Kewenangan Mahkamah Agung RI Untuk Melaksanakan Hak Uji Materil Terhadap SK Gubernur Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota yang Dimohonkan Oleh Perusahaan Dikaitkan Dengan Pasal 24 A Ayat (1) UUD Tahun 1945
A.
Latar
Belakang Permasalahan
Upah merupakan hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja
atau buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan. Upah merupakan komponen penting
dalam hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja yang merupakan faktor
pendorong bagi pekerja atau buruh untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan)
menyebutkan bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh.
Kebijakan pemerintah tentang upah ini, menunjukkan bahwa upah merupakan
komponen penting dalam mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu
di dalam penentuan nilai upah ini, pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota, wajib berperan dengan cara memberikan keputusan tentang upah
minimum provinsi/kabupaten/kota.
Peran serta pemerintah dalam penentuan kebijakan pengupahan merupakan
kewajiban hukum dari pemerintah yang bersumber dari undang-undang dan juga
merupakan pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan menyelenggarakan
kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia.
Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa pemerintah menetapkan
upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dalam hal ini adalah
Pemerintah Provinsi (Gubernur) yang berwenang menetapkan upah minimum
berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Penetapan upah minimum
kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur atas dasar rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Penetapan gubernur tentang upah minimum kabupaten/kota dibuat dalam bentuk
Keputusan Gubernur, sesuai dengan perintah Pasal 89 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota dan upah minimum sektor di wilayah provinsi atau kabupaten/kota
ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan.
Keputusan Gubernur tetang upah minimum kabupaten/kota yang telah ditetapkan
seringkali digugat oleh perusahaan-perusahaan yang keberatan atas penetapan
upah tersebut, padahal di dalam peraturan perundang-undangan telah diatur
lembaga hukum pengajuan keberatan atas keputusan gubernur tentang upah minimum
tersebut.
Lembaga hukum tersebut menurut UU Ketenagakerjaan Pasal 90 ayat (2) disebut
penangguhan. Dalam hal ini perusahaan atau pengusaha yang tidak mampu membayar
upah minimum dapat mengajukan permohonan penangguhan. Mengenai pengaturan lebih
lanjut lembaga hukum penangguhan ini tunduk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor : Kep. 231/Men/2003 tentang Tatacara Penangguhan
Pelaksanaan Upah Minimum.
Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum, juga tidak luput dari
gugatan yang diajukan oleh beberapa perusahaan atau pengusaha yang keberatan
atas penetapan upah minimum oleh gubernur berdasarkan keputusannya, seperti
contoh Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 561/Kep.1636-Bangsos/2013 tentang Upah
Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2014, yang digugat oleh salah satu perusahaan di Jawa
Barat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dengan nomor perkara
13/G/2014/PTUN. Bdg.
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, sebelum memeriksa materi
gugatannya, telah mengeluarkan Penetapan No. 13/G/2014/PTUN. Bdg, tanggal 24
Februari 2014, yang pada pokoknya menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima
atau tidak berdasar dengan alasan bahwa Keputusan Gubernur No.
561/Kep.1636-Bangsos/2013 tidak memenuhi unsur individual sebagai suatu
keputusan tata usaha negara, karena tidak merinci nama-nama perusahaan mana
saja dan pekerja/buruh perusahaan yang dituju oleh keputusan tersebut, oleh
karena itu bersifat umum. Sesuai dengan Pasal 2 huruf b Undang-undang No. 4
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian
keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini, keputusan yang bersifat
umum. Berdasarkan pertimbangan tersebut PTUN Bandung menetapkan menyatakan
gugatan tidak diterima.
Bahwa atas dasar Penetapan PTUN Bandung tersebut, pengusaha atau Penggugat,
mengajukan perlawanan terhadap Penetapan Ketua pengadilan Negeri Tata Usaha
Negara Bandung No. 13/G/2014/PTUN-Bdg, tanggal 24 Februari 2014, sesuai dengan
Pasal 62 ayat (3) huruf a Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Terhadap perlawanan tersebut, Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut menyatakan bahwa perlawanan
pelawan dinyatakan ditolak, sehingga Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung
telah tepat dan harus dipertahankan.
Pengusaha sebagai penggugat maupun pelawan, sebagai pihak yang dikalahkan
dalam perkara di PTUN Bandung tersebut, kemudian menempuh upaya lain untuk
menggugat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum tersebut, yaitu
dengan cara mengajukan permohonan hak uji materil terhadap Keputusan Gubernur
Jawa Barat tentang upah minimum kabupaten/kota di Jawa Barat Tahun 2014.
Permohonan hak uji materil didasari oleh alasan bahwa Keputusan Gubernur
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
yaitu :
1.
Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
2.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3.
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
4.
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
5.
Keputusan Presiden No. 107 tentang Dewan Pengupahan;
6.
Peraturan Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi No. 7
tahun 2013 tentang Upah Minimum.
Bahwa dengan dimohonkannya hak uji materil Keputusan Gubernur tersebut ke
Mahkamah Agung, maka menurut Pemohon, Keputusan Gubernur tentang Upah Minimum
tersebut dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat
umum.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan permasalahan yang
menyangkut sifat dari Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum
Kabupaten/Kota, yang dikaitkan dengan Putusan PTUN Bandung dan permohonan hak
uji materil ke Mahkamah Agung RI. Pertama berkaitan dengan Penetapan PTUN yang
menyatakan bahwa Keputusan Gubernur tersebut bukanlah Keputusan TUN sebagaimana
dimaksud UU PTUN, karena sifatnya yang umum. Dengan demikian tidak terpenuhi
unsur beschikking dalam Keputusan
Gubernur tersebut. Kedua dengan dinyatakannya Keputusan Gubernur tersebut
sebagai keputusan yang bersifat dan mengikat umum, apakah dapat dikatakan bahwa
Keputusan Gubernur tersebut bersifat regeling,
sehingga dapat diajukan permohonan Hak Uji Materil ke Mahkamah Agung RI.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan dikemukakan beberapa teori hukum
di bawah ini, termasuk peraturan peerundang-undan.
B.
Dasar Hukum
1. Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 :
Pasal 24 A ayat
(1) :
Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.
2. Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
:
Pasal 2 ayat (4)
:
“urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh
satu) bidang urusan pemerintahan, meliputi :
a …
b ...
n. Ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian”
3. Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
Pasal
88 :
a.
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
b.
Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh;
c.
Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi :
a.
Upah minimum;
b.
...
c.
...
d.
Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf (a) berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal
89 :
(1)
Upah minimum sebagaimana dimaksud Pasal 88 ayat (3) huruf
a dapat terdiri dari :
a.
Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
b.
Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2)
Upah minimum sebagaimana dimaksud ayat (1) diarahkan
kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi da/atau Bupati/Walikota.
Pasal
90 :
(1)
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud Pasal 89;
(2)
Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan;
(3)
Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dalam Keputusan Menteri.
4. Intruksi Presiden
No. 9 Tahun 2003 tentang Kebijakan Upah Minimum, Diktum ke-2 angka (5) huruf
(c) :
“Gubernur
untuk menetapkan dan mengumumkan upah minimum Kabupaten/Kota setelah upah
minimum provinsi ditetapkan, dalam hal Kabupaten/Kota yang bersangkutan
menetapkan upah minimum”
5. Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Minimum :
Pasal 2 :
a. Pengusaha
dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum;
b. Dalam hal
pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan
penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Pasal 3 :
(1) Permohonan
penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2)
diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum
tanggal berlakunya upah minimum;
(2) Permohonan
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kesepakatan
tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh yang
tercatat;
Pasal
4 :
(1) Permohonan penangguhan
pelaksanaan upah minimum harus disertai dengan :
a. Naskah asli
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/buruh atau
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;
b. Laporan keuangan
perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta
penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
c. Salinan akta
pendirian perusahaan;
d. Data upah menurut
jabatan pekerja/buruh;
e. Jumlah
pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang dimohonkan penangguhan
pelaksanaan upah minimum;
f. Perkembangan
produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi
dan pemasaran 2 (dua) tahun yang akan dating.
(2) Dalam hal
perusahaan berbadan hukum laporan keuangan perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b harus diaudit oleh akuntan public;
(3) Berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila diperlukan Gubernur
dapat meminta akuntan public untuk memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian
ketidak-mampuan perusahaan;
(4) Berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Gubernur menetapkan penolakan
atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah menerima saran
dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi.
6. Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum;
Pasal 6 :
a. Gubernur
menetapkan UMP;
b. UMP sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing gubernur secara
serentak setiap tanggal 1 November.
Pasal 7 :
(1) Selain UMP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, gubernur dapat menetapkan UMK atas
rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan rekomnendasi Bupati/Walikota;
(2) UMK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur
selambat-lambatnya tanggal 21 November setelah penetapan UMP;
(3) Besaran UMK
sebagaimana dimaksud ayat (1) lebih besar dari UMP.
Pasal
8 :
(1)
Upah minimum yang ditetapkan gubernur sebagaimana
dimaksud Pasal 6 dan Pasal 7 berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun
berikutnya;
(2)
Peninjauan besaran upah minimum sebagaimana dimaksud
ayat (1) dilakukan 1 (satu) tahun sekali.
7. Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Pasal 1 angka (2) :
Peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal
7 :
(1) Jenis hierarki
peraturan perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan
Pemerintsah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f. Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 8 :
(1)
Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;
(2)
Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Pasal
9 ayat (2) :
“dalam
hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan
dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”
8. Undang-undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
Pasal 20 ayat (2)
huruf b :
Mahkamah Agung
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
9. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009;
Pasal
31 :
(1) Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang;
(2) Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
(3) Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud ayat
(2) dapat diambil, baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
(4) Peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(5) Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
Pasal
31 A :
(1) Permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang diajukan langsung oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
Agung dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia;
(2) Permohonan
sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap
haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, yaitu :
a. Perorangan
warga negara Indonesoa;
b. Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara KesatuN Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. Badan
hukum publik atau badan hukum privat.
(3) ...
(4) …
(5) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi
syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima;
(6) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan;
(7) ...
(8) ...
(9) Dalam
hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
10. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang No.
51 Tahun 2009.
Pasal 1
angka (9) :
Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum.
Pasal 2
:
Tidak
termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini
:
1.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata;
2.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan bersifat umum;
3.
Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan
persetujuan;
4.
Keputusan tata ushaa negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHPidana dan KUHAPidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana;
5.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar
hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
6.
Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara
Negara Indonesia;
7.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilu;
C.
Teori dan Asas
Hukum
1.
Teori Kewenangan
Istilah teori kewenangan berasal dari
Bahasa Inggris, yaitu authority of theoray,
yang merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kewenangan dari
organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan hukum
publik maupun hukum privat.[1]
Konsep teoritis mengenai kewenangan
menurut H.D. Stoud, adalah:[2]
“Keseluruhan aturan-aturan berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik”
Berdasarkan pengertian kewenangan
tersebut terdapat 2 (dua) unsur yang terkadung di dalamnya, yaitu adanya aturan-aturan
hukum dan sifat hubungan hukum. Sementara Ateng Syafrudi menyajikan pengertian
wewenang, sebagai berikut :[3]
“ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan
wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan
wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan
formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi
wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”
Berdasarkan konsep kewenangan
tersebut di atas, terdapat 2 (dua) unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu
adanya kekuasaan formal dan kekuasaan diberikan oleh undang-undang.
Dalam konstruksi ini, kewenangan
tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan, namun
kewenangan juga diartikan :[4]
a. Untuk menerapkan dan mengakkan hukum;
b. Ketaatan yang pasti;
c. Perintah;
d. Memutuskan;
e. Pengawasan;
f. Yurisdiksi;
g. Kekuasaan.
2.
Bantuk-bentuk
Keputusan Adminitrasi Negara dan
Pengertiannya Menurut Doktrin dan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum. Selayaknya sebuah negara hukum, maka
harus mengandung unsur-unsur, yaitu :[5]
a. Pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan undang-undang (asas legalita) dimana kekuasaan dan
wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh UUD 1945
dan undang-undang;
b. Dalam
negara hukum, hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa yang
bersangkutan;
c. Kekuasaan
pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, tetapi harus
diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan
terhadap yang lain sehingg tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara
lembaga-lembaga kenergaraan tersebut;
d. Perbuatan
pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk
dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak yang diberi wewenang untuk
menilai apakah perbuatan pemerintah tersebut melawan hukum atau tidak.
