jasa di lembaga-lembaga pemerintah, merupakan suatu peluang yang menarik dan tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya korupsi. Besarnya kerugian akibat korupsi diperkirakan mencapai 10% (sepuluh persen) sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) pada skala normal. Dalam beberapa kasus, kerugian yang ditimbulkan mencapai 40% (empat puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) dari nilai kontrak.
Menurut penelitian Cahyana Ahmadjayadi dalam disertasinya yang berjudul “Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah yang Baik”, ditemukan bahwa betapa buruknya pengelolaan barang atau jasa di organisasi pemerintah di Indonesia. Dalam data KPK misalnya dari 59 (lima puluh seblina) kasus korupsi yang ditangani, 33 (tiga puluh tiga) kasus merupakan kasus yang berkenaan dengan pengadaan barang atau jasa pemerintah. Ini berarti 55% (lima puluh lima persen) kasus korupsi terkait dengan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Pada tahun 2013, tindak pidana korupsi masih didominasi sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah. Modus suap dalam rangka memenangkan tender proyek sering terjadi, bahkan kalangan pejabat selaku Kuasa Pengguna Anggaran banyak yang terseret menjadi tersangka akibat adanya kesepakatan dalam pemenangan tender yang nilainya milyaran rupiah. Merujuk pada hasil pantauan ICW, perkara korupsi di Indonesia pada semester I 2013 ada 293 (dua ratus sembilan puluh tiga) kasus, sedangkan semester II 2013 ada 267 (dua ratus enam puluh tujuh) kasus, dan 114 (seratus empat belas) kasus diantaranya terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan tersangka berjumlah 314 (tiga ratus empat belas) orang.
Pelanggaran hukum dalam pengadaan barang atau jasa pemerintah dapat terjadi dalam setiap tahapan pengadaan barang atau jasa, yaitu tahap penilaian kebutuhan atau penentuan kebutuhan; tahap persiapan perencanaan dan persiapan dokumen tender; tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender; tahap pelaksanaan pekerjaan; pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
Perpres 54/2010 dan perubahannya tidak mengatur secara tegas mengenai sifat-sifat pelanggaran yang dilakukan pejabat pengadaan/ULP/PPK/KPA atau PA dalam proses pengadaan yang berindikasi administrasi, perdata maupun pidana. Secara tegas Pasal 118 ayat (7) hanya mengatur bahwa apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP dikenakan sanksi administrasi, ganti rugi dan/atau dilaporkan secara pidana. Padahal dalam praktiknya penentuan sifat pelanggaran secara administrasi, perdata maupun pidana sangat perlu ditegaskan, dalam rangka efektivitas hukum dan kepastian hukum bagi penyelenggara pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Berdasarkan Pasal 118 ayat (7) Perpres 54/2010 dan perubahannya menentukan bahwa ULP/Pejabat pengadaan bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa. Hal ini dapat dimengerti, karena ULP memang dibentuk untuk melaksanakan pengadaan barang atau jasa pemerintah di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Intansi (selanjutnya disebut dengan K/L/D/I) yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
ULP sebagai pelaksana pengadaan barang atau jasa pemerintah wajib dipunyai oleh K/L/D/I paling lambat pada tahun anggaran 2014. Kewajiban pembentukan ULP di dalam organisasi K/L/D/I, dilatar belakangi oleh tingginya intensitas pelanggaran hukum dalam pengadaan barang atau jasa, karena rendahnya kualitas dan kredibiltas sumber daya manusia pelaksana pengadaan barang atau jasa, dan tidak adanya keseragaman sistem atau metode dalam melayani penydia barang atau jasa. Secara terperinci alasan dibentuknya ULP adalah sebagai berikut :
1.   PA/KPA tidak dapat menyusun rencana umum pengadaan (RUP) secara komprehensif karena tidak memiliki sumber daya dan masukan sebagai bahan penyusun RUP;
2.   Dokumentasi yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan tidak terintegrasi, karena pembentukan panitia pengadaan bersifat ad hoc;
3.   Informasi dan publikasi mengenai hal terkait (daftar hitam, daftar asuransi dan bank penjamin, rincian harga pasar, dsb) tidak terkompilasi, sehingga tidak dapat dijadikan rujukan;
4.   Panitia Pengadaan bersifat ad hoc dan harus ditetapkan oleh KPA untuk jangka waktu satu tahun anggaran, sehingga panitia pengadaan tahun berjalan seringkali enggan melakukan proses pengadaan untuk kebutuhan tahun anggaran berikutnya. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab keterlambatan pelaksanaan pengadaan;
5.   Proses pengadaan barang /jasa dilaksanakan oleh pegawai yang belum berpengalaman disebabkan anggota panitia dipindahkan  ke tempat tugas yang berbeda;
6.   Proses audit terhadap pelaksanaan pengadaan sulit dilaksanakan setelah lewat beberapa periode anggaran;
7.   Anggota panitia pengadaan masih mempunyai tusi utama di unit struktural masing-masing sehingga memiliki keterbatasan waktu untuk bertemu dan melakukan pembahasan;