Berdasarkan unsur-unsur negara hukum tersebut, setiap
tindakan atau perbuatan pemerintah harus dilandasi oleh undang-undang, dan oleh
karenannya setiap perbuatan pemerintah, baik perbuatan langsung maupun
perbuatan dalam membentuk kebijakan atau ketetapan dapat dilakukan upaya hukum
melalui saluran lembaga hukum yang telah disediakan, dalam hal ini Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam hal menguji setiap keputusan tata usaha negara yang
bersifat mengikat, dan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi dalam hal
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan undang-undang
terhadap UUD 1945.
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945, memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD, yang dilakukan
oleh Presiden. Menurut Jimly Asshiddiqie, pemerintah sebagai fungsi kekuasaan
mempunyai 4 (empat) fungsi kekuasaan yang disebut
dengan catur praja[6]:
a.
Regeling (pengaturan) yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan
atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari
fungsi pengaturan ini tidaklah Undang-Undang dalam arti formil (yang dibuat
oleh presiden dan DPR), melainkan Undang-Undang dalam arti materiil yaitu
setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat
terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara;
b.
Bestuur (pemerintahan) yaitu Dalam negara yang modern
fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas
pada pelaksanan Undang-Undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan
kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik;
c.
Rechstpraak (peradilan) yaitu fungsi pengawasan
yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkrit,
supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum
dengan seadil-adilnya;
d.
Politie yaitu fungsi untuk menjaga ketertiban dalam
masyarakat (sosial order) dan peri kehidupan bernegara
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan
Indonesia, fungsi kekuasaan pemerintah terdiri dari DPR sebagai lembaga
legislatif atau pembentuk undang-undang, Presiden sebagai eksekutif atau
perencana dan pelaksana pembangunan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
sebagai yudikatif atau pengawas atau lembaga peradilan yang memeriksa dan
memutus sengketa atau perkara-perkara di dalam pemerintah menjalankan
undang-undang, serta Kepolisian dan TNI Republik Indonesia sebagai lembaga yang
berfungsi menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri akibat ancaman,
tantangan, hambatan maupun gangguan yang berasal dari dalam negeri maupun dari
luar negeri.
Berkaitan dengan
fungsi pemerintah yang bersifat pemerintahan (Bestuur), fungsi tersebut diwujudkan dalam tindakan hukum tata
usaha negara yang bersifat publik, yaitu membentuk peraturan yang bersifat umum
dan abstrak (Regeling) dan membuat
peraturan yang bersifat individual dan konkrit (Beschikking). Walaupun demikian dalam
penyelenggaraan kenegaraan tidak selamnya merupakan tindakan alat Negara yang
organisatoris termasuk bestuur atau administrasi bias saja dilakukan oleh alat
Negara di luar bestuur, yaitu alat-alat Negara yang tugas utamanya melakukan
fungsi perundang-undangan dan peradilan (de
wetgevende en de rechtelijkemacht) juga berwenang mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara (besichkking)[7].
2.1. Pengertian Keputusan Menurut Ahli Hukum dan
Peraturan Perundang-undangan
Pengertian dari beschikking
diperkenalkan di Belanda oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven dan masuk ke
Indonesia melalui Prins. Istilah beschikking
ini di negera Perancis terkenal dengan nama Acte
Administratif. Kemudian pengertian Acte
Administratif tersebut dimasukkan ke dalam Ilmu Hukum Jerman oleh Otto
Meyer dengan diberi nama Verwaltungsangkt[8]. Perkataan ini di
Indonesia ada yang menyalin dengan istilah ketetapan. Menurut Kuntjoro
Purboparanoto, karena istilah ketatapan itu sudah mempunyai arti yang yuridis
teknis, yaitu sebagai Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berlaku
umum (keluar maupun ke dalam), maka seyogyanyalah kita menggunakan istilah yang
masih mulus (neutral) guna beschikking
itu misalnya “keputusan”[9].
Menurut Prins beschikking adalah
suatu tindakan hukum sepihak di bidang pemerintahan, dilakukan oleh alat
penguasa berdasarkan kewenangan khusus.[10]Menurut
Utrecht, beschikking adalah suatu
perbuatan berdasarkan hukum publik yang bersegi satu adalah yang dilakukan oleh
alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa. Menurut Van
Poelje, pernyataan kehendak suatu alat pemerintahan dari penguasa pusat yang
bersifat sepihak dan ditujukan keluar, berdasarkan kewenangan atas dasar satu
peraturan hukum tata Negara atau hukum tata pemerintahan dan yang tujuannya
ialah perubahan atau pembatalan sesuatu hubungan hukum yang ada atau penetapan
sesuatu hubungan hukum yang baru ataupun yang memuat sesuatu penolakan
pemerintah-penguasa terhadap hal-hal tersebut.[11]
Menurut AM. Donner penetapan adalah tindakan
pemerintahan dalam jabatan yang secara sepihak dan disengaja dalam suatu ikhwal
tertentu, menetapkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang sedang
berjalan atau menimbulkan suatu hubungan hukum baru atau menolak salah satu
yang dimaksud.[12]
Berdasarkan pengertian keputusan menurut para ahli
tersebut, terdapat beberapa unsure dalam keputusan, yaitu :
a.
Tindakan hukum dalam
jabatan
Unsur ini mengandung makna bahwa jabatan yang dimaksud
dapat melakukan tindakan adalah tidak terbatas pada aparatur eksekutif, tetapi
juga legislative dan yudikatif.
b.
Bersifat sepihak dan
sengaja
Keputusan dikatakan sepihak, karena dilakukan dengan
bergantung kepada badan atau pejabat yang memiliki wewenang untuk berbuat
demikian. Pejabat yang memangku jabatan melaksanakan kewajiban berdasarkan
kewenangan jabatannya yang bertindak dengan sengaja didorong oleh kewajibannya
sebagai pejabat.
c.
Dalam hal tertentu
Suatu penetapan itu berbeda dengan peraturan.
Penetapan berhubungan dengan suatu hal yang konkrit, sedangkan peraturan adalah
berhubungan dengan pengaturan yang bersifat umum. Menurut ajaran stufenbau des recht dari Hans Kelsen,
sistem hukum merupakan suatu proses yang terus menerus. Dimulai dari yang
abstrak menjadi yang positif selanjutnya sampai menjadi nyata (konkret). Mulai
dari relative terus proses positif, selanjutnya ke proses nyata. Menurut Kelsen
semua norma hukum itu merupakan suatu kesatuan dengan struktur piramida.
Menurut teori ini dasar dari suatu norma ada pada norma yang lebih tinggi
tingkatannya. Dalam hal ini norma yang paling tinggi disebut grundnorm, yang sifatnya masih relative
atau abstrak diturunkan menjadi norma yang positif atau generallenorm. Selanjutnya generallenorm
diindividualisasikan menjadi norma yang nyata (konkret).[13]
Berdasarkan teori Kelsen, Bachsan Mustofa menyebutkan
bahwa ketetapan itu sebagai Individual
Norm atau norma yang berlaku bagi subjek hukum tertentu atau dengan
perkataan lain suatu norma yang mengikat subjek hukum tertentu.[14]
Selain pengertian keputusan menurut ahli, Pasal 1
angka (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang No. 51 Tahun
2009 tentang Pengadilan tata Usaha Negara menyebutkan bahwa :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat
dilihat beberapa unsure dalam pengertian keputusan tata usaha Negara, yaitu :
a.
Suatu penetapan tertulis;
Istilah penetapan tertulis menunjukkan kepada isi bukan kepada bentuk
keputusan, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya. Persyaratan
tertulis ini untuk kemudahan pembuktian dan akan merupakan suatu keputusan
badan atau pejabat tata usaha Negara menurut undang-undang ini apabila sudah
jelas badan atau pejabat tata usaha Negara mana yang mengeluarkan, maksud dan
mengenai hal apa isi tulisan itu serta kepada siapa tulisan itu ditujukan dan
apa yang ditetapkan di dalamnya.[15]
b.
Dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan
Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan tata Usaha Negara,
disebutkan bahwa badan atau pejabat tata usaha Negara adalah badan atau pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bahwa adanya unsure melaksanakan urusan pemerintahan artinya bahwa apa
dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
melaksanakan urusan pemerintahan dapat dianggap sebagai badan atau pejabat tata
usaha Negara.
c.
Berisi tindakan hukum
Tindakan hukum tata usaha Negara adalah suatu keputusan yang
menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskan suatu hubungan hukum
tata usaha Negara yang telah ada. Untuk dianggap sebagai suatu penetapan
tertulis, maka tindakan hukum tata usaha Negara harus menimbulkan suatu akibat
hukum. Unsur ini untuk membedakan tindakan pemerintah yang merupakan tindakan
hukum dengan perbuatan pemerintah yang merupakan tindakan faktual. Wewenang
PTUN hanyalah perbuatan hukum pemerintah yang merupakan tindakan hukum
sedangkan yang faktual tidak. Unsure yang terakhir ini tetap menjadi wewenang
peradilan umum melalui gugatan ganti rugi.
d.
Bersifat konkrit,
individual dan final
Konkrit diartikan objek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu dan dapat ditentukan. Dengan perkataan lain
wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan kasat mata, kecuali
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan terakhir
dengan Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan tata Usaha Negara.
Individual berarti keputusan tersebut tidak bersifat umum atau tidak
ditujukan kepada umum, apabila yang dituju lebih dari satu orang atau badan
hukum perdata, maka setiap nama orang atau badan tersebut, disebutkan di dalam
keputusan.
Final berarti sudah definitive, keputusan yang tidak lagi memerlukan
persetujuan dari instansi atasan atau instansi lainnya, karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan suatu perubahan atau keadaan hukum
yang telah ada, karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum.
Sebagai suatu tindakan hukum, maka selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan
akibat hukum, bukan merupakan tindakan hukum dan karenanya bukan suatu
penetapan tertulis. Selain sifatnya yang konkrit, individual dan final, menurut
Maria Farida masih ada sifat lainnya dari suatu keputusan, yaitu suatu
keputusan bersifat sekali-sekali (enmahlig),
berbeda dengan sifat peraturan yang berlaku terus menerus (dauerhaftig).[16]
2.2. Pengertian Hukum
Peraturan
Hukum Negara adalah hukum yang ditetapkan dengan
keputusan kekuasaan Negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan atau
pengadilan.[17] Keputusan-keputusan yang
bersifat umum dan abstrak (general and
abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling),
sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang
bersifat atau berisi penetapan administrative beschikking) atau keputusan yang berupa vonnis hakim yang lazimnya
disebut dengan istilah keputusan. Oleh karena itu terkait pengaturan
menghasilkan peraturan, yaitu hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya
tidak disebut dengan istilah lain, kecuali peraturan.[18]
Hasil dari kegiatan pengaturan adalah berupa
peraturan. Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, peraturan tersebut dapat diartikan sebagai
peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka (2)-nya menyebutkan bahwa
peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang menuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan
perbedaan yang paling terlihat antara pengertian keputusan dengan peraturan
perundang-undangan, yaitu dari sifat peraturan yang umum, sementara sifat keputusan adalah
individual.
Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan adalah peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 dan Pasal 8, yaitu :
a.
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi
g.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Selain bentuk peraturan perundang-undangan
tersebut di atas, termasuk juga peraturan sebagai berikut :
a.
Peraturan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
b.
Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat;
c.
Peraturan Dewan Perwakilan
Daerah;
d.
Peraturan Mahkamah Agung;
e.
Peraturan Mahkamah Konstitusi;
f.
Peraturan Badan Pemeriksa
Keuangan;
g.
Peraturan Komisi Yudisial;
h.
Peraturan Bank Indonesia;
i.
Peraturan Menteri;
j.