8.   Prosedur dan tata kerja belum tersusun dengan baik.

ULP diharapkan dapat menjawab ke 8 (delapan) alasan atau permasalahan tersebut di atas, karena ULP didisain untuk menjadi pusat reformasi pengadaan barang atau jasa pemerintah di setiap K/L/D/I.
Perhatian terhadap jalannya proses pengadaan barang atau jasa pemerintah yang baik dan benar sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan asas-asas pengadaan barang atau jasa pemerintah, sangat diperlukan. Untuk itulah pemerintah melalui pengundangan Perpres 54/2010 mencoba memperbaiki praktik pengadaan barang atau jasa yang selama ini berjalan, dengan membentuk lembaga hukum baru, yaitu ULP sebagai pengganti dari panitia pengadaan barang atau jasa yang bersifat ad hoc.
Pembentukan ULP, selain Perpres 54/2010 dan perubahannya, juga diatur secara lex specialist dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) No. 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) (selanjutnya disebut Perka LKPP 5/2012),
Lebih lanjut menurut pembentukan ULP bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pengadaan barang atau jasa lebih terintegrasi atau terpadu sesuai dengan tata nilai pengadaan, dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi K/L/D/I.
Sebagai pelaksana pengadaan barang atau jasa pemerintah, ULP mempunyai tugas pokok dan kewenangan sebagaimana tersebut dalam Perpres 54/2010 dan perubahannya. Tugas pokok dan kewenangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi ULP. Oleh karena apabila terjadi pelanggaran kewajiban hukum dari ULP sebagaimana diatur dalam Perpres 54/2010, maka ULP dapat dikenakan sanksi administrasi, tuntutan ganti rugi atau dilaporkan secara pidana. Namun demikian harapan dengan terbentuknya ULP agar pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah dapat lebih efisien, efektif, dan akuntabel, belum tercapai sepenuhnya, karena dalam praktiknya, walaupun ULP sudah terbentuk dalam organisasi K/L/D/I, tetapi masih banyak pelanggaran hukum dalam pelaksanaannya, baik yang berindikasi administrasi, maupun pidana.
Berdsarkan latar belakang di atas, sejauh mana tanggung jawab hukum ULP dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

B.      Analisa tentang peran dan tanggung jawab ULP dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
Berbicara tentang peran dan tanggung jawab, akan berkaitan dengan kewenangan. Kewenangan melahirkan hak dan kewajiban. Dalam hal ini kewenangan ULP sebagai panitia pengadaan barang/jasa timbul atau dilandasi oleh hukum, yaitu Perpres 54/2010 jo Perka LKPP No. 5/2012 tentang ULP.
Berdasarkan teori kewenangan yaitu teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kewenangan dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat, atau keseluruhan aturan-aturan berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Kewenangan juga dapat disebut sebagai apa yang disebut dengan kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang.
Terkait dengan ULP sebagai lembaga hukum baru yang dikenal dalam Perpres 54/2010, dan mengalami perubahan pengaturan melalui Perpres 70/2012, dan lebih spesialis lagi ULP diatur dalam Perka LKPP No. 5/2012. Perka LKPP No. 5/2012 ini merupakan lex specialis dari ketentuan ULP sebagaimana diatur dalam perpres 54/2010. Berdasarkan uraian tersebut kewenangan formal ULP dilandasi oleh Perpres 54/2010 jo Perka LKPP No. 5/2012.