Peraturan badan, lembaga
atau komisi yang setingkat yang dibentuk undang-undang atau pemerintah atas
perintah undang-undang;
k.
Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi;
l.
Peraturan Gubernur;
m.
Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
n.
Peraturan Bupati/Walikota;
o.
Peraturan Kepala Desa atau
yang setingkat.
Peraturan-peraturan tersebut diakui
keberadaannya dan memunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibetuk berdasarkan
kewenangan.
3.
Kedudukan
Peraturan Kebijakan (Beleidregel)
Dalam praktik pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, sering dijumpai
produk hukum pejabat Tata Usaha Negara berupa peraturan kebijakan (beleidregel, policy rule), yang memiliki
karakter yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Produk peraturan
kebijakan tidak terlepas dari penggunaan Freies
Ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan
merumuskan kebijaksanaannya dalam berbagai bentuk “Juridische regel” seperti peraturan pedoman, pengumuman, surat
edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu.[19]
Freies Ermessen merupakan kebebasan administrasi Negara melakukan suatu tindakan
(dengan berbuat atau tidak berbuat) untuk mencapai tujuan atau manfaat tertentu (doelmatigheid) di luar batas ketentuan yang berlaku. Namun demikian
tidak berarti dapat dilakukan secara atau untuk sesuatu yang melawan hukum.
Kendali terhadap Freies Ermessen
adalah asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).[20]Freies Ermessen dalam pelaksanannya
memperhatikan kepantasan atau kepatutan sesuai dengan keadaan factual yang
dihadapi pejabat administrasi.[21]
Peraturan kebijaksanaan (beleid regels), adalah merupakan produk
hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas
dasar prinsip freies ermessen[22].
Kebebasan bertindak Freies
Ermessen dilaksanakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan konkrit, yang
pada dasarnya :[23]
a. Belum atau tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelesaian masalah tersebut, padahal masalah tersebut menuntut segera
diselesaikan;
b. Peraturan perundang-undangan telah memberikan kebebasan untuk bertindak
penuh;
c. Adanya delegasi dari suatu peraturan perundang-undangan.
Kebebasan bertindak tersebut diwujudkan dalam bentuk penerbitan
peraturan kebijakan dalam berbagai formatnya. Pembentukan peraturan kebijakan
ini hal lumrah yang sering terjadi dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia.
Akan tetapi dalam bentuknya sebagai suatu peraturan kebijakan (beleidsregel/policy
rules), Bagir Manan mengatakan bahwa peraturan kebijakan bukan
peraturan perundang-undangan sehingga asas-asas pembatasan dan pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan
kebijakan. Suatu peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid),
karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundangundangan untuk keputusan
membuat peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan Freies
ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi Negara yang bersangkutan untuk
membuat peraturan perundang-undangan (baik karena secara umum tidak berwenang
maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak berwenang mengatur). Selanjutnya
dikatakannya bahwa pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid
dan karena itu batu ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan
pemerintah yang layak[24].
Dengan demikian tidak mudah untuk menentukan apakah suatu peraturan
benar-benar merupakan suatu peraturan perundang-undangan serta apakah suatu
keputusan benar-benar suatu keputusan. Bagir Manan dan Kuntana Magnar
mencontohkan Undang-Undang tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN)
atau Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran, dilihat bentuk hukumnya adalah
Undang-Undang, tetapi dilihat dari segi isi atau materinya akan lebih mendekati
ketetapan daripada peraturan perundang-undangan. Begitu pula dengan
Undang-Undang tentang pembentukan Pengadilan Tinggi atau pembentukan suatu
Daerah Tingkat II lebih bersifat penetapan daripada suatu peraturan
perundang-undangan.[25]
Peraturan kebijakan bukan
merupakan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak secara
langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung relevansi hukum.[26]
Namun tidak berarti seseorang yang tidak menjalankan substansi peraturan
kebijakan tidak dapat dikenai sanksi hukum. Setiap perbuatan yang tidak
melaksanakan substansi peraturan kebijakan tentu saja akan memiliki konsekuensi
tertentu, meskipun tidak berupa sanksi hukum pidana atau perdata. Jika pejabat
administrasi berwenang membentuk peraturan kebijakan, dengan sendirinya
pejabata administrasi tersebut berwenang menerapkan sanksi atau konsekuensi
terhadap setiap perbuatan yang melanggar substansi peraturan kebijakan.[27]
D.
Analisa
Permasalahan
Analisa
terhadap kewenangan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang dalam tulisan ini terkait pertama analisa
singkat tentang pokok permohonan, kedua kewenangan formal Mahkamah
Agung menguji peraturan perundang-undangan, kedua kriteria peraturan
perundang-undangan yang menjadi objek hak uji materil di Mahkamah Agung dan
kaitannya dengan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang
Penetapan Upblah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2014 yang menjadi objek
penulisan, termasuk ke dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan
kebijakan.
1.
Analisa
Singkat tentang Pokok Permohonan
Secara singkat dapat disebutkan, bahwa alasan hukum permohonan hak uji
materiil atas Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Upah Minimum
Kabupaten/Kota Tahun 2014, adalah karena Keputusan Gubernur a quo menurut
pemohon bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Khusus peraturan perundang-undangan teknis yang
terkait dengan ketenagakerjaan, Keputusan Gubernur a quo dianggap bertentang
dengan Pasal 89 ayat (3) jo ayat (1) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan
(2), Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013
tentang Upah Minimum.
Berdasarkan pokok permohonan Pemohon hak uji materiil, yang terkait dengan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dapat dikatakan bahwa alasan
hukum yang dikemukakan oleh Pemohon bukan merupakan alasan hukum yang dimaksud
untuk melakukan uji materiil, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 A ayat (3)
huruf (b) Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang No. 3 Tahun
2009 tentang Mahkamah Agung, karena alasan hukum Pemohon lebih berbicara
mengenai teknis, prosedur atau mekanisme dalam menetapkan upah minimum, yang
seharusnya dilakukan sebelum Keputusan Gubernur a quo ditetapkan.
Alasan yang dikemukakan pemohon seharusnya berkaitan dengan materi muatan
ayat, pasal dan/atau bagian dari Keputusan Gubernur a quo yang dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengenai
materi muatan peraturan perundang-undangan didefinisikan sebagai materi yang
dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan
hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka (13) Undang-undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam hal ini secara materi muatannya, Keputusan Gubernur a quo tidak ada 1
(satu) pun di dalam penetapannya yang bertentangan materi muatannya dengan
peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Keputusan PresidenNo. 107 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013. Justru keberadaannya
mendukung peraturan perundang-undangan
tersebut di atas, karena memang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
tersebut. Dengan demikian alasan hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam
pokok permohonannya tidaklah berdasarkan hukum dan haruslah ditolak atau tidak
dapat diterima.
2.
Kewenangan formal
Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap
Undang-undang.
Berdasarkan
Pasal 24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Sebagai
pelaksanaan dari UUD 1945, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 20 ayat (2) huruf b, mengatur bahwa Mahkamah Agung RI berwenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Lebih
lanjut Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang No. 3 Tahun
2009 tentang Mahkamah Agung RI, khususnya dalam Pasal 31 dan Pasal 31 A, mengatur
juga kewenangan Mahkamah Agung RI dalam
melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan
terhadap undang-undang.
Pasal
31 menyebutkan :
(1)
Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang;
(2)
Mahkamah Agung menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku;
(3)
Putusan mengenai tidak sahnya peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diambil, baik
berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
(4)
Peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
(5)
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Selanjutnya
Pasal 31 A menyebutkan :
(1) Permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang diajukan langsung oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
Agung dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia;
(2) Permohonan
sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap
haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, yaitu :
a. Perorangan
warga negara Indonesoa;
b. Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara KesatuN Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. Badan
hukum publik atau badan hukum privat.
(3) ...
(4) …
(5) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi
syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima;
(6) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan;
(7) ...
(8) ...
(9) Dalam
hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak
bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal
9 ayat (2) :
“dalam
hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan
dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”
Sesuai
dengan teori kewenangan yang dikemukakan oleh Ateng Syafrudi, kewenangan
merupakan kekuasaan formal yang berasal atau diberikan oleh undang-undang yang terdiri
dari wewenang-wewenang tertentu yang tidak hanya melingkupi wewenang membuat
keputusan pemerintah, tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas
pemerintahan.
Dengan
demikian berdasarkan ketentuan undang-undang dan teori kewenangan tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung mendapatkan kewenangan berdasarkan
kewenangan formal yang dimilikinya atas dasar undang-undang. Oleh karena itu
Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang.
3.
Kriteria
peraturan perundang-undangan yang menjadi objek hak uji materil di Mahkamah
Agung dan kaitannya dengan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun
2014.
Hak
uji materil yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung adalah terbatas pada
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Pasal
1 angka (2) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan Pengertian peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak
(general and abstract) biasanya
bersifat mengatur (regeling),
sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang
bersifat atau berisi penetapan administrative (beschikking) atau keputusan yang berupa vonnis hakim yang lazimnya
disebut dengan istilah keputusan. Oleh karena itu terkait pengaturan
menghasilkan peraturan, yaitu hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya
tidak disebut dengan istilah lain, kecuali peraturan. Berdasarkan sifatnya
peraturan perundang-undangan mengikat secara umum, hal ini yang membedakannya
dengan keputusan (beschikking) yang
mempunyai kekuatan mengikat individual, dan daya berlaku yang terbatas tidak
terus menerus. Sementara peraturan perundang-undangan berlaku terus menerus.
Selanjutnya
yang dimaksud peraturan perundang-undangan sesuai dengan bentuk dan hierarkinya
diatur dalam Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkan Jenis hierarki peraturan perundang-undangan
terdiri atas :
a. Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan
Pemerintsah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f. Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sesuai dengan hierarkinya.
Selanjutnya
Pasal 8 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, mengatur peraturan perundang-undangan lain, selain yang
diatur dalam Pasal 7, yaitu :
a. Peraturan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
b. Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat;
c. Peraturan Dewan
Perwakilan Daerah;
d. Peraturan
Mahkamah Agung;
e. Peraturan
Mahkamah Konstitusi;
f. Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan;
g. Peraturan Komisi
Yudisial;
h. Peraturan Bank
Indonesia;
i.
Peraturan Menteri;
j.
Peraturan Badan, Lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah
atas perintah undang-undan;
k. Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;
l.
Peraturan Gubernur;
m. Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
n. Peraturan
Bupati/Walikota;
o. Peraturan Kepala
Desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat 22 (dua
puluh dua) bentuk peraturan perundang-undangan, maka yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan yang menjadi hak uji materiil Mahkamah Agung
adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sampai dengan
peraturan kepala desa atau yang setingkatnya.
Terkait dengan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa
Barat No. 561/Kep.1636-Bangsos/2013 tentang upah minimum
kabupaten/kota di Jawa Barat Tahun 2014, apabila dikaitkan dengan
bunyi Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka Keputusan Gubernur tersebut tidak masuk ke
dalam salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian apakah
dapat dikatakan bahwa Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang Upah Minimum
Kabupaten/Kota tahun 2014 bukan objek hak uji materiil di Mahkamah Agung.
Mengenai
hal tersebut perlu dikaji apakah Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang
Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2014 termasuk tindakan pejabat tata usaha
Negara yang bersifat beschikking atau
regeling atau bahkan bersifat beleidregel.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa keputusan tata usaha Negara adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bersifat konkret, individual
dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum. Sementara pengertian
peraturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
pengertian beschikking dan Regeling sebagaimana tersebut di atas,
apabila dikaitkan dengan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang Upah
Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2014, maka akan didapat pengertian, apakah
Keputusan Gubernur tersebut masuk ke dalam istilah beschikking atau regeling.
1.
Unsur penetapan
tertulis
Baik
beschikking maupun regeling sama-sama berbentuk suatu
penetapan tertulis, maksud dibuat secara tertulis, baik beschikking maupun regeling
lebih menunjukkan kepada isi bukan bentuknya. Selainitu untuk mengetahui
badan/lembaga/intansi mana yang mengeluarkan, maksud dan tujuan dibentuknya
suatu beschikking atau regeling tersebut dan mengenai hal apa
serta ditujukan kepada siapa perbuatan hukum tata usaha Negara tersebut.