ULP dibentuk untuk menggantikan panitia pengadaan barang/jasa, dan juga untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul pada saat pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh sebuah panitia pengadaan barang/jasa. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa permasalahan-permasalahan yang membuat lahirnya ULP diantara yang terpenting adalah :
a.    PA/KPA tidak dapat menyusun rencana umum pengadaan (RUP) secara komprehensif karena tidak memiliki sumber daya dan masukan sebagai bahan penyusun RUP;
b.    Dokumentasi yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan tidak terintegrasi, karena pembentukan panitia pengadaan bersifat ad hoc;
c.    Panitia Pengadaan bersifat ad hoc dan harus ditetapkan oleh KPA untuk jangka waktu satu tahun anggaran, sehingga panitia pengadaan tahun berjalan seringkali enggan melakukan proses pengadaan untuk kebutuhan tahun anggaran berikutnya. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab keterlambatan pelaksanaan pengadaan;
d.    Proses pengadaan barang /jasa dilaksanakan oleh pegawai yang belum berpengalaman disebabkan anggota panitia dipindahkan  ke tempat tugas yang berbeda;
e.    Proses audit terhadap pelaksanaan pengadaan sulit dilaksanakan setelah lewat beberapa periode anggaran;
f.     Sekretariat yang memiliki peran krusial diisi oleh staf outsources. Dalam praktiknya, karena keterbatasan waktu dari anggota panitia pengadaan, staf outsources melakukan aktivitas vital yang risikonya menjadi beban anggota panitia pengadaan seperti melakukan rekap penilaian penyedia (tanpa ada kesempatan men-chek kembali), membuat draft penetapan pemenang;
Bahwa dengan telah terbentuknya ULP, diharapkan dapat meningkatkan efektifitas penyelenggara pengadaan barang/jasa, efisiensi biaya pengadaan barang/jasa, serta yang terpenting dapat meningkatkan profesionalisme penyelenggara pengadaan barang/jasa, sehingga dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara pengadaan barang/jasa, dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan etika dan prinsip pengadaan barang/jasa.
Namun demikian, seiring dengan telah terbentuknya ULP dalam organisasi K/L/D/I, tetapi justru tidak dapat meminimalisir berbagai penyimpangan yang terjadi, bahkan intensitas penyimpangan justru meningkat, apalagi penyimpangan yang berindikasi pidana korupsi. Menurut penelitian Cahyana Ahmadjayadi dalam disertasinya yang berjudul “Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah yang Baik”, ditemukan bahwa betapa buruknya pengelolaan barang atau jasa di organisasi pemerintah di Indonesia. Dalam data KPK misalnya dari 59 (lima puluh seblina) kasus korupsi yang ditangani, 33 (tiga puluh tiga) kasus merupakan kasus yang berkenaan dengan pengadaan barang atau jasa pemerintah. Ini berarti 55% (lima puluh lima persen) kasus korupsi terkait dengan pengadaan barang atau jasa pemerintah. Khusus tahun 2013 tindak pidana korupsi masih didominasi sektor pengadaan barang/jasa, bahkan data ICW menunjukkan pada semester I 2013 ada 293 (dua ratus sembilan puluh tiga) kasus, sedangkan semester II 2013 ada 267 (dua ratus enam puluh tujuh) kasus, dan 114 (seratus empat belas) kasus diantaranya terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan tersangka berjumlah 314 (tiga ratus empat belas) orang.
Sungguh suatu ironi, dalam hal terbentuknya ULP diharapkan dapat berbicara banyak untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dan berkembang dalam proses pengadaan barang/jasa, tetapi faktanya justru penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi pidana yang sering timbul dan mendominasi perkara tipikor secara nasional. Apakah dapat dikatakan Perpres 54/2010 jo Perka LKPP No. 5/2012 tidak efektif dalam pelaksanaannya ?.
Dalam hal ini, timbul suatu pertanyaan, sampai sejauh mana efektivitas Perpres 54/2010 yang terkait dengan tugas wewenang ULP jo Perka LKPP No. 5/2012. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas suatu peraturan perundang-undangan, perlu dikaji lebih mendalam tentang teori efektivitas hukum. Teori efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisa tentang efektivitas peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang baik adalah bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun dalam realitasnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena undang-undang kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan/atau masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut.
Dalam teori efektivitas hukum terdapat 3 faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum, yaitu keberhasilan dalam pelaksanaan hukum, kegagalan di dalam pelaksanaannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerapan dan pelaksanaannya. Keberhasilan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Kegagalan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil di dalam implementasinya. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faltor yang mempengaruhi dapat dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya.