2.
Unsur dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha Negara atau lembaga/instansi yang berwenang.
Baik
beschikking maupun regeling sama-sama diterbitkan atau
dikeluarkan oleh pejabat tata usaha Negara, lembaga atau instansi yang
berwenang. Dalam hal ini kewenangan yang didapat sama-sama berdasarkan
kewenangan yang lahir atas perintah peraturan perundang-undangan.
3.
Unsur isi dari beschikking dan regeling
Isi
dari suatu beschikking adalah
tindakan hukum tata usaha Negara yang menciptakan atau menentukan mengikatnya
atau menghapuskan suatu hubungan hukum tata usaha Negara yang sudah ada,
sementara isi dari suatu regeling
adalah norma hukum yang sifatnya mengatur.
4.
Unsur sifat
mengikatnya beschikking dan regeling
Sifat
mengikatnya suatu beschikking adalah
konkrit, individual dan final, dalam arti objek
yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu
dan dapat ditentukan, tidak bersifat umum atau tidak ditujukan kepada umum,
sudah definitive, keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari
instansi atasan atau instansi lainnya. Sementara regeling mengatur hal yang abstrak, bersifat umum tidak tertuju
pada individu atau badan tertentu. Selain itu mengikatnya suatu beschikking terbatas pada waktu, atau
sekali selesai (enmahlig), sementara
mengikatnya suatu regeling secara
terus menerus (dauherhaftig).
5.
Unsur melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
Unsur ini terkait dengan prosedur teknis pembuatan
dan penerbitan suatu keputusan tata usaha Negara. Suatu Beschikking tidak memerlukan prosedur teknis dalam pembuatannya,
sementara suatu regeling memerlukan
prosedur teknis tersebut sebagai dasar pengesahannya sebagai suatu regeling. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Seperti contoh dalam pembentukan undang-undang diperlukan
perencanaan penyusunannya melalui proglenas yang dibuat dan disusun serta
disetujui DPR, untuk peraturan daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota
melalui progleda, yang dibuat dan disuse serta disetujui oleh DPRD.
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa :
a. Keputusan
Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2014
merupakan tindakan hukum tata usaha Negara karena bersumber pada suatu
ketentuan hukum tata usaha Negara yaitu peraturan perundang-undangan mengenai
pemerintahan daerah dan ketenagakerjaan, dan bertujuan untuk menimbulkan akibat
hukum, yaitu hak dan kewajiban pada pihak tertentu, dalam arti kewajiban bagi
perusahaan-perusahaan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat untuk memberikan upah dan
hak pekerja/buruh untuk menerima upah sesuai dengan yang ditetapkan keputusan a
quo. Dengan demikian unsur penetapan tertulis pada Keputusan Gubernur telah
terpenuhi.
b. Berkaitan dengan
unsur konkrit, maka dapat dikatakan bahwa Keputusan Gubernur Provinsi Jawa
Barat tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2014, merupakan keputusan yang
bersifat konkrit, karena berisi tentang upah minimum kabupaten/kota di Jawa
Barat tahun 2014, yaitu menetapkan upah minimum bagi 26 (dua puluh enam)
Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2014, termasuk Kota Depok dan tata cara
pembayaran upah tersebut.
c. Berkaitan dengan
adanya besaran upah minimum yang berlaku bagi Kabupaten/Kota tahun 2014, juga
adanya atau dicantumkannya nama-nama Kabupaten/Kota. Demikian juga karena tidak
dibuat rincian mengenai nama-nama perusahaan mana saja dan pekerja/buruh
perusahaan yang dituju oleh surat keputusan tersebut, maka surat keputusan a
quo berlaku mengikat terhadap semua perusahaan dan para buruh yang sudah ada
atau yang aka nada selama surat keputusan a quo berlaku. Dengan demikian karena
tidak disebutkan secara jelas dan terinci subjek maupun jangkauan berlakunya
surat keputusan a quo, maka dapat dikatakan berlakunya surat keputusan a quo
adalah bersifat umum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan
terakhir dengan Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyebutkan tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha
negara menurut undang-undang ini :
8.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata;
9.
Keputusan
tata usaha negara yang merupakan bersifat umum;
10.
Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan
persetujuan;
11.
Keputusan tata ushaa negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHPidana dan KUHAPidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana;
12.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar
hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
13.
Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara
Negara Indonesia;
14.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilu;
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, maka Keputusan Gubernur tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota
Tahun 2014 berlaku umum dan tidak memenuhi syarat sebagai suatu beschikking dan bukan merupakan objek
perkara Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karenanya gugatan tata usaha Negara
yang pernah diajukan oleh PT. XACTI INDONESIA terhadap berlakunya Keputusan
Gubernur a quo, tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung.
Namun
demikian dengan sifat berlaku umum bagi Keputusan Gubernur a quo, tidak serta
merta Keputusan Gubernur a quo termasuk ke dalam tindakan tata usaha Negara
berbentuk regeling, karena sifat dari
regeling adalah berlaku terus menerus
(dauerhaftig), sementara dengan judul
Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2014,
menunjukkan bahwa keputusan a quo hanya berlaku tahun 2014, tidak berlaku untuk
tahun 2015 dan seterusnya. Terlebih lagi menurut Pasal 8 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013, disebutkan bahwa Upah minimum
yang ditetapkan gubernur berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun
berikutnya, dan Peninjauan besaran upah minimum dilakukan 1 (satu) tahun
sekali. Dengan demikian Keputusan Gubernur a quo mempunyai jangka waktu berlaku
hanya 1 (satu) tahun. Dengan demikian Keputusan Gubernur a quo berlaku sekali
habis (enmahlig) dan tidak terus
menerus, sehingga sifat regeling dalam Keputusan Gubernur a quo juga tidak
terpenuhi.
Oleh
karena tidak memenuhi unsur atau sifat regeling,
maka sudah sepatutnya permohonan keberatan yang diajukan oleh PT. XACTI
INDONESIA mengenai hak uji materil Keputusan Gubernur a quo yang dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, haruslah ditolak.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka
Keputusan Gubernur a quo, di satu sisi tidak masuk ke dalam kategori beschikking, di satu sisi lainnya juga
tidak masuk dalam kategori regeling.
Untuk itu dalam tulisan ini perlu diungkapkan karakteristik perbuatan atau
tindakan tata usaha Negara lainnya yang ada dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia, dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi kedudukan Keputusan
Gubernur a quo di dalam sistematika hukum di Indonesia.
Salah
satu perbuatan atau tindakan hukum pejabat tata usaha Negara ada yang dikenal
dengan Peraturan Kebijakan atau Beleidregel,
Policy Rule. Menurut Philipus M Hadjon, produk
peraturan kebijakan tidak terlepas dari penggunaan Freies Ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha Negara yang
bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya dalam berbagai bentuk “Juridische regel”. Sementara menurut Bagir Manan, Freies Ermessen merupakan kebebasan administrasi Negara melakukan suatu tindakan
(dengan berbuat atau tidak berbuat) untuk mencapai tujuan atau manfaat tertentu
(doelmatigheid) di luar batas
ketentuan yang berlaku. Namun demikian tidak berarti dapat dilakukan secara
atau untuk sesuatu yang melawan hukum. Kendali terhadap Freies Ermessen adalah asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang
baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur).
Peraturan kebijakan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Berupa keputusan atau peraturan tertulis yang mempunyai bentuk dan format
tertentu;
b. Dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang dibentuk berdasarkan
kewenangan peraturan perundang-undangan, baik bersifat atribusi maupun
delegasi;
c. Memuat norma hukum yang mengikat secara umum artinya norma hukum yang
ditujukan untuk orang banyak dan tidak ditujukan kepada individu tertentu,
tetapi berlaku bagi siapapun;
d. Melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
artinya pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan tertentu.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka dapat
dikatakan sesuai dengan cirri dari Keputusan Gubernur a quo, yang mempunyai
bentuk dan format tertentu, dibentuk oleh eksekutif, dalam hal ini Gubernur
sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi dan isi keputusan berupa norma
hukum yang bersifat umum, serta pembentukannya melalui prosedur yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pembentukannya harus tunduk pada
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Intruksi
Presiden No. 9 Tahun 2003 tentang Kebijakan Upah Minimum, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.
Menurut Bagir Manan, sebagai suatu peraturan kebijakan atau beleidregel, maka Keputusan Gubernur a
quo, bukan peraturan perundang-undangan sehingga
asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak
dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Suatu peraturan kebijakan tidak
dapat diuji secara hukum (wetmatigheid), karena memang tidak akan ada
dasar peraturan perundangundangan untuk keputusan membuat peraturan kebijakan.
Oleh karena itu permohonan keberatan berdasarkan permohonan hak uji materil
Keputusan Gubernur a quo terhadap undang-undang, seharusnya ditolak oleh Hakim
Mahkamah Agung RI. Selain Keputusan Gubernur a quo tidak dapat diuji secara
hukum, karena sifatnya sebagai suatu beleidregel,
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan-pun
tidak mengenal bentuk peraturan perundang-undangan seperti Keputusan Gubernur.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa menurut undang-undang tersebut,
khususnya Pasal 7 dan Pasal 8, diatur 22 (dua puluh dua) macam jenis peraturan
perundang-undangan. Dari ke 22 (dua puluh dua) jenis tersebut tidak ada
Keputusan Gubernur. Dengan demikian alasan hukum terkait bahwa Keputusan
Gubernur a quo bukan merupakan perbuatan atau tindakan hukum yang bersifat regeling sudah tepat dan berdasar.
[1] Salim
H.S., dkk, Penerapan
Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2013, hal. 186
[2] Ibid, hal. 183
[3] Teng
Syafrudi, Menuju Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung-jawab, Jurnal Pro Justitia,
Edisi IV, Bandung, Universitas Parahyangan, 2000, hal. 22
[4] Salim
H.S., Op.cit., hal. 185
[5] Abdul Latif, Hukum dan Peraturan
Kebijaksanaan (Beleidregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press,
Yogyakarta, hal. 20
[6] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum
Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, hal. 4.
[7] R.D.
H. Koesoemahatmadja, Pengantar Hukum Tata
Usaha Negara Indonesia, Cetakan Ke 1, Bandung, Alumni, 1975, hlm. 22
[8]
Kuntjoro Purboparanoto, Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan II,
Alumni, Bandung, 1978, hal. 244
[9] Ibid, hal. 45
[10] Ibid., hal. 46
[11] Ibid
[12] Ibid, , hal. 47-48
[13]
Amoroedin Syarif, Perundang-undangan
Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, PT. Bunia Mulia, Jakarta, 1987,
hal. 11
[14]
Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur
Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Cetakan Ke-2, Alumni, Bandung,
hal. 16.
[15]
Penjelasan Pasal 1 angka (3) UU PTUN
[16] Maria
Farida Indrarti S., Ilmu
Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hal. 78
[17] Jimly
Asshiddiqie, Buku Perihal Undang-undang,
hal. 9, diakses dari http://www.jimly.com/pemikiran
tanggal 10 Juni 2014.
[18] Ibid, hal. 9-10
[19] Philipus
M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Penerbit Gadjah Mada University Pers, Yogyakarta, 2005, hal.
130.
[20] Bagir
Manan, Konvensi Ketatanegaraan,
Fakultas Hukum UII Pres, Yogyakarta, 2006, hal. 66
[21] Hotma
P. Sibuea, Asas-asas Negara Hukum,
Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Erlangga,
Jakarta, 2010, hal. 70
[22] Jimly
Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara
dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Fakultas Hukum UII Press,
Yogyakarta, 2004, hal. 25
[23] Hotma
P. Sibuea, Op. cit., hal. 73-74
[24] Bagir
Manan, Peraturan Kebijakan, Varia
Peradilan, Desember 2008, hal. 15
[25] Bagir
Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa
Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal. 129
[26] Hotma
P. Sibuea, Op. cit., hal. 127
[27] Ibid., hal. 127
Komentar
Posting Komentar