Ke tiga faktor tersebut apabila dikaitkan dengan efektivitas Perpres 54/2010, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.    Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum
Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum, khusus mengenai Perpres 54/2010 adalah tercapainya maksud dan tujuan dari Perpres 54/2010, yaitu agar pengadaan barang/jasa efisien, terbuka dan kompetitif dan sesuai etika dan prinsip pengadaan barang/jasa, sangat diperlukan bagi ketersediaan barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga dapat meningkatkan pelayanan publik, dan  Faktor keberhasilan dalam pelaksanaan hukum ini yang menjadi tujuan dibentuknya Perpres 54/2010 belum semuanya tercapai, memang diakui secara faktual terbitnya Perpres 54/2010 sedikit atau banyaknya telah menjadikan ULP sebagai center of information atau informasi-informasi terkait pengadaan barang/jasa dapat terkompilasi dan terintegrasi dengan baik. Oleh karena itu ULP dapat menjadi pusat informasi atau rujukan pengadaan barang/jasa. Selain itu dengan terbitnya Perpres 54/2010, juga telah meningkatkan kapasitas penyelenggara pengadaan barang/jasa, termasuk pengembangan prosedur dan tata kerja pengadaan. Namun demikian apabila berbicara efisiensi dan kompetitif dalam pengadaan barang/jasa, secara faktual, justru inefisiensi atau pemborosan keuangan negara sering terjadi, dengan banyaknya kasus markup anggaran pengadaan yang dilakukan dengan cara pengadaan barang/jasa yang tidak selektif dan cenderung memihak (KKN), etika dan prinsip pengadaan barang/jasa banyak dibaikan. Hal ini menunjukkan lemahnya kesadaran hukum penyelenggara pengadaan akan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara/daerah.
b.    Kegagalan dalam pelaksanaan hukum
Perpres 54/2010 mengatur tentang pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh lembaga hukum ULP, dengan maksud salah satunya adalah center of integrity, atau pembentukan ULP diharapkan dapat mencegah KKN yang sering dilakukan antara panitia dengan penyedia barang. Berkaca pada kasus-kasus korupsi di tanah air ini, sebagian besar adalah terkait dengan pengadaan barang/jasa, lebih khususnya terkait dengan praktik KKN antara PA/KPA/PPK/ULP dengan penyedia barang/jasa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Perpres 54/2010 telah gagal dalam pelaksanaan hukumnya.
c.    Faktor-faktor yang mempengaruhinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi ini dapat dikaji dari faktor keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan hukum. Dari faktor keberhasilan ULP dapat menjadi pusat informasi yang terintegrasi tentang pengadaan barang/jasa, sehingga dapat dijadikan rujukan bagi pengadaan barang/jasa lainnya. Selain itu kapasitas penyelenggara pengadaan juga meningkat termasuk di dalamnya pengembangan prosesdur dan tata kerja pengadaan. Dari faktor kegagalan, praktik KKN sering terjadi, sehingga membuat pengadaan barang/jasa tidak efisien, terbuka dan tidak kompetitif.
Berdasarkan ke tiga faktor tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa eksistensi ULP dalam pengadaan barang/jasa yang diatur dalam Perpres 54/2010 jo Perka LKPP No. 5/2012 adalah belum efktiv, hal ini disebabkan masih lemahnya fungsi pengawasan. Perpres 54/2012 telah mengatur eksistensi Aparat Pengawas Intern Pemerintah atau APIP, sistem whistleblower dan peran masyarakat sebagai pengawas dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pasal 116 Perpres 54/2010 menyebutkan :
(1)K/L/D/I wajib melakukan pengawasan terhadap PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan di lingkungan K/L/D/I masing-masing, dan menugaskan aparat pengawasan intern yang bersangkutan untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan;
(2)K/L/D/I  menyelenggarakan sistem whistleblower pengadaan barang/jasa pemerintah dalam rangka pencegahan KKN;
(3)Penyelenggaraan sistem whistleblower sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan oleh LKPP;
(4)Masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Namun demikian, ke tiga sistem pengawasan tersebut masih belum berjalan efektiv, karena indikatornya adalah kasus penyelewengan baik administrasi, maupun pindana terkait dengan KKN masih sering terjadi. Selain itu secara faktual, persekongkolan atau perencanaan melalui KKN, suap, atau gratifikasi antara penyelenggara dengan peserta/pemenang lelang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengadaan barang/jasa pemerintah. Bahkan di dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah dikenal sistem arisan pemenang lelang, atau lelang yang diatur sedemikian rupa; lelang yang melibatkan peserta lelang terafiliasi dengan penyelenggara pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu walaupun sistem telah dibuat dengan baik, tetapi manajemen sumber daya manusia dari sisi moral dan integritas tidak dikembangkan, maka segala sistem yang ada akan sia-sia dibentuk.

C.      Penutup
1.      Kesimpulan
Bahwa peran dan tanggung jawab ULP dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sangat penting, karena sebagai lembaga yang bersifat tetap, ULP dapat berperan sebagai pusat informasi yang terintegrasi terkait dengan pengadaan barang/jasa. Selain itu diharapkan pula dengan adanya ULP, dapat meningkatkan kapasitas ULP secara terencana dan berkelanjutan, termasuk pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia serta pengembangan prosedur dan tat akerja yang lebih baik. Namun demikian dengan masih banyaknya intensitas penyimpangan baik administrasi maupun pidana menunjukkan bahwa Perpres 54/2010 belum berlaku efektiv. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya fungsi pengawasan, dan masih kuatnya karakter KKN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
2.      Saran
Bahwa efektivitas hukum ditentukan dari tingkat keberhasilan hukum mencapai tujuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Bahwa sistem yang telah terbentuk dalam Perpres 54/2010 beserta perubahannya relatif lebih baik dari peraturan pengadaan barang/jasa sebelumnya. Untuk itu agar efektivitas Perpres 54/2010 secara umum dan secara khusus pelaksanaan etika dan prinsip pengadaan barang/jasa oleh ULP/Pokja dapat diimplementasikan dengan baik, maka fungsi pengawasan dan penegakan disiplin pegawai negeri perlu ditingkatkan, dan pendidikan serta pelatihan SDM dari sisi moral dan integritas perlu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan pelatihan secara teknis.

Daftar pustaka
Ateng Syafrudi, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung-jawab, Jurnal Pro Justitia, Edisi IV, Bandung, Universitas Parahyangan, 2000.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Cetakan ke-1, Diadit Media, Jakarta, 2006, hal. 29
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP), “Pengantar Pengadaan Barang/Jasa di Indonesia, Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tingkat Dasar/Pertama, Modul I”, LKPP, 2010.
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2008,
R. Soesilo, Pelajaran Lengkap Hukum Pidana (Sitem Tanya Jawab), Politeia, Bogor, 1981.
Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitian Hukum, AUI, Jakarta, 1982.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung, 1994.
Theodorus M. Tuanakotta, “Petunjuk Pelaksanaan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi, BPK, Sekretariat Jenderal BPK RI., Jakarta, 1983.
Witanto, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Risiko Kontrak dalam Proyek Pengadaan Barang atau Jasa Instansi Pemerintah, Mandar Maju, Bandung, 2012.
Abu Samman Lubis, “Tinjauan Hukum Dalam Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah”, diakses dari www.bppk-depkeu.go.id, pada tanggal 27 Oktober 2014.
 “Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik”, T II, 2006.
Artanti Hendriyana, “Sebanyak 55% Kasus Korupsi Terkait Pengadaan Barang dan Jasa” diakses dari www.unpad.ac.id, tanggal 20 Oktober 2014.
Pengadaan Barang dan Jasa Dominasi Kasus Korupsi 2013” diakses dari www.hukumonline.com, pada tanggal 20 Oktober 2014.
“ULP dan LPSE Pilar Utama Reformasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”, Warta e-procurement, Edisi IV, Juli, 2012.
Hermawan, “Peluang Usaha di Sektor Pengadaan Barang atau Jasa”, Media Indonesia, Selasa 23 Februari 2010.
Surachmin, “Tuntutan Ganti Kerugian dan Tuntutan Perbendaharaan” Seminar Nasional tentang Tuntutan Ganti Kerugian dan Perbendaharaan, Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, Agustus 2007.
Kajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dari Perspektif Hukum Pidana dan Krimolog, diakses dari www.pantau-pengadaan.org, tanggal 27 Oktober 2014.
Workshop pembentukan ULP Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta 8 Februari 2012.
Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas, “Kajian Ringkas Evaluasi Peraturan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara PPN/Bappenas (ULP Sebagai Bagian dari Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas”, Jakarta, 2012.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian I

Kedudukan Hukum Girik Terhadap Sertifikat Hak atas Tanah

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Acara Perdata Bagian III